Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah 25 tahun berlalu, namun kenangan buruk Inggris tak akan pernah hilang begitu mereka kembali menjejakkan kaki di kota Turin. Di kota inilah, harapan mereka untuk lolos ke final Piala Dunia pupus dalam drama adu penalti.
Inggris yang mendapat jatah sebagai penendang pertama sukses melakukan eksekusi dengan sempurna pada tiga kesempatan pertama.
Namun hal itu seolah tak memberikan tekanan berat pada Jerman lantaran mereka juga sukses mencetak gol di tiga tendangan penalti pertama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Petaka bagi Inggris dimulai saat Stuart Pearce gagal mencetak gol lantaran tendangannya berhasil diblok oleh Bodo Illgner . Eksekutor keempat Jerman, Olaf Thon berhasil mencetak gol dan membat Jerman memimpin 4-3.
Chris Waddle coba menyelamatkan harapan Inggris namun ternyata tendangannya justru melambung jauh di atas mistar. Jerman pun tak perlu mengutus penendang kelima mereka karena kemenangan sudah pasti di tangan.
"Saya 'bersyukur' kami berdua gagal karena akan sangat tidak menyenangkan jika kekalahan itu hanya menjadi tanggung jawab Pearce seorang ataupun saya seorang," tutur Waddle mengenang seperti dikutip dari Independent.
"Saya ingat bahwa (Lothar) Matthaus menghampiri saya seusai pertandingan dan berkata bahwa adu penalti adalah cara terburuk untuk tersingkir," katanya menambahkan.
Air Mata GascoigneBukan hanya soal adu penalti, kenangan Inggris, suporter mereka tentang Turin adalah bagaimana Paul Gascoigne, pemain yang selama ini dikenal bengal, tak takut apapun, namun 'rela' menitikkan air matanya karena ia terkena kartu kuning kedua lantaran melakukan pelanggaran di babak perpanjangan waktu.
Tanpa kata-kata, air mata Gascoigne sudah menggambarkan semuanya. Dan langkah gontai Gascoigne keluar lapangan menegaskan itu semua. Sebuah kekecewaan, kemarahan, dan rasa kekalahan lantaran tidak sanggup membantu timnya untuk berjuang hingga akhir pertandingan.
"Saya ingat ketika Bobby Robson meminta Gascoigne menjaga Matthaus, Gascoigne dengan penuh percaya diri berkata, Siapa itu Matthaus?" kata Waddle mengenang.
Memori Buruk dan BaikMeski mungkin kalah adu penalti di babak semifinal adalah memori yang buruk bagi tim nasional Inggris, namun tak dimungkiri catatan ini juga merupakan catatan terbaik yang berhasil ditorehakan Inggris di Piala Dunia, di luar saat mereka menjadi juara dunia 1966.
"Banyak yang berkata bahwa intinya kami tetap gagal juara namun menarik untuk dilihat apakah ada tim Inggris yang mampu menyamai catatan kami ketika bertanding di luar negeri," kata Waddle.
Inggris kini kembali datang ke Turin. Mereka memang tidak akan bermain di Delle Alpi, melainkan di Stadion anyar, Stadion Juventus.
Namun tetap saja, ketika kata Turin berpadu dengan sepak bola, kenangan dalam benak pendukung Inggris adalah kekalahan adu penalti di semifinal Piala Dunia 1990 plus ditambah air mata Gascoigne sebagai pelengkap penderita.
(ptr/ptr)