Etnis Tionghoa di Harumnya Bulu Tangkis Indonesia

Putra Permata Tegar Idaman | CNN Indonesia
Minggu, 22 Feb 2015 11:44 WIB
Di setiap jejak kejayaan bulutangkis Indonesia dalam lima dekade terakhir, ada peran etnis Tionghoa yang membangun pondasi kesuksesan tersebut.
Susi Susanti dan Alan Budikusuma adalah dua pebulutangkis etnis Tionghoa yang mampu mengharumkan nama Indonesia. (Dok Pribadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak bisa dimungkiri, bulu tangkis memiliki peran besar mengangkat nama Indonesia ke dunia internasional. Terlebih lagi di kala Indonesia berupaya menegaskan eksistensi, mulai dari sikap politik hingga olahraga, setelah menegaskan kemerdekaan.

Bulutangkis menjadi satu mercusuar yang membuat nyala merah putih selalu terang benderang di mata negara-negara lain.

Dalam situasi politik dan ekonomi paling hancur lebur sekalipun, bulutangkis selalu konsisten mengangkat nama Indonesia. Entah itu di tengah gejolak politik di era 1960-an, kebangkitan perkonomian di era 1980-an, ataupun di tengah krisis finansial mini di 2008. Selalu ada bulutangkis yang membuat jutaan rakyat Indonesia menegakkan kepala.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu, sedari awal, ada jejak etnis Tionghoa dalam membangun pondasi kebanggan tersebut.

Juara di Kompetisi Perdana

Kejayaan bulutangkis sendiri dimulai pada 1957 ketika tim bulu tangkis putra Indonesia melawat ke Australia untuk mengikuti babak penyisihan Piala Thomas. Kepergian tim ini pada awalnya sempat diliputi keraguan.

Maklum, ini adalah kali pertama Indonesia akan tampil di kompetisi luar negeri. Sempat ada argumen bahwa tim Indonesia saat itu masihlah hijau dan belumlah pantas mengikuti Piala Thomas.

"Pak Dick Sudirman (Ketua Umum PBSI) sempat tidak setuju karena kemampuan kami belum teruji. Namun Eddy Yusuf terus memompa semangat kami dan berkata bahwa ini adalah kesempatan terbaik untuk unjuk gigi," tutur Tan Joe Hok seorang legenda bulutangkis Indonesia di era 1960-an pada CNN  Indonesia.

Indonesia pun lalu berangkat ke Australia untuk mengikuti babak penyisihan. Ternyata, Tan Joe Hok dkk berhasil pulang dengan membawa tiket ke putaran final.

Kejutan Indonesia ternyata tidak sampai di situ. Di putaran final, Indonesia sukses melaju ke partai puncak dan mengalahkan Malaya (Malaysia) dengan skor 6-3. Indonesia pun menjadi juara di keikutsertaan perdana mereka.

Nama-nama yang memperkuat Indonesia di babak penyisihan dan putaran final saat itu adalah Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Tan Joe Hock, Tan King Gwan, Njoo Kiem Bie. Lie Poo Djian, dan Olich Solihin.

Dari nama-nama tersebut, jelas tergambar bahwa etnis Tionghoa memiliki andil dalam meletakkan pondasi kokoh bulu tangkis tanah air di level dunia. Namun, hal ini ditampik oleh Tan Joe Hok sendiri.

"Tidak. Saat itu tidak ada etnis Tionghoa atau apapun. Yang ada Indonesia," ucap Tan Joe Hok.

"Tim kami benar-benar beragam asal usulnya. Ada yang blasteran seperti Ferry dan Eddy, ada yang Tionghoa, ada juga yang dari Sunda. Namun kami semua satu nama, Indonesia," tuturnya menambahkan.

Mulai Berjaya di Dunia

Setelah ikut berjuang untuk menggaungkan nama Indonesia di pentas bulu tangkis dunia untuk pertama kalinya pada dekade 1950-an, etnis Tionghoa tak pernah absen dalam tiap-tiap kesuksesan Indonesia di berbagai turnamen bulu tangkis.

Tan Joe Hok pula yang berhasil menjadi juara All England pertama kalinya dari Indonesia pada tahun 1958. Dan Tan Joe Hok pula yang membuat Bendera Merah-Putih berkibar di Jakarta pada perhelatan Asian Games 1962.

Atas prestasi-prestasinya itu, tak heran jika Tan Joe Hok pun punya kesempatan bertemu Bung karno yang merupakan orang nomor satu di Indonesia saat itu.

"Satu hal yang paling membuat saya berkesan dari pertemuan dari Bung Karno adalah pesan yang dia sampaikan pada saya," ucap Tan Joe Hok mengenang.

"Orang pintar, insinyur banyak sekali di negeri ini. Tetapi orang seperti kamu ini sedikit dan kamu merupakan orang-orang pilihan," kata Tan Joe Hok.

Setelah Tan Joe Hok dan rekan-rekan lainnya sukses ikut serta dalam membangun pondasi bulu tangkis Indonesia, generasi etnis Tionghoa selanjutnya pun tak mau ketinggalan.

Rudy Hartono jelas tak bisa dilupakan dari sejarah bulu tangkis Indonesia. Ia adalah maestro yang mampu mengoleksi delapan gelar All England dengan tujuh di antaranya dilakukan secara beruntun sejak 1968-1974.

Selain Rudy Hartono, ada pula Liem Swie King di era tersebut. Di bawah keduanya, total hanya ada tiga gelar tunggal putra yang terlepas dalam periode 1968-1981.

Bukan hanya Rudy Hartono dan Liem Swie King, dekade tersebut juga mengenal Christian Hadinata/Ade Chandra dan Tjun Tjun/Johan Wahjudi sebagai perwakilan etnis Tionghoa dalam rentetan prestasi gemilang Indonesia.

Dua ganda putra itu secara total merebut delapan gelar juara dari sembilan tahun penyelenggaraan All England pada 1972-1980.

Ditambah pemain seperti Iie Sumirat dan Muljadi, Indonesia pun dominan di Piala Thomas pada era 1970-an dan selalu jadi juara pada tahun 1973, 1976, dan 1979.

"Kami saat itu memang terbilang luar biasa," tutur Christian Hadinata pada CNN Indonesia.

"Dalam pendapat saya pribadi, saya merasa dititipkan warisan prestasi dunia oleh para senior saya. Sudah tentu saya harus bisa berprestasi menyamai atau melebihi mereka," katanya.

Greysia Polii (kiri) mewakili etnis Tionghoa yang meneruskan kejayaan bulu tangkis Indoensia. (Antara/Saptono)


Kejayaan yang Berlanjut

Era 1980-an dan 1990-an pun tak lepas dari goresan warna para pebulu tangkis Tionghoa. Ada keluarga Arbi, Hastomo Arbi, Eddy Hartono, dan Hariyanto Arbi yang sukses menapak ke puncak prestasi dunia. Belum lagi jika menyebut nama seperti Lius Pongoh, Hariamanto Kartono, Ivana Lie, dan sederet nama lainnya.

Sepasang emas perdana bagi Indonesia di ajang bulu tangkis pun dipersembahkan oleh pebulu tangkis etnis Tionghoa, Alan Budikusuma dan Susi Susanti di Olimpiade Barcelona 1992.

Pun begitu halnya dengan emas Olimpiade 2000 yang dipersembahkan oleh Candra Wijaya/Tony Gunawan atau emas Olimpiade 2008 yang diberikan oleh Hendra Setiawan yang berpasangan dengan Markis Kido.

Periode 1990an hingga awal 2000an juga jadi masa keemasan di ajang beregu. Indonesia sukses memenangi Piala Thomas sebanyak lima kali dan Piala Uber dua kali.

Kolaborasi pemain etnis Tionghoa seperti Mia Audina, Hendrawan, dan pemain yang telah disebut di atas dengan para pemain dari etnis lainnya di Indonesia membuat Indonesia berada di tempat tertinggi pada dekade itu.

"Saya bangga bisa memberikan yang terbaik bagi Indonesia. Dari sekedar mimpi saya berhasil membuatnya jadi kenyataan," ucap Susi.

