Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Mereka yang tersesat melakukan banyak cara agar ditemukan. Membuat tanda SOS yang terlihat dari langit. Menyalakan suar. Membuat bebunyian yang terdengar dari jauh, atau sekadar berteriak dan berharap suara putus asa mereka setidaknya didengar jiwa yang lain.
Bagi Lionel Messi: mengubah rambutnya menjadi pirang.
Messi –pemain yang saking pendiamnya pernah disangka tak bisa berbicara-- memang mengejutkan dunia karena menghilangkan warna coklat pada rambutnya. Ia kini berjanggut, bertato, dan pirang. Jauh berbeda dari pemuda lugu tak kenal
fashion, yang tiba-tiba mengagetkan dunia dengan magis-magisnya di atas lapangan, sepuluh tahun silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pirang di kepala Messi muncul hanya dua pekan setelah gagal membawa Argentina menang di final Copa America Centenario. Satu tahun sebelumnya, ia gagal di final Copa America 2015. Dua belas bulan sebelumnya, ia tertunduk malu di final Piala Dunia 2014.
Kegagalan ketiganya bersama Argentina membuatnya sangat emosional. Kelewat rapuh. Terlalu kebingungan. Seragam tim nasional yang semula menjadi kebanggaan, tiba-tiba saja berubah menjadi beban yang terlalu berat untuk dipakai. Ia kini dicap sebagai Sang Messiah yang gagal total di level internasional. Messi pun (sempat) memilih mundur. Kata dia, memenangi gelar bersama Argentina memang bukan takdir hidupnya.
Pemilihan kata takdir sendiri menjadi tanda betapa Messi putus asa untuk menang bersama Argentina. Dia telah sampai pada titik kesimpulan bahwa hal itu kini ada di luar kuasanya sendiri. Sebuah pengakuan bahwa bakatnya yang belum tentu muncul lagi dalam beberapa generasi ke depan, tak cukup besar untuk merebut sebuah gelar.
Tanda-tanda kepasrahan bahkan telah ada sebelumnya, ketika Messi tak mau mencukur janggut.
Kata Messi, di sela-sela pertandingan Copa America Centenario, mencukur janggut itu nazar. Hanya boleh dilakukan setelah menang. Lagi-lagi suatu pertanda ada rasa takut dalam dirinya. Sedikit saja salah bertindak dalam soal remeh seperti mencukur janggut, Messi akan dihukum berat tak bisa memenangi apapun untuk Argentina.
Dan ketika ketakutan itu terwujud, Messi pun melarikan diri dari identitasnya. Messi yang polos dan hanya memikirkan sepak bola setiap saat, kini tak ada lagi.
“Saya harus memulai segala sesuatu dari nol,” kata Messi soal rambut yang berubah menjadi pirang itu.
Memulai dari nol tentu hal manusiawi yang wajar dialami oleh orang-orang yang menemui jalan buntu. Siapapun yang gagal pernah berharap menemukan cara menulis ulang masa depan. Tapi jika ucapan ini keluar dari pemain yang dinobatkan sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa, rasanya terlampau miris.
Memulai dari nol. Seolah rentetan gelar di level klub dan individualnya tak berharga dan perlu dibumihanguskan. Tak layak diingat-ingat lagi.
Duka macam apa yang membuat seseorang yang berada di puncak dunia ingin membangun hidupnya kembali? Mengapa seorang pemain yang masih 29 tahun dan belum tertandingi siapapun, berulang kali mengingat kata “pensiun” dan “kembali ke klub lama” dalam setiap wawancara?
Hingga titik ini, bagi Messi merebut gelar memang terlihat bukan sekadar tentang menyempurnakan prestasinya yang nyaris tanpa cela. Bukan juga soal menyamai status Maradona sebagai dewa sepak bola.
Obsesi akan gelar bersama Argentina itu telah menjadi demikian personal untuknya. Menjadi sebuah cara mencari jalan untuk pulang. Menuntaskan kerinduan.
