Brendan Rodgers: Tiga Tahun, 10 Formasi, Nol Piala

Martinus Adinata | CNN Indonesia
Senin, 05 Okt 2015 15:52 WIB
Brendan Rodgers menjadi satu-satunya pelatih sejak 1960-an yang gagal memberikan piala di tiga musim pertama. Mengapa hal ini terjadi?
Brendan Rodgers gagal memberikan piala selama melatih Liverpool. (Reuters / Lee Smith)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga tahun kebersamaan Brendan Rodgers bersama Liverpool berakhir sudah, setelah manajer berusia 42 tahun itu resmi dipecat oleh The Reds.

Berawal dari manajer yang kredibilitasnya dipertanyakan, hingga jadi manajer yang nyaris mencatat sejarah dengan tinta emas, Rodgers kini mengakhiri perjalanan naik-turun di Liverpool dengan muram, setelah The Reds hanya mampu memetik tiga kemenangan dari 10 pertandingan terakhir di berbagai ajang. Manajer yang sempat mendapat dukungan dengan spanduk "Make Us Dream" itu pun kemudian diejek dengan tagar #RodgersOut di media sosial di akhir-akhir kepemimpinannya.

Lantas apa yang terjadi pada manajer yang nyaris mengakhiri puasa Liga Primer The Reds pada musim 2013/14 lalu?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Brendan Rodgers berhadapan dengan inkonsistensi taktik dan berbagai situasi yang membuat perjalanannya di Liverpool tak semulus yang ia harapkan.

Berdasarkan catatan CNN Indonesia yang dirangkum dari data transfermarkt, Rodgers telah menggunakan lebih dari 10 jenis formasi taktik selama tiga tahun menangani Liverpool, membuat permainan Jordan Henderson dkk cenderung berubah-ubah.

Meski variasi taktik 4-3-3 menjadi varian taktik yang paling sering digunakan Rodgers (81 kali dengan variasi penggunaan 4-3-3 menyerang sebanyak 38 kali dan 4-3-3 bertahan sebanyak 43 kali), perubahan taktik yang rutin dilakukan Rodgers membuat permainan Liverpool juga tak kunjung konsisten.

Menggunakan taktik 4-3-3 selama hampir tiga bulan pertamanya di Liverpool, eksplorasi Rodgers dengan mengganti formasi menjadi 5-4-1 berbuah kekalahan dari Anzhi Makhachkala di ajang Liga Eropa, 8 November 2012 silam.

Setelah kekalahan tersebut, Rodgers kemudian kembali menggunakan taktik 4-3-3 pada 16 pertandingan selanjutnya, meraih 10 kemenangan, dua kali imbang, dan empat kekalahan.

Namun, Rodgers kembali bereksplorasi dengan berbagai alternatif mulai dari penggunaan tiga bek di taktik 3-4-3 yang ia gunakan sebanyak 10 kali selama berkarier di Liverpool maupun 3-1-4-2 yang telah 18 kali ditampilkan skuat The Reds.

Pada musim awal musim 2014/15, inkonsistensi taktik Rodgers semakin terlihat jelas ketika ia konstan mengubah formasi 4-2-3-1 menjadi 4-1-4-1 maupun 4-3-1-2.

Hilangnya mesin gol Liverpool, Luis Suarez, membuat Rodgers berusaha mencari formasi yang tepat untuk memaksimalkan deretan pemain anyar dan menemukan kembali ketajaman The Reds yang mampu mencetak lebih dari 100 gol pada musim sebelumnya.

Namun, hingga akhir perjalanannya di Anfield, Rodgers masih belum menemukan formasi yang tepat.

Eksplorasi Taktik Diikuti Perubahan Posisi Pemain

Memiliki sejumlah pemain serba bisa yang mampu bermain di berbagai posisi, Rodgers tak hanya bereksplorasi dengan formasi tapi juga turut bereksperimen dengan sejumlah pemain.

Bahkan Lazar Markovic dan Jordon Ibe yang lebih dikenal sebagai pemain sayap yang memiliki kemampuan menusuk pertahanan lawan, 'disulap' Rodgers menjadi bek sayap, yang pada akhirnya membuat kedua pemain itu tak jarang seperti kehilangan arah.

Selain itu, Rodgers juga acapkali memainkan pemain di luar posisi asli mereka, seperti bek tengah Joe Gomez yang dimainkan di bek kiri, Emre Can yang menjadi bek tengah (posisi asli gelandang), Roberto Firmino yang dimainkan di sayap (di Hoffenheim lebih efektif ketika bermain di tengah) hingga Danny Ings yang di awal kariernya di Liverpool diplot sebagai pemain sayap meski sebetulnya ia seorang ujung tombak.

