Jakarta, CNN Indonesia -- "Ini melanggar statuta FIFA!"
"Pemerintah tak berhak intervensi PSSI."
"Jika pemerintah intervensi, Indonesia bisa dikenakan sanksi oleh FIFA."
Tiga kalimat di atas belakangan makin sering terlontar dari Otoritas Sepak Bola Indonesia, PSSI, terkait seteru aturan dengan pemerintah lewat Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Kasus terbaru adalah keputusan menunda gelaran Liga Super Indonesia yang seyogyanya dilaksanakan pada 20 Februari 2015. Beberapa waktu lalu, kemenpora yang berbekal rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia, memutuskan menunda kompetisi tersebut selama dua pekan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BOPI mensyaratkan kelengkapan administrasi bagi klub-klub yang ingin mengikuti ajang sepak bola tersebut. Beberapa syarat penting yang harus dipenuhi adalah laporan keuangan klub, pajak, dan surat izin pendirian organisasi berbadan hukum perusahaan terbatas (PT).
Menurut salah satu anggota Tim 9, Gatot Dewa Broto, masih sangat sedikit yang melampirkan dokumen perdirian PT dan laporan keuangan yang lengkap. Bahkan, untuk laporan pajak, belum ada satu klub pun yang melampirkannya.
"Setelah laporan verifikasi BOPI, ternyata masih banyak masalah," ujar Gatot Dewa Broto saat dihubungi CNN Indonesia melalui sambungan telepon pada Selasa (24/2). Pihak kemenpora sendiri berharap hal ini dapat mencegah masalah serupa di kompetisi tanah air tersebut di masa yang akan datang.
Keputusan ini sempat mendapat respons negatif dari beberapa klub. Di antaranya adalah Arema dan Persipura.
Arema menantang BOPI dan Kemenpora untuk mencoba mengelola klub. "Kalau bisa BOPI dan Menpora coba ikut merasakan mengelola Arema beberapa minggu saja. Biar lebih paham juga ngurusi tim. Ndak usah 18 klub, cukup dampingi Arema, Persib dan Persipura,” kata manajer umum Arema, Ruddy Widodo, lewat rilis yang dikirimkan lewat surat elektronik.
Sementara Persipura mempertanyakan kapasitas lembaga yang dibentuk lewat Peraturan Menteri tersebut. "BOPI itu kapasitasnya sebagai apa? Pembinakah? Regulator kompetisikah? Yang regulator kompetisi ini siapa? Kalau itu Menpora, ya mari," kata Rocky.
Lantas, aturan siapakah yang sebenarnya berhak membenahi persepakbolaan Indonesia? Milik siapakah olahraga ini sebenarnya?
Statuta FIFA vs Hukum Positif NegaraCNN Indonesia pun berbincang dengan peneliti hukum olahraga, Eko Noer Kristiyanto. Menurut Eko, tak seharusnya kedua aturan itu berbenturan.
Lebih jauh Eko menjelaskan, statuta FIFA yang dijadikan pegangan oleh PSSI adalah benar. Negara tidak seharusnya mengintervensi aturan sepak bola.
"Hanya FIFA yang boleh melegalkan aturan terkait sepak bola dunia," kata Eko saat dihubungi CNN Indonesia, Selasa (24/2).
Namun, lebih lanjut Eko juga menjelaskan posisi negara yang lebih luas. "Ada istilah lex sportivo yang memungkinkan adanya persinggungan dengan hukum nasional."
Eko mencontohkan kasus yang pernah menimpa Bambang Pamungkas saat belum menerima pembayaran gaji dari Persija beberapa tahun lalu. Seharusnya, menurut Eko, jika mengikuti statuta FIFA, PSSI harusnya mempunyai peradilan sendiri terkait hal itu.
Faktanya, Bepe harus membawa kasusnya ke ranah hukum nasional agar memperoleh kepastian hukum yang mengikat.
Kasus tersebut membuktikan PSSI tidak menerapkan statuta FIFA dengan utuh. Dan hukum positif negara melengkapi statuta FIFA tersebut.
Menilik kasus penundaan LSI, lanjut Eko, adalah wajar apa syarat yang diajukan BOPI. "Semua itu memang sudah menjadi bagian yang diatur negara."
Eko juga mencontohkan kasus-kasus di luar negeri, di mana organisasi sepak bola harus tunduk pada aturan yang menjadi ranah hukum negara.
Contohnya, penerapan pajak yang tinggi bagi pesepakbola di Spanyol. Juga pengadilan pidana kasus pengaturan skor di Italia.
Tak Mungkin Tanpa NegaraSebelum adanya kesepakatan pelaksanaan LSI, 18 klub peserta LSI 2015 mendorong PT Liga Indonesia untuk mengabaikan keputusan penundaan tersebut. Hal ini tertuang dalam sebuah kesepakatan yang disebut Deklarasi Bandung.
Menurut deklarasi tersebut, hanya FIFA yang boleh menilai berhak atau tidaknya sebuah klub mengikuti kompetisi. Namun EKo menganggap hal itu mustahil.
"Yang berhak mengeluarkan izin kan hanya polisi. Dan rekomendasinya hanya bisa dikeluarkan BOPI. Lalu bagaimana mau mengabaikan BOPI?" kata Eko menjelaskan.
Eko berharap kesepakatan yang sudah tercapai benar-benar bisa dijalankan. "Ini kan sifatnya hanya administrasi. Siapa yang bisa memastikan semua syarat itu benar dijalankan?"
(vws)