Wina, CNN Indonesia -- Legenda sepak Perancis, Michel Platini, kembali terpilih menjadi presiden Konfederasi Sepak Bola Eropa (UEFA) untuk kali ketiga beruntun, Selasa (24/3).
Platini terpilih ulang secara aklamasi pada pemilihan yang berlangsung di Wina, Austria. Tak ada calon lain yang maju dan menantang mantan pemain Juventus tersebut dalam pemilihan.
Platini mendapat suara dari ke-54 anggota UEFA dan akan kembali memimpin otoritas sepak bola tertinggi di Eropa itu hingga empat tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tahu saya dapat mengandalkan Anda, dan Anda tahu bahwa Anda dapat mengandalkan saya," ujar Platini dalam kata sambutannya seperti dilansir
Deutsche Welle.
Platini juga mengungkapkan dukungannya kepada FIFA, yang akan melakukan pemilihan presiden pada 29 Mei mendatang. Platini menegaskan, UEFA akan bekerja sama dengan FIFA demi kebaikan 209 negara anggotanya di seluruh dunia.
"Apapun hasil dari pemilihan umum pada 29 Mei kami akan (tetap) bekerja sama. Saya sangat yakin akan hal itu," ujar Platini melanjutkan.
Tantangan KekerasanPlatini sendiri menyuarakan kekhawatirannya terhadap semakin meningkatnya kekerasan di stadion-stadion Eropa. Mulai dari kerusuhan perempat final Piala Yunani antara AEK Athens dan Olimpiakos, hingga pertandingan Liga Europa antara Feyenoord melawan AS Roma.
Selain itu, Platini juga menyoroti tindakan rasial suporter. Yang teranyar adalah tindakan suporter Chelsea yang melarang seorang warga negara Perancis kulit hitam naik kereta di Paris.
"Kita membutuhkan hukuman yang lebih keras di tingkat Eropa, dan juga berharap adanya pembentukan pasukan polisi olahraga Eropa," ujar Platini.
Platini sendiri pernah mengalami salah satu insiden kerusuhan suporter saat masih aktif bermain. Tiga kali peraih Ballon d'Or tersebut menjadi saksi hidup insiden Stadion Heysel pada 1985 , saat terjadi kerusuhan antara suporter Juventus melawan Liverpool yang memakan 39 korban jiwa.
Insiden tersebut berakibat semua klub Inggris mendapatkan sanksi hukuman larangan bertanding di Eropa dari UEFA hingga musim 1990/1991, dan didaulat sebagai momen terburuk dalam sejarah kompetisi Eropa.
(har/har)