Kisah Tragis Pelatih Torino yang Lolos dari Cengkraman Nazi

CNN Internasional/James Masters | CNN Indonesia
Minggu, 15 Mar 2015 15:22 WIB
Di balik kisah skuat terbaik sepanjang masa Torino, ada cerita seorang pelatih dengan keberanian luar biasa bernama Erno Egri Erbstein.
Seorang penggemar sepak bola menato wajahnya dengan ilustrasi tragedi Superga. (Getty Images/Mike Hewitt)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tulisan ini disadur ulang dari tulisan yang terbit di situs CNN Internasional dengan judul Ernő Egri Erbstein: Tragic Tale of Jewish Soccer Hero Who Defied Nazis.

Nama Erno Egri Erbstein mungkin tak pernah diingat  banyak orang, namun ceritanya seharusnya tidak boleh dilupakan.

Kisahnya Erbstein adalah kisah tentang perlawanan seorang manusia, kisah tentang kepahlawanan, sekaligus juga kisah tragedi pada masa-masa kelam di abad ke-20.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diceritakan ulang oleh buku The Triumphs and Tragedy of Football's Forgetten Pioneer karya Dominic Bliss, Erbstein adalah seorang warga negara Hungaria berdarah Yahudi yang menasbihkan dirinya sendiri sebagai bintang sepak bola paling dicari sekaligus juga pelatih paling sukses.

Padahal, kala itu hidupnya sedang dalam kesulitan karena kekejaman yang dilakukan Adolf Hitler dan Nazis.

Seorang penyintas Holocaust, Erbstein kemudian memimpin Torino mencapai kejayaan. Ia juga yang membuat klub Italia tersebut menjadi salah satu klub kuat di Eropa, sebelum tragedi tersebut terjadi.

Pada Mei 1949, Erbstein dan pemain-pemain Torino tewas karena pesawat yang mereka tumpangi jatuh di dekat kota Turin.

Setiap tahunnya tragedi tersebut diperingati para suporter Torino dengan mendatangi lokasi jatuhnya pesawat -- bukit kecil bernama Superga yang di puncaknya terdapat salah satu basilika paling ikonik di Italia.

Meski kisah tentang "Il Grande Torino" dikenang setiap tahun, cerita tentang Erbstein seolah menghilang ditelan waktu.

"Dewasa ini, sangat aneh jika Anda mengetik nama seseorang ke mesin pencarian Google dan tidak mendapatkan apapun," ujar Bliss sang penulis buku kepada CNN.

"Ada hal-hal (tentang Erbstein) yang bisa saya baca dalam beberapa paragraf di buku yang saya baca. Namun, bagi saya, semua ini masih misterius sehingga saya terdorong melakukan penelitian."

"Pada mulanya, saya berpikir bahwa akan sangat hebat jika saya bisa membuat artikel tentang Erbstein...saya tak pernah menyangka akan menulis buku."

Pengalaman Erbstein sendiri bukan hanya menjadi bahan yang cocok untuk dijadikan buku tapi juga film -- dengan plot cerita yang melibatkan kamp Nazi, aksi menyelamatkan diri yang luar biasa, tuduhan menjadi komunis, dan tentang cinta seorang pria yang akan melakukan segalanya untuk menyelamatkan keluarganya.

Dimasukkan ke Kamp Pekerja Nazi

Erbstein, pemain yang tergabung dalam komunitas sepak bola Yahudi-Hungaria di era 1920 hingga 1930, mengakhiri karier bermainnya di Amerika Serikat dengan klub Brooklyn Wanderers. Setelah memutuskan untuk menjadi pelatih, ia pun hijrah ke Italia.

Sebelum bergabung dengan Torino pada 1938, Erbstein mencapai kesuksesan dengan Bari dan Lucchese. Namun, ketika Benito Mussolini mengeluarkan "Manifesto Ras Manusia", Erbstein kembali ke Hungaria sebelum Perang Dunia II dimulai.

Kala itu kelompok Yahudi-Hungaria diasingkan dari masyarakat dan dipaksa untuk mengenakan bintang kuning pada baju sebagai penanda bahwa mereka berbeda. Dalam kondisi seperti itu, Erbstein bertahan hidup dengan membangun suatu usaha dengan saudaranya.

Lima tahun kemudian, tepatnya pada Maret 1944, Jerman mulai menyerang Hungaria dan semuanya pun berubah.

Pada Oktober, Nazi telah meningkatkan aksi mereka untuk membumihanguskan kelompok Yahudi-Eropa sehingga banyak warga Yahudi dideportasi dari Hungaria.

Dalam bukunya, Bliss menggambarkan bagaimana lebih dari 400 ribu orang -- pria, wanita, dan anak-anak-- dijejalkan ke dalam 150 kereta untuk dikirimkan ke Auschwitz, atau ke kamp konsentrasi Nazi di Polandia.

Menurut Bliss, setiap harinya sejumlah 12 ribu orang dikirim dari Hungaria ke Auschwitz dengan cara tersebut.

Tak heran, Erbstein, istrinya, Jolan, dan kedua putrinya, Susanna dan Marta, mulai cemas akan masa depan mereka.

"Hanya ada sediki kesempatan untuk melarikan diri, bahkan untuk orang yang panjang akal seperti Erbstein," tulis Bliss.

"Namun, dalam masa-masa tergelap Holocaust sekali pun, ada tempat pengungsian yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki koneksi."

Di masa itu, salah satu cara paling mengagumkan untuk menyelamatkan kelompok Yahudi-Hungaria adalah mendirikan pabrik pakaian yang memproduksi seragam untuk para tentara.

Di bawah bimbingan pastur Katolik, Pal Klinda dan Gitta Mallasz --mantan perenang internasional-- ratusan wanita Yahudi mendapatkan pekerjaan pada tempat-tempat yang didirikan di lahan milik Vatikan.

Wanita-wanita itu berada dalam kondisi aman, sampai akhirnya kelompok Nazi yang dikenal dengan nama "Nyilas" masuk ke dalam biara dan memaksa mereka untuk menghadapi kematian.

"Anda tidak mungkin bisa membayangkan orang-orang ini. Mereka adalah monster," kata putri tertua Erbstein, Susanna, seperti diceritakan dalam buku Bliss.

Susanna kemudian menuturkan bagaimana mereka diminta Nyilas untuk menyerahkan benda-benda simpanan paling berharga.

"Hari Minggu menjadi hari kami boleh menerima panggilan telepon dan juga menerima kunjungan dari kerabat."

"Lalu, ketika kami sedang menelepon, mereka akan berkata kepada kami sebagai bahan lelucon : 'Suruh mereka (yang sedang ditelepon) untuk datang ke sini karena sedang ada pesta. Dan jangan berani-berani untuk memberi tahu mereka tentang situasi sebenarnya."

Keberuntungan Tanpa Batas

Meski kondisi bertambah parah, keberuntungan tanpa batas serta insting Erbstein dalam bertahan mampu membuat ia dan keluarganya bisa terhindar dari kematian.

Terpisah dari istri dan anaknya, Erbstein sendiri dikirim ke kamp pekerja. Di tempat itu ia bertemu dengan sosok yang sempat dikenalnya -- seorang lelaki yang menjadi seniornya di Pasukan Habsburg, 30 tahun sebelumnya.

Persahabatan Erbstein dengan sang perwira membuat dirinya tetap hidup dan bisa menghubungi keluarganya di biara.

Jika situasinya memungkinkan, sang perwira akan mengantar Erbstein untuk melakukan panggilan telepon untuk keluarganya. Sementara itu, jika terlalu berbahaya, ia akan melakukannya untuk Erbstein.

Dengan cara inilah ketika keluarganya diputuskan untuk masuk kamp konsentrasi, Erbstein bisa mengatur agar dirinya bisa berbicara dengan Susanna.

Tanpa sadar bahwa putri kecilnya sedang ditodong pistol, lewat sambungan telepon ia mendengarkan bagaimana sang putri berbisik dengan suara tinggi bahwa akan ada "pesta" dan bagaimana ia harus datang ke pesta itu.

Setelah mendapat izin untuk meninggalkan kamp, Erbstein lalu menghubungi guru balet Susana, Valerie Dienes, seorang penari paling kenamaan di negaranya yang juga memiliki koneksi dengan petinggi gereja Hungaria.

Angelo Rotta, kepala perwakilan Vatikan di kota Budapest, adalah salah satu pihak yang berusaha untuk menyelamatkan kelompok Yahudi di Hungaria. Ia sadar peran ganda biara-biara di negara tersebut yang memberikan perlindungan sebelum akhirnya diambil alih Nyilas.

Ia juga mengenal Susanna.

Rotta kemudian memperingati pemerintah Hungaria bahwa setiap serangan yang dilakukan pada tanah milik Paus akan mendapatkan kritikan besar. Peringatan itu pun berhasil.

Mendapat pengamanan dari Rotta, asisten Rotta, Gennaro Verolino, kemudian pergi ke tempat para wanita sedang dibariskan oleh Nylas. Dengan surat perintah untuk membawa kembali para wanita itu ke biara, Verolino pun menggagalkan kematian. Pada malam itu, surat yang dibawa Verolino membuat setidaknya 70 wanita selamat dari kematian.

Kabur dari Kamp dan Membawa Torino ke Puncak Kejayaan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER