Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Perdebatan mengenai "apa itu cabang olahraga" tak pernah usai. Misalnya saja pada catur. Minimnya gerak yang dilakukan oleh para pecatur membuat olahraga ini kerap dipertanyakan kesahihannya sebagai satu cabang.
Sementara itu, mereka-mereka yang mendukung catur dikategorikan sebagai olahraga akan berargumen bahwa untuk memainkan catur selama enam jam tetap dibutuhkan kekuatan fisik, meski tidak setinggi pada olahraga lainnya.
Mereka pun akan berpendapat atlet catur juga tetap harus menjaga tingkat kebugaran demi mempertahankan konsentrasi dalam bermain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebingungan ini pun tercermin di tingkat kompetisi. Meski mengakui catur sebagai cabang olahraga, dan mengakui keberadaan Federasi Catur Internasional, Komite Olimpiade Dunia tak pernah sekali pun melangsungkan catur di olimpiade.
Demikian pula dengan permainan lainnya seperti bowling, Football America, atau ski air. Cabang-cabang olahraga ini tak serta merta diikutsertakan ke dalam ajang resmi walaupun mengandalkan kekuatan fisik untuk memainkannya.
Dari Yunani KunoPolemik "olahraga atau bukan" ini telah berlangsung sepanjang sejarah olimpiade itu sendiri.
Pada mulanya, kompetisi olahraga dikenalkan pada zaman Yunani kuno sebagai cara untuk membandingkan kekuatan dan kemampuan manusia, tanpa harus saling membunuh.
Mereka lalu menemukan olahraga yang menjadi dasar dari seluruh cabang olahraga lainnya, yaitu lari, melompat, melempar, dan gulat. Dari sinilah lahir "turunan" seperti olahraga air, olahraga ketangkasan, olahraga bela diri, atau olahraga kelincahan.
Namun tak ada yang statis. Permainan yang dulu pernah dipertimbangkan sebagai untuk ditandingkan pun bisa saja ditolak di kemudian hari. Misalnya saja golf yang kehilangan tempat di Olimpiade 2012 namun kembali pada 2016.
Atau sebaliknya, olahraga yang dulunya hanya dikenalkan sebagai olahraga demontrasi, bisa menjadi cabang yang lalu selalu dipertandingkan di kemudian hari. Contohnya judo yang kini selalu menjadi cabang resmi di olimpiade, meski baru diperkenalkan pada Olimpiade 1964 di Tokyo.
Sepanjang sejarah olimpiade, hanya ada beberapa cabang yang selalu dipertandingkan: atletik, olahraga akuatik, balap sepeda, anggar, dan senam. Sementara sisanya selalu berubah dan berganti.
Untuk mengevaluasi keberadaan dan keberterimaan suatu cabang olahraga, Komite Olimpiade Internasional lalu mengadakan ajang olahraga demonstrasi pada setiap olimpiade.
Jika kemudian hari olahraga tersebut dilakukan oleh banyak negara, maka IOC bisa saja memilih cabang tersebut untuk dipertandingkan di olimpiade selanjutnya.
Lebih FleksibelKesulitan federasi cabang olahraga untuk mengajukan ajangnya di olimpiade, Asian Games, atau kompetisi skala besar lainnya mungkin akan semakin berkurang di kemudian hari.
Berbicara pada Asian Games ke-XVII, presiden IOC, Thomas Bach, berkata bahwa badan organisasi olahraga harus lebih fleksibel dalam menentukan komposisi program. Bach yang baru setahun menjabat sebagai presiden juga berkata bahwa olimpiade juga harus semakin beragam lagi.
"Kami harus mendiskusikan prosedurnya terlebih dahulu -- bagaimana kami bisa membuat komposisi yang lebih beragam," ujar Bach sembari menambahkan bahwa badannya harus "bereaksi lebih cepat" untuk mendeteksi tren olahraga di lapangan anak muda.
IOC sendiri sedang berada di dalam tekanan untuk memasukkan bisbol ke dalam Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang, karena cabang olahraga tersebut sangat populer di sana.
Satu hal yang pasti adalah memasukkan satu cabang olahraga ke dalam kompetisi Asian Games atau Olimpiade akan mendorong olahraga tersebut untuk semakin meluas.
Misalnya saja olahraga yang populer di Asia Selatan, Kabbadi. Olahraga yang menggabungkan gulat dengan "kucing-kucingan" ini sebelumnya hanya populer sebagai permainan anak-anak.
Namun, saat pertama kali diikutsertakan di Asian games Beijing 1990, nama kabaddi terangkat ke permukaan dan menyadarkan banyak orang di India bahwa olahraga ini bisa dimainkan secara profesional.
Saat ini kabbadi sendiri memiliki Piala Internasional
Kabaddi, turnamen yang berisi tim dari Inggris, India, Pakistan, Kanada dan Amerika Serikat. Di tanah kelahirannya,
kabaddi juga kini memiliki liga tersendiri.
Menurut penyelenggaranya, liga
kabaddi mampu menarik perhatian pemilik waralaba. Laporan yang diterbitkan oleh Times of India menyatakan bahwa investasi tahunan untuk liga ini mencapai US$ 854 ribu, atau mencapai 10 miliar rupiah.
Ya, walau belum bisa secara rutin dipertandingkan di olimpiade atau Asian Games,
kabaddi setidaknya kini sudah bergerak ke arah yang tepat untuk semakin berkembang lagi.
Siapa tahu, sebagaimana
kabaddi, di kemudian hari akan semakin banyak lagi yang dinyatakan sebagai dan menjadi "olahraga".