 Messi ketika gagal menyarangkan penalti di final Copa America. (Adam Hunger-USA TODAY Sports) |
Bocah yang Hanya Menatap ArgentinaMessi bertualang separuh dunia di usia 13 tahun. Mengejar hormon pertumbuhan karena saat itu Barcelona menjadi satu-satunya klub yang mau dan mampu membiayai urusan-urusan medisnya.
Di atas kertas, direkrut Barca yang merupakan raksasa sepak bola Spanyol tentu bukan kesengsaraan. Ia akan mendapatkan fasilitas sepak bola terbaik di dunia yang tak bisa didapat dengan mudah oleh anak lainnya.
Namun proses ini bukan mudah dijalani anak pemalu seperti Messi. Di usia 13 tahun, ia telah dipaksa untuk hidup layaknya seorang profesional. Latihan di La Massia. Sekolah. Pulang ke rumah. Menerima suntikan hormon pertumbuhan.
Saking kesepian, Messi terkadang mengunci dirinya sendiri di kamar agar sang ayah tak dengar tangisannya. Hari-hari Messi bermain bola dengan riang gembira, mencetak gol demi hadiah sepotong kue dari pelatihnya di Newell’s Old Boys, dengan sekejap hilang.
Andres Iniesta dan Cesc Fabregas, dua bintang Barcelona yang menjadi temannya sejak di akademi La Massia, mengatakan betapa Messi sangat pendiam dan nyaris tak pernah berbicara. Bahkan hingga ia beranjak dewasa.
Bagi yang benar-benar bisa menyimak ucapannya, maka mereka akan mendengar Messi menggunakan aksen kota kelahirannya, Rosario, ketimbang menggunakan aksen Katalonia. Ia akan mengucapkan “
y” dengan bunyi “
sh” sebagaimana mereka yang besar dan tumbuh di jalanan Argentina. Hal ini berlangsung bertahun-tahun hingga ia dewasa, meski lebih dari separuh hidupnya dihabiskan di Katalonia.
Aksen adalah salah satu cara Messi mempertahankan benang merah dengan dirinya yang mula-mula. Jalan lain adalah merawat rumah masa kecil.
Penulis ESPN, Wright Thompson, pernah berkunjung ke tempat Maradona dan Messi. Lewat
Here and Gone, Thompson menceritakan kontras rumah masa kecil dua pemain terbaik sepanjang sejarah Argentina ini, meski keduanya sama-sama berasal dari daerah miskin.
Rumah Maradona kini tak terurus. Dipenuhi rumput liar, pecahan kaca, dan terkadang digunakan para gelandangan menginap. Maradona yang keluar dari kungkungan kemiskinan lewat sepak bola, tak pernah lagi menoleh pada masa lalu.
Messi sangat berbeda. Ia memastikan rumahnya selalu terawat meski kini tak lagi berpenghuni. Messi memang telah memindahkan orang tuanya ke bangunan yang lebih baik, tapi ia tak mau melepas masa kecilnya. Waktu dan ingatannya terkunci. Ia terlihat ingin memastikan sang bocah 13 tahun yang ada dalam dirinya itu selalu punya tempat pulang.
Ke rumah yang sama ketika identitasnya tak pernah dipertanyakan.
Dan dalam narasi hubungan antara Messi dan Argentina, persoalan identitas ini selalu sentral. Sejak detik pertama perkenalan Messi dan negaranya, ia memang telah menjadi sosok asing.
Nama Messi melambung pertama kalinya lewat sebuah kabar burung: ada seorang bocah berdarah Argentina yang sangat berbakat di Barcelona. Tapi tak ada seorang pun yang tahu seberapa besar talenta Messi. Tak heran, ketika ia pertama kali terpilih membela tim nasional, Federasi Sepak Bola Argentina juga secara ironis salah menulis namanya dalam surat pemanggilan menjadi Leonel Mecci.
Pemanggilan pertama Messi ke timnas itu juga sesungguhnya merupakan suatu ujian untuk menakar kemampuannya. Jika Messi benar-benar berbakat, mereka tak ingin ia jatuh ke tangan Spanyol.
