Jakarta, CNN Indonesia -- Jerome Champagne, satu-satunya orang yang akan melawan Sepp Blatter pada pemilihan presiden FIFA pada 2015, menolak untuk menjelek-jelekkan nama saingannya.
Dengan melimpahnya kritik pada pemerintahan Blatter dalam beberapa tahun terakhir, Champagne dikatakan mendapatkan hadiah "gol bunuh diri" dari sang lawan -- namun ia menolak hal tersebut.
"Blatter bukan koruptor," ujar Champagne kepada CNN World Sport. "Saya bukan sedang membela Blatter, tapi saya ingin dia menjadi kandidat yang bertanggung jawab sekaligus juga presiden yang efisien."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru-baru ini, pemimpin Asosiasi Sepakbola Inggris, Greg Dyke, menggambarkan pertemuan FIFA seperti "pertemuan di Korea Utara" dengan federasi-federasi sepakbola lain hanya menuruti perkataan Blatter.
Namun Champagne menolak anggapan bahwa Blatter mengendalikan badan organisasi tersebut dari atas sampai bahwa tanpa tedeng aling-aling. Champagne melihat sosok yang telah memimpin FIFA selama 16 tahun itu sebagai pemimpin sebuah negara yang telah terpilih secara demokratis.
"Ia adalah presiden FIFA, sesuai dengan konsitutsi FIFA. Ia bukan seorang diktator," tegas Champagne.
"Saya akan memberikan Anda contoh tambahan. Di Britania Raya, negara yang menganut sistem demokrasi, rakyat Inggris akan memilih seorang Perdana Menteri. Lalu setelah Perdana Menteri itu terpilih, maka dia akan memiliki hak untuk menyusun kabinet untuk melaksanakan program yang telah ia rancang."
"Itu demokrasi. Tentu saja ia akan diawasi oleh Parlemen. Anda pikir seorang presiden FIFA bisa memiliih pemerintah lokal (di masing-masing negara) untuk melaksanakan programnya di 209 federasi? Tentu saja tidak."
Sementara menggambarkan Blatter sebagai seseorang yang "menikah dengan sepakbola," Champagne juga berkata bahwa organisasi ini membutuhkan "udara segar."
"Saya tidak senang dengan situas FIFA saat ini, begitu pula dengan situasi di sepakbola. Buat saya, sepakbola adalah alat yang mengagumkan dan FIFA bisa menjadi mesin yang mengagumkan untuk menjadi contoh satu pemerintahan yang baik."
"Itu sebabnya saya memutuskan untuk mencalonkan diri. Ini tentang mengambil resiko. Jika Anda tidak mengambil resiko dalam hidup Anda, maka Anda tidak akan mengalami apa-apa."
Kekukuhan diplomat Perancis tersebut dalam menyorot masalah struktur dan bukan pribadi demi pribadi, mungkin ada hubungannya dengan profesinya. Namun, bisa juga karena pengetahuan Champagne tentang cara kerja organisasi yang berbasis di Swiss tersebut.
Pria berusia 56 tahun itu pernah bekerja selama 11 tahun di FIFA sebagai direktur hubungan internasional pada periode 1999 ke 2010.
Selama berada di sana, Champagne bekerja untuk Blatter dengan mengemban tugas melakukan perbaikan hubungan dengan federasi sepakbola di berbagai negara, juga dengan badan olahraga internasional lainnya, seperti Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Setelah dilepaskan dari jabatannya pada 2010 --dengan alasan yang tidak diungkap ke publik-- Champagne mendirikan sebuah lembaga konsultan yang bekerja sama dengan beberapa klub dan asosiasi sepakbola, seperti Federasi Sepakbola Kosovo dan Asosiasi Sepakbola Palestina.
Di Palestina, Champagne membantu perbaikan hubungan Asosiasi Sepakbola Palestina dengan Komite Olimpiade Nasional-nya, juga membantu pendirian liga lokal.
Dengan latar belakang Champagne yang pernah bekerja untuk Blatter, dapatkan ia dipercaya untuk melakukan reformasi?
"Saya berharap, saya percaya saya bisa dan saya juga percaya kami membutuhkan (reformasi) itu," tegasnya. "Saya tidak keberatan jika orang-orang berkata pada saya: 'kamu pernah bekerja dengan Blatter, bagaimana bisa kamu membawa perubahan?'
"Baiklah, kami bisa berdebat tentang hal itu, dan saya bisa menunjukkan hasil kerja saya selama saya bekerja di FIFA... Ini adalah bagian demokrasi, ini alasannya saya mengajukan diri."
Minggu lalu, Blatter mengeluarkan cuit di akun media sosial Twitter resminya bahwa FIFA menjadi contoh sebagai organisasi yang bertindak dengan etis, meski lembaga tersebut mendapatkan banyak kritik tentang proses pemilihan rumah Piala Dunia 2018 dan Piala Dunia 2022.
Champagne --yang dengan antusias ingin menunjukkan hasil kerjanya ke hadapan publik-- berpendapat bahwa FIFA juga harus mengungkapkan yang terjadi dalam proses pemilihan tersebut.
FIFA sendiri ingin menyimpan rapat-rapat hasil penyelidikan, tapi Michael Garcia (pengacara Amerika Serikat yang ditugasi untuk melakukan penelusuran -red) berkata bahwa laporan tersebut harus dibuka ke umum. Garcia sendiri pada awal bulan ini baru menyerahkan hasil penyelidikannya ke Kepala Etik FIFA, Hans-Joachim Eckert.
"Kami harus tahu yang terjadi," ujar Champage. "Ini sangat penting. Bagi saya, dilemparnya laporan ini ke publik akan menjadi awal mula proses penyembuhan citra FIFA di mata publik."
Anggota FIFA akan memilih presiden baru pada Mei 2015 nanti.
*Wawancara dengan Jerome Champagne dimuat di laman CNN Internasional pada 25 September 2014.