Jakarta, CNN Indonesia -- Menanggapi perselisihan antara klub-klub Indonesia dengan Badan Profesional Indonesia (BOPI), pengamat olahrara Tommy Apriyantono berkata bahwa seandainya saja PT Liga bersikap tegas dan mampu mengelola kompetisi dengan baik, maka BOPI tidak akan ikut campur.
“Analoginya sama dengan KPK. Sebenarnya kan sudah ada polisi dan kejaksaan, tapi butuh adhoc karena masalah korupsi tidak terselesaikan,” kata Tommy saat dihubungi oleh
CNN Indonesia.Menurut Tommy, bentuk ketegasan yang bisa ditunjukkan oleh PT Liga sendiri adalah pada diberikannya sanksi untuk klub-klub yang membandel urusan keuangan atau pajak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Contohnya di Italia. Ketika Parma bermasalah keuangannya, mereka mengalami pengurangan poin. Kenapa PT Liga sebagai operator tidak tegas seperti itu kepada klub-klub yang bermasalah?”
“BOPI kan mengurusi kompetisi lainnya selain sepak bola. Coba lihat BOPI tidak melarang Proliga berjalan. Kenapa? Karena tidak ada masalah seperti tunggakan gaji pemain.”
Meski demikian, Tommy sendiri menyayangkan sikap yang diambil BOPI untuk tidak memberikan rekomendasi tidak digulirkannya Liga Super Indonesia. Menurut dosen sport science di Institut Teknologi Bandung tersebut, ada jalan lain yang bisa diambil.
“Bisa diambil kesepakatan hitam di atas putih dengan disaksikan media, bahwa akan ada sanksi jika klub-klub tidak bisa melengkapi persyaratan tersebut. Misalnya dengan pengurangan angka,” ujarnya.
Mengenal BOPINama BOPI sendiri mulai santer terdengar dalam beberapa pekan terakhir. Badan yang kini diketuai oleh Noor Aman tersebut tidak memberikan rekomendasi pada bergulirnya Liga Super Indonesia yang sedianya bergulir pada 20 Februari 2015 lalu.
BOPI dibentuk dengan dasar hukum Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga tertanggal 9 September 2009 yang ditandatangani oleh Adhyaksa Dault. Dari peraturan tersebut, secara struktural BOPI merupakan badan yang berada langsung di bawah Menteri Pemuda dan Olahraga.
Menurut Noor Aman pada wawancara dengan CNN Indonesia pada 26 Januari silam, BOPI dilimpahi kewenangan oleh Menpora dalam tugas pembinaan, pengawasan, dan pengembangan olahraga profesional, bukan hanya sepak bola namun juga cabang lainnya.
Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) No. 3 Tahun 2005 mendefinisikan olahraga profesional sebagai setiap orang yang berolahraga untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atas dasar kemahiran berolahraga.
Hal ini berarti BOPI akan mengawasi berjalannya setiap laga profesional, entah itu pertandingan persahabatan antara klub luar dengan tim nasional, atau laga-laga Liga Super Indonesia.
“Jika mendapatkan uang dari kegiatan pertandingan tersebut, bisa dikatakan laga profesional,” ujarnya sembari menambahkan bahwa olahraga yang lain, seperti olahraga prestasi, tetap di tangan Kemenpora dan badan-badan terkait.
Noor Aman sendiri berpendapat bahwa keberadaan BOPI tidak bertentangan dengan Statuta FIFA. “Di sana (statuta) disebutkan bahwa pengelolaan sepak bola pun
should consider national law.”
Sementara menurut pengamat olahraga Tommy Apriyantono, keberadaan BOPI akan mempermudah pemerintah untuk mengkoordinasikan pengawasan, termasuk di antaranya yang terkait dengan hukum positif, seperti perpajakan atau terkait keamanan.
“Memang sudah ada Ditjen Pajak dan Kepolisian. Tapi analoginya seperti KPK tadi, (dibutuhkan) karena kondisi masih kacau, misalnya saja dengan gaji pemain yang masih belum dibayarkan."
Mengajukan Judicial ReviewDari sisi pengelola kompetisi, CEO PT Liga Joko Driyono menyatakan bahwa yang menjadi keberatannya hanyalah karena ada ketidakefektifan mekanisme kerja.
“Kepentingan BOPI dan PT Liga sama. Hanya saja sekarang klub-klub seperti dikasih ujian dua kali,” ujar Joko ketika dihubungi oleh CNN Indonesia via sambungan telepon. “Ada
overlapping yang menyebabkan kerja tidak efektif.”
Untuk mengantisipasi ketidakefektifan tersebut, Joko berujar bahwa dalam masa transisi, ia perlu merumuskan
join cooperatif agreement, sementara untuk masa depan ia sedang mempersiapkan komite untuk melakukan judicial review pada UU SKN.
“Judicial review ini untuk jangka panjang, karena harus ditelaah dengan baik pasal per pasalnya. Apalagi Undang-Undang kan sifatnya mengikat. Harus disimulasikan terlebih dahulu pasal-pasal yang akan menyebabkan terjadi overlapping.”
“Dan itu membutuhkan waktu.”
(vws)