Pada saat level Indonesia tidak setinggi dekade-dekade sebelumnya, pebulu tangkis etnis Tionghoa tetap menjadi jajaran terdepan untuk mempertahankan reputasi Indonesia.

Saat ini masih ada Liliyana Natsir (yang berpasangan dengan Tontowi Ahmad) dan Hendra Setiawan (berpasangan dengan Mohammad Ahsan) yang menjadi sedikit pemain Indonesia yang bisa diandalkan.

Tontowi/Liliyana adalah juara dunia 2013 dan pemegang titel All England dalam tiga tahun terakhir sedangkan Ahsan/Hendra adalah juara dunia 2013, juara All England 2014, dan pemegang medali emas Asian Games 2014.

Pebulu tangkis Indonesia, Hendra Setiawan, juga mengharumkan nama Indonesia di sektor ganda putra. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar)
Tak Ada Rahasia di Etnis Tionghoa

Rentetan gelar dan dominiasi di dunia bulutangkis membuktikan bahwa etnis Tionghoa sukses menjadi tulang punggung bulu tangkis Indonesia di pentas dunia.

Tentunya banyak yang bertanya faktor yang mungkin menjadi sumber rahasia etnis Tionghoa bisa selalu berada dalam jajaran papan atas pebulu tangkis Indonesia di tingkat dunia.

"Tidak ada," ujar Tan Joe Hok. "Semua sama saja. Semua bisa jadi pebulu tangkis hebat jika mereka mau dan bekerja keras," katanya melanjutkan.

"Namun jika diminta untuk memberikan alasan, hal yang mungkin bisa menjawab adalah karena etnis Tionghoa rata-rata menyukai bulu tangkis dan juga bola basket," ucap Tan Joe Hok.

"Karena hobi dan senang, hal inilah yang kemudian mendorong mereka bekerja keras untuk bisa menjadi pemain top."

Sama halnya dengan Tan Joe Hok, Christian juga melihat tidak ada hal khusus yang menurutnya bisa menjadi keunggulan etnis Tionghoa.

"Tidak ada soal rahasia-rahasian," kata Christian tertawa.

"Untuk zaman saya, semua pemain Indonesia yang naik ke panggung dunia itu pasti hebat karena seleksi di dalam negerinya ketat."

"Karena dana terbatas, mereka yang bisa pergi ke All England adalah yang terbaik dari yang terbaik di negeri ini. Mental sudah terasah di dalam negeri plus tanggung jawab untuk bisa berprestasi lebih besar karena kondisi pendanaan yang minim."

Lebih lanjut, Tan Joe Hok menyoroti sukses generasi pemain etnis Tionghoa di dekade 1950-an disusul dekade 1960-an dan 1970-an punya adil besar dalam kontinuitas eksistensi pebulu tangkis etnis Tionghoa hingga kini.

"Karena sudah ada satu contoh sukses di dekade sebelumnya, kemudian itu jadi contoh bagi yang lain. Mungkin bisa disebut seperti itu," tutur Tan Joe Hok.

"Karena ada etnis Tionghoa yang berhasil main bulu tangkis, bisa jadi generasi muda etnis Tionghoa juga terdorong untuk melakukan itu dan keluar jalur dari karakteristik umum yaitu lekat dengan dunia perdagangan," kata pria yang juga sempat berkuliah di Amerika Serikat ini.

Karena di tiap generasi ada pebulu tangkis etnis Tionghoa yang sukses, maka regenerasi pebulu tangkis Tionghoa di tubuh Tim Bulu Tangkis Indonesia pun tak pernah putus.

Hendra pun mengakui bahwa salah satu hal yang mendorong dirinya untuk percaya diri bisa percaya diri untuk bermimpi menjadi pemain tingkat dunia adalah contoh-contoh dari para seniornya.

"Misalnya Koh Chris (Christian Hadinata). Beliau sukses menunjukkan bahwa bulu tangkis Indonesia bisa berprestasi di level dunia, begitu juga para senior lainnya di bawah Koh Chris," ucap Hendra.

"Hal itu yang menjadikan saya semakin semangat dan termotivasi untuk bisa mengikuti jejak mereka."

(ptr/vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER