Surabaya, CNN Indonesia -- Sejatinya seorang suporter sepak bola berdiri di atas tribun untuk mendukung klub kebanggaan mereka. Namun hal ini tidak berlaku untuk bondo nekat (bonek), suporter Persebaya 1927 yang selama dua tahun terakhir tidak menginjakkan kaki ke dalam stadion.
Sejak 2013 lalu, atau tepatnya ketika terjadi unfikasi antara Indonesian Super League dan Indonesian Premier League, klub Persebaya 1927 dinyatakan tidak boleh lagi berkompetisi. Selama itu juga Bonek 1927 tidak menonton pertandingan di dalam maupun di luar kota Surabaya.
Kehidupan dan kegiatan mereka kini sebatas menonton pertandingan sepak bola kesebelasan lain di layar kaca masing-masing, atau berkumpul di Wisma Persebaya. (Baca Juga:
Persebaya Milik Siapa?)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini pula yang dilakukan presidium Bonek 1927, Andy Kristiantono, di basis bonek yang terletak di Jalan Karang Gayam 1, Ploso, Tambak Sari, Surabaya, Jawa Timur. Bersama teman-temannya, di sana ia berkumpul hampir setiap hari dari pagi hingga malam dengan ditemani secangkir kopi yang menjadi minuman favoritnya agar tetap terjaga. Beberapa dari mereka juga bermalam satu-dua hari, semua demi sepak bola Surabaya.
Di halaman belakang wisma, mereka menjalani hari-hari dengan dimanjakan pohon rindang yang melindungi dari cuaca panas kota Surabaya, dengan alunan gitar, dengan bermain kartu, bersenda gurau, sambil menunggu, dan merencanakan aksi-aksi protes untuk memperjuangkan eksistensi Persebaya 1927.
Atribut Persebaya tak pernah lepas dari tubuh mereka, entah itu gelang, kaos, ataupun syal.
"Kangen dan pasti berat rasanya. Yang namanya suporter pasti menunggu pertandingan sepak bola," kata Andie kepada CNN Indonesia, Rabu sore (2/9). "Di Indonesia, mungkin hanya kami yang sudah lebih dari dua tahun tidak menyaksikan pertandingan sepak bola."
"Tapi kerinduan itu harus dikubur dalam-dalam, harus dihilangkan. Karena kami berada dalam area perlawanan mengembalikan Persebaya ke rumahnya."
Andie Peci, demikian ia akrab dipanggil oleh rekan seperjuangan dan para wartawan atau pemangku kepentingan sepak bola di Indonesia. Laki-laki yang gemar memakai
flat cap berwarna hitam tersebut sering memimpin aksi-aksi perjuangan Bonek. Pria asal Madiun ini sudah sedari kecil mencintai Persebaya sejak pindah ke Surabaya pada 1996 dan cintanya kepada Bajul Ijo terkadang melebihi masyarakat Surabaya sendiri.
"Sebenarnya Persebaya banyak yang mencintai, bukan hanya rakyat Surabaya tapi Indonesia. Terlalu kecil kalau memaknai pecinta Persebaya hanya di Surabaya."
Bagi Andie, Persebaya adalah Bonek dan Bonek adalah Persebaya, karena tidak mungkin komunitas suporter tanpa memiliki klub. Ia berpandangan Bonek tidak boleh lebih besar dari Persebaya karena akan terlalu berbahaya akibatnya.
Andie menganggap perjuangan menuntut nama Persebaya bukan sekadar untuk kepentingan kelompoknya. Ia ingin menyampaikan bahwa suporter tidak boleh dikendalikan oleh politik atau kepentingan pribadi. Aksi-aksi bonek, menurutnya, juga sebuah pembelajaran untuk menjaga identitas dan sejarah.
"Walaupun kami tahu kami berhadapan dengan tembok yang kokoh atau kekuatan yang lebih besar, kami meyakini bahwa suporter adalah bagian besar dari sepak bola. Kami akan menang dan Persebaya akan kembali."
Perjuangan itu dibayar dengan mahal, kehilangan sesuatu yang dekat dengan trah mereka sebagai suporter: sepak bola.
"Perlawanan tertinggi kami itu memboikot stadion, itu perjuangan kami yang paling tinggi. Arek-arek Bonek dan rakyat Surabaya membuktikan bahwa apa yang PSSI sajikan tidak menarik bagi kami, meski mungkin didatangkan pemain-pemain mahal. Pemain-pemain nasional."
 Bonek Persebaya 1927 berkumpul di Wisma Persebaya pada Rabu (2/9). (CNN Indonesia/M. Arby Putratama) |
Nekat di Mata BonekTerlepas dari adanya stigma negatif sebagai kelompok yang sering berulah, Andie mengidolakan Bonek karena ada semangat heroisme yang tidak dimiliki suporter yang lain. Menurutnya, kenekatan yang bersandang pada nama Bonek itu adalah sebagai bagian dari kenakalan pemuda biasa.
Ia juga melihat ada esensi lain yang terkandung dalam Bonek, yaitu mencintai dengan semangat militan tanpa pamrih. Memang ada situasi yang membuat Bonek mengubah diri mereka menjadi 'nekat', namun Andie menyatakan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lain.
Contohnya, ucap Andie, perlawanan sekarang melawan dualisme Persebaya adalah untuk mendewasakan temen-temen Bonek.
"Anda bisa memaknai kenekatan identik dengan kerusuhan, dan lain-lain. Tapi pemahaman itu bisa kita ubah bahwa kenekatan bukan sekadar terjadi kerusuhan. Ada fase-fase ketika kenekatan itu penting buat kita, buat siapapun," tuturnya. "Misalkan kemerdekaan Indonesia dan peristiwa 10 November di Surabaya. Itu kan mengandung nilai-nilai kenekatan."
Menurutnya emosi adalah konsekuensi dari noda hitam perjalanan Bonek.
Andie tak akan membantah jika publik memaknai Bonek sebagai sekelompok perusuh. Tapi Andie menegaskan bahwa Bonek selalu berusaha sampai sekarang untuk mengubah citra itu.
"Sekarang perlahan-lahan kami mengubah itu. Itu bisa dilihat dari tiga tahun ke belakang ini kami membuat aksi protes puluhan ribu tanpa kerusuhan."
"Soal publik menilai lain, biarlah sejarah yang membuktikan. Tidak harus dengan menghilangkan jati diri (kenekatan)," kata Andie.
(vws)