Berjumpa Tan Joe Hok, Penakluk Pertama All England

Vriana Indriasari | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Feb 2015 11:17 WIB
Sebelum hadir Susi Susanti, Alan Budikusuma, atau Taufik Hidayat di panggung internasional, Tan Joe Hok telah merintis kejayaan bulutangkis Indonesia.
Tan Joe Hok peraih All England pertama dari Indonesia ketika ditemui di kediamannya di Jakarta Selatan pada 26 Februari 2015. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh sebelum dunia bulu tangkis dipenuhi oleh rangkaian turnamen yang hadir setiap minggu, nama All England memiliki reputasi paling tinggi. Sebagai turnamen paling tua dalam sejarah, All England juga menjadi yang paling bergengsi dan diidam-idamkan para pebulu tangkis papan atas.

Bahkan, sebelum Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) akhirnya menyelenggarakan Kejuaraan Dunia pada 1977, adalah All England yang menjadi turnamen tak resmi ajang tersebut. Tak heran jika nyaris setiap pebulu tangkis ingin menyematkan status juara All England dalam lembaran karier mereka.

Bagi Indonesia, All England juga memiliki arti penting.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam tiga dekade sebelum pasangan emas Susi Susanti dan Alan Budikusuma merebut medali emas di Olimpiade Barcelona 1992, All England lah yang menjadi ajang pembuktian bahwa atlet-atlet Indonesia pun bisa bersanding dan bertanding dengan atlet negara lainnya.

Entah itu yang berasal dari Eropa atau Asia Timur.

Rudi Hartono pernah memenangkannya delapan kali, sementara Liem Swie Kieng tiga kali. Legenda seperti pasangan Christian Hadinata/Ade Chandra dan Verawaty/Imelda Wiguna, atau tunggal putra Haryanto Arbi juga pernah mencicipi rasanya mencium medali emas All England.

Namun ada satu nama yang tak boleh dilupakan ketika membicarakan sejarah panjang Merah Putih di kejuaraan di tanah Inggris tersebut.

Pada 1959 silam, ia adalah sosok yang pertama kali mengharumkan nama Indonesia di All England. Artinya, ia juga atlet Indonesia pertama yang menorehkan prestasi kancah bulu tangkis Internasional.

Namanya? Tan Joe Hok.

***

Pada Kamis (26/2) lalu, CNN Indonesia berkunjung ke rumah pria yang mengaku dibawa takdir ke ranah bulutangkis tersebut di area Jakarta Selatan.

Dengan rangkaian kata beraroma nasionalisme tak berbatas ia menuturkan kisah perjalanannya. Penuh kebanggaan, namun bukan kesombongan. Tak jarang matanya berkaca-kaca, tapi bukan untuk mejual kesedihan.

Semua terangkai rapi dan begitu menginspirasi.

"Saya hanyalah orang biasa yang diberkati Tuhan, dan bisa hidup cukup hingga saat ini," ujar Tan Joe Hok.

Setumpuk foto-foto saksi rangkaian torehannya terlihat di atas meja ruang tamu. Tak ada piala atau piagam penghargaan terpajang di rumah sederhana yang diakuinya merupakan pemberian mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Ruang tenang tanpa deru suara lalu-lalang kendaraan, seperti turut menyimak setiap tutur kisah dari pria yang kini sudah menginjak usia 77 tahun ini. "Apa yang mau ditanyakan?" katanya saat pertama kali berjumpa dengan CNN Indonesia.

Tak ada tanya yang layak terlontar bagi seorang legenda seperti Tan Joe Hok.

"Kami hanya ingin dengar cerita om."

Ketika berselancar di dunia maya, nama Tan Joe Hok selalu tak jauh dari kiprah pria kelahiran 11 Agustus 1937 ini dari ajang internasional All England dan Piala Thomas.

Tapi coba telisik tahun kelahirannya, Tan Joe Hok lahir di era saat bangsa ini masih terjajah. "Saya kurang beruntung karena terlahir di zaman Malaise," kata Tan Joe Hok memulai kisahnya.

Malaise merupakan zaman ketika perekonomian dunia begitu terpuruk. Berawal dari kejatuhan saham di New York pada 1929 yang berimbas sangat luas, ketika malaise berakhir, Perang Dunia II dan kependudukan Jepang atas Indonesia dimulai.

Anak kedua dari tujuh bersaudara ini, bersama keluarganya, harus hidup serba pas-pasan. Belum lagi mereka harus berpindah-pindah tempat. Ia sempat ke Sumedang, Bandung, Tasikmalaya, dan kembali ke Kota Kembang lagi.

Saat itu usia Tan Joe Hok belum lagi menginjak sepuluh tahun. Tapi ia sudah terbiasa dengan suara desingan peluru, dentuman bon, juga sumpah serapah dari para tentara penjajah yang melintas.

Ia kerap menyelinap ke jalan dan melihat sendiri suasana keras yang tengah terjadi di Indonesia. "Saat itu saya seperti rumput liar, anak bandel yang mau tak mau jadi berani."

Tak hanya menyaksikan kekerasan yang disajikan masa penjajahan, Tan Joe Hok kecil juga merasakan sulitnya kondisi saat itu. Untuk bisa makan sehari-hari, ia harus ikut orang tuanya untuk mengantre beras.

"Saya pernah pingsan waktu antre. Saat sadar, saya sudah di rumah dan dikerik sama ibu," tutur Tan Joe Hok.

Kehidupan yang begitu keras bagi seorang anak kecil. Tapi mungkin itulah salah satu yang membentuk kuatnya mental sang legenda kelak.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER