Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya. Maulwi Saelan, kiper legendaris tim nasional Indonesia sekaligus ajudan terakhir Presiden Sukarno, menghadap kepada Sang Khalik pada usia 90 tahun pada Senin (10/10).
Maulwi merupakan salah satu pemain terbaik Indonesia yang pernah tampil di Olimpiade Melbourne 1956. Di bawah tangan dingin Toni Pogacnik, skuat Merah Putih menjelma sebagai tim yang disegani.
Nama Maulwi masuk dalam skuat pilihan Pogacnik setelah melewati proses seleksi yang panjang. Ia bersama rekannya di PSM Makassar, Rusli Ramang, masuk dalam 20 nama yang dibawa ke Australia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah nama lain yang tak kalah populer pada masanya adalah Tan Liong Houw (Persija Jakarta), Aang Witarsa (Persib Bandung), dan Ramlan.
Maulwi dkk kemudian digembleng di Stadion Ikada (saat ini menjadi Monas) agar bisa mengeluarkan kemampuan terbaik di Olimpiade. Tak hanya disiplin melatih teknik dan fisik, Pogacnik getol menanamkan pentingnya wawasan bermain, ide, dan kecerdasan di lapangan.
Langkah Indonesia lolos ke putaran final Olimpiade sendiri dinaungi keberuntungan. Pasalnya Taiwan, salah satu tim terkuat di kawasan Asia pada saat itu, mundur di babak kualifikasi.
Maulwi dkk juga tak mengeluarkan keringat untuk lolos ke perempat final setelah Vietnam Selatan membatalkan keikutsertaannya. Indonesia praktis lolos ke babak perempatfinal bertemu dengan Uni Soviet, salah satu tim terbaik dunia pada saat itu.
Sebelum menghadapi Indonesia, Uni Soviet sukses menumbangkan calon kuat juara lainnya, Jerman dengan skor 2-1. Kala itu, Soviet diperkuat nama-nama beken macam Lev Yashin, Igor Netto, Valentin Ivanov, dan Anatoli Maslenkin.
Meski demikian, tim Indonesia arahan Pogacnik tampil dengan semangat berlapis sehingga mampu meredam gempuran Igor Netto dkk. Meski cenderung bertahan, serangan balik Garuda mengandalkan Ramang dan Endang Witarsa sempat merepotkan Lev Yashin, kiper tersohor kala itu.
Ramang bahkan nyaris mencetak gol keunggulan bagi Indonesia di menit ke-84. Namun, kiper legendaris Lev Yashin tampil cemerlang dan sanggup menggagalkan peluang striker PSM Makassar tersebut.
Alhasil, tim Merah Putih berhasil menahan imbang Uni Soviet tanpa gol, bahkan hingga perpanjangan waktu 2x15 menit. Selepas pertandingan, pemain-pemain Indonesia mendapat aplaus panjang dari para penonton di stadion.
Namun, karena saat itu belum ada regulasi adu penalti, pertandingan diulang satu hari berikutnya. Skuat Garuda yang sudah diiringi kelelahan akhirnya kalah 0-4 dalam pertandingan ulangan tersebut.
Meski demikian, publik sepak bola Indonesia seperti tak peduli dengan kekalahan tersebut. Setidaknya mereka sudah berjuang habis-habisan melawan Soviet yang kemudian keluar sebagai juara setelah menaklukkan Yugoslavia di final.
"Menurut bapak (Maulwi) pada saat itu Indonesia memang kalah secara fisik (postur tubuh), namun tidak pernah kalah semangat bertanding. Karena tujuan utamanya adalah perjuangan untuk nama bangsa," kata Asha Wadia Saelan, putera bungsu Maulwi saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, belum lama ini.
"Itu cerita bapak yang paling berkesan. Pengalaman ini selalu diceritakan berulang-ulang kepada rekan-rekannya dengan penuh semangat."
(vws)