Hasilnya, banyak pemain-pemain tersebut yang akhirnya menjadi titik lemah Liverpool dan seringkali dimanfaatkan tim lawan.

Gomez yang tampil apik di beberapa pertandingan awal di posisi bek kiri mulai mulai dieksploitasi lawan dan sehingga posisinya kembali digeser oleh Alberto Moreno.

Selain itu Ings yang awalnya diplot sebagai pemain sayap, juga terbukti lebih tajam ketika dimainkan di posisi aslinya sebagai penyerang.

Keberanian Rodgers memainkan pemain di luar zona nyamannya memang patut diberi acungan jembol. Namun, perjudian yang ia lakukan terhadap sejumlah pemainnya itu tak berjalan sesuai dengan keinginan.

Danny Ings adalah salah satu pemain yang posisinya sempat diubah oleh Liverpool. (Reuters / Craig Brough)


Apa Alasannya, Rodgers?

Hal ini sebenarnya menimbulkan pertanyaan besar lain, yakni mengapa Rodgers tak memainkan pemain di posisi asli mereka dan mencari formasi tepat untuk mengakomodasi semua itu? Apalagi mengingat keberanian manajer asal Irlandia Utara itu mengganti formasi timnya di tiap pertandingan.

Fakta bahwa The Reds sering mengubah taktik mereka sebenarnya tak lepas dari situasi yang terkadang tak mendukung.

Mulai dari kepergian Suarez, kemudian berujung hengkangnya Raheem Sterling ke ManCity, Rodgers juga berhadapan dengan berbagai masalah lain di luar lapangan yang turut mempengaruhi keputusannya dalam mengutak-atik formasi permainan tim.

Melaju mulus di puncak klasemen Liga Primer musim 2013/14 silam berkat 11 kemenangan beruntun, Liverpool hanya tinggal membutuhkan tujuh poin dari tiga pertandingan sisa untuk memastikan diri sebagai juara Inggris.

Namun garis nasib berkata lain. Insiden terpelesetnya Steven Gerrard menjadi penanda kekalahan Liverpool dari Chelsea dua gol tanpa balas, membuat Manchester City mengambil alih kendali perebutan gelar Liga Primer.

Seolah tak direstui alam untuk mengakhiri puasa gelar Liga Primer, Liverpool juga menyia-nyiakan keunggulan tiga gol mereka atas Crystal Palace pada pertandingan berikutnya.

Tak tanggung-tanggung, di 11 menit pertandingan waktu normal tersisa, Palace mampu menyamakan kedudukan menjadi 3-3, menghancurkan mimpi Liverpool untuk merebut trofi Liga Primer.

Tak Bisa Menutup Lubang

Seakan belum cukup, era kepemimpinan Rodgers juga ditandai dengan kegagalan Liverpool mempertahankan pemain bintang dan mencari pemain baru untuk mengisi lubang yang ditinggalkan pemain-pemain tersebut.

Kegagalan Liverpool mencari pengganti Suarez akan menjadi salah satu kegagalan terbesar Rodgers selama tiga tahun menangani The Reds. Sementara itu kepergian Gerrard dan pensiunnya Jamie Carragher membuat Liverpool tak memiliki sosok pemimpin di kamar ganti.

Buruknya penampilan Liverpool di Eropa dan kegagalan menembus Liga Champions juga berdampak pada menurunnya minat pemain bintang untuk merapat ke Anfield, membuat juara lima kali Liga Champions itu seakan kehilangan pesonanya di mata pemain-pemain bintang dunia.

Merosotnya posisi Liverpool di UEFA menjadi peringkat ke-55 merupakan indikasi betapa The Reds semakin tenggelam dalam persaingan di kancah Eropa. Padahal satu dekade lalu The Reds pernah duduk di puncak daftar tersebut setelah dua kali melaju ke final Liga Champions dalam waktu tiga musim.

Semua hal itu akhirnya terangkum dan berujung pada sorotan yang terus tertuju pada Rodgers. Apalagi sudah menjadi rahasia umum di dunia sepak bola, seorang manajer akan menjadi kambing hitam pertama ketika permainan sebuah klub tak kunjung membaik.

Dari manajer yang dipandang sebelah mata ketika menggantikan 'King' Kenny Dalglish hingga nyaris bersanding dengan deretan legenda Liverpool, Rodgers akhirnya harus rela melangkah meninggalkan Anfield dengan tangan hampa. Ia pun harus menelan satu pil pahit menjadi manajer pertama sejak era 1960an yang tak mampu meraih trofi di tiga tahun pertamanya.

Kisah Rodgers di Anfield menunjukkan betapa tipisnya batas antara menjadi pahlawan atau menjadi pecundang di dunia sepak bola. (vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER