Jakarta, CNN Indonesia -- Sepak bola adalah hiburan masyarakat. Semboyan yang acap terdengar di Indonesia ini pun juga berlaku di Inggris. Namun meski berstatus hiburan, Liga Primer Inggris bukan sebuah hiburan gratis semata.
Bahkan, bisa dikatakan jika liga yang berubah format pada 1991/1992 tersebut menjadi puncak industrialisasi sepak bola: rumah bagi pemain papan atas dunia dengan rataan gaji nomor satu, klub-klub yang memiliki basis penggemar di seluruh dunia, dan juga mendapatkan gelontoran uang dari sponsor.
Meski terbilang terlalu fantastis untuk menjadikan Liga Inggris sebagai contoh, namun bukan berarti tak ada prinsip-prinsip pengelolaan sepak bola yang bisa dipelajari dari liga yang kini dikatakan sebagai kompetisi terbaik di dunia tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi Liga Primer Inggris sendiri tak melulu bagus. Ada masanya ketika liga dihinggapi berbagai masalah, mulai dari kerusuhan suporter, aksi rasialisme di dalam stadion, dan juga didera masalah finansial.
Aksi Lima Klub yang Memisahkan Diri
Pembentukan Liga Primer Inggris terjadi di akhir musim 1991/1992 ketika klub-klub merasa mereka memerlukan sebuah perubahan besar terhadap sistem kompetisi yang ada di negara mereka.
Kala itu lima klub Inggris, yaitu Liverpool, Manchester United, Arsenal, Tottenham Hotspur, serta Everton merancang proposal “One Game, One Team, One Voice” kepada Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA).
Dengan proposal tersebut, klub-klub menginginkan agar kekuasaan FA direduksi sehingga mereka berhak untuk mengatur kompetisi mereka sendiri. Pasalnya, kelima klub berpendapat bahwa FA menanggung beban terlalu besar untuk mengurusi piramida kompetisi.
Terlebih lagi klub-klub ingin menguasai nilai hak siar yang kala itu sedang meningkat, terutama setelah kedatangan Sky yang coba menggunakan sepak bola untuk memasarkan layanan TV kabel.
Sebelumnya, hak siar untuk empat kasta liga memang dijual secara kolektif dan dibayarkan dengan proporsi tertentu. Liga yang berada paling atas piramida kompetisi hanya mendapatkan 50 persen, sehingga mereka menginginkan jatah yang lebih besar. Mereka beranggapan bahwa liga mereka lah yang paling diminati penonton.
Setelah melalui perundingan dengan FA, 22 klub pun memisahkan diri dari piramida kompetisi. FA memang tetap memiliki peran sebagai regulator, namun mereka praktis tak bisa menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan sisi komersil.
Klub-klub lah yang menegosiasikan perjanjian hak siar dan membagi-bagi sendiri jatah uang tersebut, tanpa campur tangan dari FA.
Namun, sebagai kompensasi, FA menerima bayaran dari Liga Primer Inggris untuk pembinaan pemain.
Jadi Liga Terbaik Dengan sistem tersebut, setelah melalui jalan panjang, akhirnya Liga Primer Inggris sukses mengalahkan Liga Italia yang merupakan liga nomor satu dunia di dekade 1990-an dan juga Liga Spanyol sebagai liga terbaik di dunia.
Liga Inggris yang pada awalnya seolah merupakan batu loncatan sebelum bintang-bintang tersebut hijrah ke liga lainnya, kini justru menjadi kiblat bagi para pesepak bola dunia. Para pesepak bola terbaik di dunia ingin pergi ke Liga Primer Inggris untuk membuktikan kemampuan mereka.
Nilai-nilai kontrak fantastis dengan gaji per minggu yang tinggi jadi tawaran berharga yang sangat menggiurkan bagi para pemain.
Kompetisi yang berkelas ini pun kemudian mengundang minat-minat para konglomerat untuk menanamkan investasi mereka di klub-klub Liga Inggris.
Alhasil, kompetisi diantara tim-tim pun makin menarik karena dominasi sebuah tim tidak terlalu terlihat lantaran banyak tim yang memiliki kondisi finansial yang sama hebat sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk membangun tim yang kuat.
Dengan meratanya kekuatan dari banyak tim, maka pertandingan-pertandingan di Liga Primer Inggris pun menjadi makin layak untuk dijual.
Sebagai dampaknya, Liga Primer Inggris kini sukses menjual nilai hak siar sebesar 5,14 miliar poundsterling atau sebesar 102,6 triliun rupiah untuk durasi tiga musim kompetisi mulai musim 2016/2017.
Nilai ini jelas sangat fantastis jika dibandingkan pada awal pertama mereka meluncurkan konsep Liga Primer Inggris dimana ketika itu mereka 'hanya' meraup 305 juta poundsterling untuk lima musim kompetisi pertama.
Liga Primer Inggris yang pada awalnya hanya ditayangkan pada dua slot waktu pada Sabtu dan Minggu kini bisa memiliki hingga lima slot waktu pertandingan di tiap pekannya. Semua itu jelas untuk mengakomodir tayangan live setiap pekannya.
Meski sudah berada di atas dibandingkan liga-liga lainnya di tanah eropa dan juga dunia, tak lantas membuat Liga Primer Inggris terlena dan bermurah hati.
Setelah terjadinya mega deal kontrak hak siar, sejumlah pihak memang menuntut kompensasi berupa penurunan harga tiket masuk bagi para penonton. Namun harapan ini hanya membentur tembok lantaran pihak Liga Primer menegaskan bahwa ide tersebut sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka.
"Kami terbentuk bukan untuk tujuan amal. Kami dibentuk untuk menjadi kompetisi terbaik di dunia," ucap CEO Liga Primer Inggris Richard Scudamore.
"Saya percaya bahwa Liga Primer Inggris adalah salah satu produk ekspor terbaik dari negara ini. Liga Primer Inggris akan selalu memberikan kesan positif bagi mereka (orang luar negeri) tentang Inggris."
Wajar jika Scudamore bisa bersikap tinggi hati mengenai permintaan penurunan harga tiket masuk. Liga Primer Inggris saat ini bukanlah Liga Inggris di dekade 1980-an dimana saat itu sepak bola Inggris tengah mencapai titik nadir dengan berbagai kekacauan di dalamnya.
Liga Primer Inggris saat ini adalah magnet besar yang bukan hanya menarik minat para pemain bintang untuk bermain di sana melainkan juga bagi para suporter untuk terus datang ke stadion dan memberikan dukungan bagi timnya.
(vws)