Dari sanalah hubungan rumit antara Messi dan negaranya dimulai. Sejak pertemuan pertama, Argentina tak mungkin menutup mata terhadap bakat sang pemain, sementara di saat bersamaan tak benar-benar bisa menerimanya seperti saat mengelu-elukan Maradona atau Carlos Tevez. Argentina membebankan harapan mereka pada pundak Messi dan memberinya ban kapten, tapi sekaligus menempatkannya pada pusat kontroversi.
Patriotisme Messi kerap dipertanyakan. Kecintaannya pada negara juga mudah jadi bahan pergunjingan. Seandainya ia mengalami hari yang buruk seperti pemain lainnya, hal itu akan dijadikan bukti bahwa ia tak bersungguh-sungguh berjuang untuk Albiceleste.
Alih-alih diterima seperti pemain lain, Messi dipandang seperti orang asing yang dinaturalisasi. Ia dinilai bukan tipikal rakyat Argentina yang mejalani hidup dari satu krisis ke krisis lainnya, karena di usia 13 tahun Messi telah mengantongi tiket emas. Di saat masyarakat Argentina menamai dirinya sendiri
hijos de los barcos (anak-anak kapal) sebagai tanda mereka adalah keturunan imigran-imigran Eropa, Messi justru kebalikannya, sukses merajai Eropa. Messi juga bukan seorang
gaucho, atau simbol perlawanan dan kebebasan yang sangat bisa sangat liar dalam bertindak. Suaranya terlalu lembut dan perilakunya terlalu pemalu untuk menjadi gaucho.
Secara sederhana, (sebagian) publik Argentina seolah ingin berkata, “Messi hebat sih, tapi kok ya rasa-rasanya bukan cerminan kami.”
Jarak antara Messi dan Argentina ini bahkan masih terlihat satu dekade setelah ia pertama kali dipanggil timnas. Tepatnya saat ia diludahi seorang penggemar River Plate di Jepang usai final Piala Dunia Antarklub 2015. Messi kala itu mendapat pembelaan dari pelatih River Plate, Marcelo Gallardo, yang justru mengingatkan keterasingannya dari Argentina:
“Messi adalah pemain yang lahir di negara ini, pemain terbaik di dunia, dan bermain untuk tim nasional. Berikan ia rasa hormat yang pantas ia dapatkan.”
Bukankah kata-kata Gallardo itu terdengar seperti ucapan bagi seorang yang asing? Seolah fakta bahwa Messi lahir di Rosario bukan sesuatu yang tertanam dalam-dalam pada memori kolektif masyarakat Argentina dan perlu ditegaskan.
Celaka bagi Messi, persoalan pengakuan ini tampak seperti beban dalam kehidupannya. Sadar atau tidak sadar, Messi mengisi hari-harinya dengan berbagai pembuktian bahwa ia adalah seorang Argentina. Ia akan mengumpat dengan kata-kata kasar khas Rosario, sementara di lain kesempatan ia mengunggah fotonya yang sedang meminum
mate, atau menyantap
dulce de leche.
Atau, Messi akan berulang kali menegaskan bahwa mimpinya semasa kecil, yang masih ia pegang erat-erat, adalah bermain di Argentina untuk membela Newell’s Old Boys.
Saya membayangkan, akumulasi beban-beban pembuktian identitas inilah yang terlalu mengganggu konsentrasinya ketika hendak mengambil penalti di final Copa America Centenario itu. Messi paham benar bahwa sepakan itu berarti segalanya untuknya: sebuah gelar sekaligus sebuah kunci yang membuka pintu hati rakyat Argentina. Sebuah permintaan maaf karena ia gagal di dua final sebelumnya. Sebuah penegasan bahwa sama seperti pemain lain, ia bangga setengah mati mengenakan warna biru langit Argentina.
Dan ketika jalan itu tertutup, ketika ia telah melakukan segalanya untuk pulang, bahkan sampai memohon pada takdir, apa lagi yang bisa ia lakukan?
Sebagaimana mereka yang tersesat, Messi pun membuat tanda-tanda. Rambutnya kini berubah pirang.
(dlp)