Jakarta, CNN Indonesia -- Juara
Liga 1 2018 bersama
Persija Jakarta adalah pencapaian tertinggi dalam karier saya. Penuh drama, lika-liku, dan jatuh-bangun. Saya tak pernah menyesal bisa bertahan selama belasan tahun di klub ini.
Saya tak peduli apa kata orang di luar sana yang bilang Persija juara karena
setting-an. Bagi saya mereka hanya orang-orang iri dan tidak mau menerima kekalahan.
Tidak percaya? Oke, saya akan rangkum perjalanan terjal menuju juara Liga 1 2018. Setelah menjuarai Piala Presiden 2018, kami sempat diterpa masa sulit di level kompetisi. Bahkan Persija pernah terpuruk hingga ke papan bawah klasemen di pekan ke-9 Liga 1 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ternyata Persija belum siap membagi fokus antara bermain di kompetisi domestik dan level Asia. Belum lagi harus berpindah-pindah laga kandang karena Stadion Utama Gelora Bung Karno dan Patriot Chandrabhaga dipakai untuk kepentingan Asian Games.
 Ismed Sofyan untuk kali pertama membawa Persija Jakarta juara Liga Indonesia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Bermain nomaden bukan perkara mudah. Kami merasa bermain di kandang orang meski berstatus
home. Kelelahan juga jadi musuh utama yang harus dilawan setiap saat. Beruntung secara perlahan kami bisa mengejar ketinggalan poin di Liga 1 usai tersingkir secara menyakitkan di Piala AFC.
Persija harus berjuang habis-habisan di lima pertandingan terakhir setelah dipaksa seri lawan PS TIRA. Mental kami sempat drop karena sangat menyakitkan rasanya ketika gagal menang di kandang dan di saat genting.
5 Laga FinalSejak hasil imbang lawan PS TIRA, saya berdiskusi dengan para pemain. Saya tegaskan lima pertandingan tersisa harus dianggap seperti final. Sebab, jarak dengan PSM sangat dekat (empat poin) dan tak boleh tergelincir.
Motivasi seluruh pemain berlipat ganda dan jauh berbeda dari laga-laga sebelumnya. Bukan karena saya. Tapi, datang dari jiwa-jiwa yang rindu juara. Bisa dibayangkan, dari seluruh pemain Persija saat itu, hanya Bambang Pamungkas yang pernah merasakan gelar juara liga. Saya pun baru datang setahun setelah Persija juara pada 2001.
Laga pertama dari lima pertandingan terakhir adalah melawan PSM, tim rival yang berada di atas angin. "Kalau kalah di Makassar, peluang Persija untuk juara sudah pasti hilang," kata saya dalam hati.
Tekad kami ke Makassar untuk meraih kemenangan! Hasil terburuk adalah imbang. Tuhan ternyata membuka jalan. Kami bermain efektif di kandang lawan dan sempat unggul 2-0 di babak pertama.
Sayang kami gagal mempertahankan keunggulan. Tuan rumah bangkit dan menyamakan kedudukan 2-2. Meski gagal membawa pulang tiga poin, hasil imbang patut disyukuri mengingat tekanan dari suporter PSM besar sekali.
Meski demikian tekanan suporter PSM tak segila suporter Persib Bandung. Kalau di GBK banyak poster dengan nama saya, di Bandung juga ada. Tapi, ada kata "Goblok" di bawahnya. Hehehehe.
Kalau di Bandung, pemain Persija harus berani main di Bandung. Ke stadion naik barracuda. Sampai stadion ribuan orang maki-maki kita, bikin spanduk segala macam. Kalau mental tidak bagus, saya pikir bisa kencing di celana itu di Bandung.
Saat Persib masih di Siliwangi, dari situ saya sudah mendapat teror yang berlebihan, macam-macam lah. Pindah ke Jalak Harupat sama juga, kurang lebih 10 tahun yang lalu kalau tidak salah. Karena teror yang paling kencang mereka lontarkan ke saya. Kenapa? Mungkin karena menurut mereka saya nyawanya Persija.
Motivasi pemain semakin meninggi usai pulang dari Makassar. Sebab kami punya satu pertandingan lebih banyak dari PSM, dan tiga di antaranya laga kandang. Anak-anak tidak membuang kesempatan. Kami berhasil melahap dua laga kandang dengan kemenangan saat menjamu Persela Lamongan (3-0) dan Sriwijaya FC (3-2).
Selanjutnya kami menghadapi laga tandang terberat di pekan ke-33 saat ke markas Bali United. Pelatih (Stefano 'Teco' Cugurra) mengingatkan kalau perjuangan kami tinggal sejengkal lagi. Maka tidak ada target selain menang di Bali!
Hasilnya Persija menggila di Bali. Kami berhasil memenangi pertandingan 2-1. Seharusnya kami bisa menang dengan skor lebih meyakinkan jika pemain depan bisa menuntaskan peluang lebih tenang.
Tapi, begitulah sepak bola. Tak bisa dihitung seperti matematika. Terpenting kami berhasil membawa pulang tiga poin ke Jakarta. Yang lebih menggembirakan, PSM ditahan imbang Bhayangkara FC. Dengan demikian Persija mengambil alih puncak klasemen dengan satu laga tersisa. "Gelar juara sudah di depan mata," kata saya dalam hati.
Baca sambungan tulisan ini dengan mengklik tautan berikut: Laga Hidup Mati
Kami menatap laga pamungkas melawan Mitra Kukar dengan sungguh-sungguh. Apalagi mereka ditangani Rahmad Darmawan yang bertekad mengantar timnya keluar dari zona degradasi.
Jika sebelumnya kami menganggap lima pertandingan terakhir bak laga final, maka lawan Mitra Kukar adalah pertandingan hidup-mati! Karena kami hanya berjarak satu poin dari PSM yang di saat bersamaan akan menjamu PSMS Medan.
Anehnya saya tidak merasakan tekanan berlebihan selama beberapa hari sebelum lawan Mitra Kukar. Bahkan tidur saya juga pulas sebelum pertandingan. Saya enggak tahu yang lain pengalamannya bagaimana.
Tapi rasa cemas mendadak muncul satu jam sebelum pertandingan, setelah saya melihat atmosfer The Jakmania di Stadion GBK ketika pemanasan. Saya bergumam dalam hati, “Gila, stadion segini besar penuh dengan suporter. Pasti hancur nih stadion kalau Persija gagal juara.”
Atmosfer Stadion GBK benar-benar berbeda. Maklum hanya lima pertandingan saja Persija bisa menggunakan GBK. Selebihnya kami harus bermain di Bekasi, Karawang, hingga Bantul. Wajar bila suporter rindu menyaksikan tim kesayangannya kembali tampil di GBK. Apalagi ini merupakan laga yang menentukan.
Sebelum pertandingan seperti biasa kami berkumpul di tengah untuk melakukan doa. Tapi, sebelumnya saya harus menyemangati seluruh pemain yang masuk
starting line up.
“Kita sudah bekerja keras selama hampir 12 bulan. Pagi dan sore kita berkumpul, berlatih, dan bertanding. Inilah saatnya membuat sejarah menjadi juara. Bermainlah untuk anak, istri, dan keluarga. Setelah itu demi Persija dan The Jakmania,” kata saya disambut teriakan rekan setim dengan nada semangat.
Begitu
kickoff saya akui kami bermain tergesa-gesa. Semuanya ingin cepat mencetak gol. Itu sempat membuat permainan kami agak berantakan. Marko Simic dan Riko Simanjuntak tampil terlalu pede. Tidak masalah sebenarnya. Tapi, bisa bikin rencana rusak juga kalau keterusan. Sementara beberapa pemain terlihat gugup.
Beberapa peluang emas terbuang karena tidak sabar. Stadion akhirnya bergemuruh setelah Marko Simic mencetak gol penalti. Juara semakin dekat setelah Simic menggandakan keunggulan. Memang, gol kedua Simic jadi perdebatan karena Ramdani Lestaluhu terlibat kontak dengan kiper lawan. Tapi, menurut saya itu sah selama bertujuan untuk merebut bola.
Suasana berubah mencekam setelah Mitra Kukar berhasil mencetak gol melalui Aldino Herdianti. Apa jadinya kalau penalti yang mereka dapat sebelumnya gagal diblok Andritany?
Menit-menit akhir pertandingan terasa lama. Rasanya seperti diteror di menit-menit akhir. Mau tak mau kami bermain sederhana dan fokus bertahan.
Coach Teco pernah bilang, ada kalanya sebuah tim bermain cerdas dan melupakan permainan cantik. Karena pada akhirnya yang ditanya hanya soal siapa yang menang?
 Persija merayakan gelar Liga 1 2018 usai mengalahkan Mitra Kukar. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Kami berhasil mempertahankan keunggulan 2-1 hingga wasit meniup peluit panjang. Saya langsung sujud syukur dan sempat meneteskan air mata meski tidak menangis berlebihan seperti halnya Sandi Sute yang jelas-jelas tertangkap kamera.
The Jakmania pun bersorak merayakan kemenangan. Seluruh pemain dielu-elukan bak pahlawan. Kami berhasil mewujudkan keinginan suporter yang sekian lama tertunda.
Suporter harus tahu satu hal: Saya juga sudah menanti-natikan momen juara sejak lama. Tapi apa daya? Gelar juara baru bisa terealisasi saat ini ketika semua elemen, staf pelatih, pemain, suporter, dan manajemen menjadi seperti keluarga.
Belum Mau PensiunSaya teringat dengan lika-liku perjalanan selama 16 tahun membela Persija. Pergantian manajemen punya cerita masing-masing. Bahkan kami sempat mogok berlatih karena persoalan gaji. Miris.
Tahun 2013 adalah masa tersulit saya di Persija. Krisis finansial berkepanjangan membuat pemain dilema. Saya pun nyaris pindah ke Sriwijaya FC. Tawaran lisan manajemen Sriwijaya sudah saya iyakan. Terlebih pendapatan yang akan saya terima dua kali lipat dari sebelumnya.
Dua hari sebelum saya terbang ke Palembang, saya sudah pamit kepada suporter lewat siaran radio. Saya jelaskan mengapa alasan saya pindah dan saya harap mereka mengerti. Karena ini masalah perut dan keluarga.
Tekad saya sudah bulat: Pindah ke Sriwijaya! Apalagi sahabat sekaligus panutan saya Bambang Pamungkas sudah menandatangani kontrak dengan Pelita Bandung Raya. Kenapa saya tidak?
Sehari sebelum keberangkatan, manajemen Persija meminta saya bertemu sekali lagi. Mereka memohon agar saya bertahan karena mereka tak mau kehilangan satu pemain senior lagi setelah Bepe pergi.
Saya dilema. Benar-benar berada di persimpangan jalan. Belum lagi manajemen Sriwijaya mencoba memastikan kepindahan saya dengan tambahan gaji Rp100 juta. Angka ini belum termasuk tawaran sebelumnya yang berkisar dua kali lipat gaji di Persija.
 Ismed Sofyan mengaku hampir pindah ke Sriwijaya FC. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Saya meminta waktu sebentar untuk keluar dari ruangan pertemuan dengan manajemen Persija. Akhirnya, saya menelepon ibu saya yang berada di Aceh. Ibu saya sarankan saya tetap di Persija. Biar gaji tak besar, tapi hati saya sudah menyatu di sini. Pertimbangannya saya harus beradaptasi lagi di lingkungan baru yang belum saya benar-benar kenal.
Setelah selesai berbincang dengan ibu, saya kembali ke kantor Persija. Dengan baca bismillah dan saya bilang oke saya tetap bertahan di Persija. Sejak saat itu manajemen SFC tidak pernah kontak lagi. Mungkin telanjur kecewa karena sebelumnya sepakat secara lisan. Tapi hidup itu pilihan dan saya hanya mengikuti kata hati.
Masalah keuangan di Persija ternyata belum selesai. Terlebih kompetisi sempat dihentikan pada 2015. Sejumlah pemain bintang memilih pergi. Dan sekali lagi: Saya tetap bertahan di sini. Keuangan mulai membaik setelah Pak Gede Widiade masuk manajemen pada 2017. Meski tidak jor-joran rekrut pemain top, tapi minimal pembayaran gaji teratur.
Manajemen dan pelatih membangun tim ini seperti keluarga. Di luar lapangan kami bisa bercanda seperti teman terutama kepada coach Teco sebagai sosok yang saya kagumi.
Teco adalah sosok yang membuat saya tetap percaya diri bermain meski sudah dibilang cukup ‘uzur’. Setelah kami juara, saya bicara empat mata dengannya. “Apa saya harus pensiun sekarang?” kata saya. Di bilang, “Jangan dulu. Saya masih membutuhkan kamu di lapangan.”
Dia mengisyaratkan akan terus menggunakan saya hingga musim 2019. Maka saya buang jauh-jauh rencana untuk pensiun. Apa mau dikata, Teco ternyata memilih hengkang. Meski kecewa, tapi saya harus menghormati keputusan beliau. Dan sekali lagi: saya tetap bertahan di Persija. Di Jakarta, Kota yang dihuni para juara!