Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Kumandang adzan Isya memanggil umat muslim untuk menjalankan rutinitas ibadahnya. Hampir tujuh jam para wartawan menunggu tanpa kepastian kapan rapat ketiga Tim Transisi yang digelar di gedung Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada hari Kamis (21/5) itu akan selesai.
Ini bukan pengalaman pertama para awak media menunggu lama, hanya untuk mendapatkan hasil keputusan rapat dan mendengar kondisi 'kesehatan' sepak bola Indonesia di tanah air baik di Kemenpora maupun PSSI.
Hingga saat ini pun, lewat dari tenggat waktu yang diberikan FIFA, kegaduhan politik sepak bola itu masih tak berujung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah bermula pada tanggal 1 Maret 2015, saat Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tidak memberikan rekomendasi kepada dua klub untuk mengikuti kompetisi Liga QNB (sebelumnya Liga Super Indonesia) yang diselenggarakan oleh PT Liga Indonesia. Arema Cronus dan Persebaya Surabaya, gagal mendapatkan verifikasi BOPI karena tak memiliki legalitas yang sah.
"ISL (Liga Super Indonesia) sendiri telah berlangsung tujuh tahun. Sebelumnya, kami sering melakukan kompromi dalam melakukan verifikasi. Saat ini, kami lebih ketat karena tidak ingin penurunan prestasi terus berlangsung," kata Juru Bicara Kemenpora, Gatot S. Dewa Broto (2/4).
Singkat cerita, satu bulan kemudian pada tanggal 18 April, PSSI dibekukan oleh Kemenpora saat tengah mengadakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pakar hukum olahraga, Eko Noer Kristyanyo, mengatakan bahwa di mata hukum nasional, pembekuan yang dilakukan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sudah tepat dan sesuai aturan.
"Namun saya menyayangkan keputusan ini sedikit keluar dari jalur yang sebelumnya dibangun. Sebelumnya, langkah-langkah yang diambil Menpora atas pertimbangan yang rasional, dengan menggunakan dasar hukum yang jelas, yaitu pajak dan badan hukum.
"Tapi meminta seluruh pengurus PSSI dirombak itu pertimbangan politis," ucap Eko (21/4).
Kini Kemenpora bersama PSSI gelagapan menunggu apakah Indonesia akan mendapatkan sanksi FIFA atau tidak. Tiga bulan terbuang sia-sia sudah oleh debat tak berarti, sepak bola Indonesia berada di ujung tanduk.
Sepak bola memang menjadi salah satu cabang olahraga bola besar yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan. Pertanyaannya, sampai kapan demikian?
Banyak yang berkata, baik warga sipil maupun dari kalangan olahragawan sendiri, ini adalah dampak dari percampuran antara politik dan olahraga. Akibat negatif dari sebuah kepemimpinan tanpa latar belakang olahraga.
Dari zaman Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang pertama, Wikana, hingga kini Imam Nahrawi, belum pernah jabatan menpora ditempati oleh orang yang benar-benar berlatarbelakang olahraga, meski yang berlatarbelakang olahraga pun tidak menjamin dapat membawa tata kelola sepak bola Indonesia lebih baik.
Kemenpora ingin membenahi PSSI, namun tidak memiliki langkah terukur. Sulit memang meraba-raba sesuatu yang tidak dapat terlihat dan telah terorganisir dengan baik.
Di sisi lain, calo tiket, bandar judi, hingga mafia sepak bola jadi bayang-bayang yang melekat ke tubuh PSSI. Dugaan kepentingan besar politik yang mendukung organisasi yang sudah berdiri sejak 19 April 1930 itu pun kadang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia dan menjadi rahasia umum.
Kalau memang PSSI mesti dibenahi karena hal-hal tersebut, mari masyarakat Indonesia bersama-sama melakukan dukungan terhadap itu. Kalau Kemenpora membekukan PSSI memang dengan niatan tulus untuk mengembalikan hak dan kewajiban pemain yang selama ini tak pasti, lakukanlah.
Namun jangan bertindak tanpa bukti yang jelas. Saya pikir wajar keadaannya menjadi seperti sekarang ini karena masing-masing pihak sedang mencari dan menyembunyikan bukti-bukti yang tidak diketahui masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, pihak mana yang dipercayai masyarakat Indonesia? Apakah PSSI? Apakah Kemenpora? Atau pemain? Semua jadi pilihannya masing-masing.
Baik Kemenpora dan PSSI kini dapat dibilang berada di atas anginnya masing-masing. Kemenpora mendapat dukungan dari Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI) untuk tetap konsisten melakukan tindakan-tindakan pembenahan.
"Aksi ini kami lakukan untuk menunjukkan bahwa Menpora tidak sendirian dalam menghadapi konflik dengan PSSI," ujar ketua FDSI Helmi Atmaja yang menyatakan dukungannya kepada Menpora melalui aksi damai di Kemenpora (23/5).
Demikian pula dengan tertangkapnya para petinggi FIFA yang seolah menjadi sebentuk dorongan, bahwa dalam sepak bola masih banyak yang harus dibenahi. Jika otoritas sepak bola tertingi di dunia saja bisa terkena penyakit, bagaimana dengan federasi masing-masing negara?
Sementara itu, PSSI mendapatkan kekuatan lebih dari putusan sela PTUN yang menyatakan gugatan PSSI diterima. Dengan adanya putusan sela tersebut, PSSI kembali memiliki marwahnya sebagai organisasi yang mengatur sepak bola di Indonesia.
Sepak bola seharusnya berpentas dalam Gelora (Gelanggang Olahraga), bukan Gelatik (Gelanggang Politik). Bukan PSSI yang menentukan kesuksesan sepak bola di Indonesia, tapi kesuksesan PSSI adalah ukuran kesuksesan sepak bola Indonesia.
Di sini tidak ada menang atau kalah. Jika masing-masing pihak berdalih dengan membawa nama bangsa Indonesia untuk sepak bola, salah satu pihak harus ada yang mengalah dengan hormat.
Semua membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Masyarakat Indonesia pun arif dan bijaksana untuk dapat melihat ini melalui kaca mata masyarakat yang lebih luas.
Harapan dan optimisme sesungguhnya masih ada dalam diri para pecinta sepak bola ibu pertiwi. Perjalanan sepak bola Indonesia masih panjang dalam meraih prestasi, merangkak dari posisi ke-159 Peringkat Dunia FIFA.
Tanggal 29 Mei, atau tepatnya Kongres FIFA di Zurich, Swiss, telah lewat. Hingga saat ini, tak ada pembahasan sanksi untuk Indonesia oleh para petinggi FIFA. Pertanyaan akan timbul mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya, baik oleh Kemenpora atau pun PSSI. Lalu, apakah bayang-bayang sanksi FIFA tetap akan muncul atau tidak.
Yang terutama, kapan kah seluruh konflik sepak bola ini akan berakhir?
Namun, satu hal yang pasti, lebih baik menunggu agak lama namun berakhir baik, dibandingkan tergesa-gesa tapi tidak mengubah apa-apa.
(vws)