Jakarta, CNN Indonesia -- Mengenakan seragam
Timnas Indonesia adalah momentum paling membanggakan dalam karier saya. Tapi, dengan baju itu pula saya punya kenangan pahit yang dikenal sebagai insiden Sepak Bola Gajah.
Sebenarnya saya tak pernah bermimpi jadi pesepakbola profesional hingga dijuluki Fabian Barthez Indonesia. Sebab, bapak sangat mengharapkan saya jadi atlet bulutangkis. Saking
ngebetnya, bapak sudah membelikan raket sebelum saya lahir agar bisa meneruskan mimpinya jadi pebulutangkis profesional.
Memang saya pernah beberapa kali juara bulutangkis di tingkat kecamatan. Tapi, Tuhan punya rencana lain yang menuntun saya ke dunia sepak bola. Bapak pun akhirnya mendukung pilihan saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jujur saya tak pernah merasa istimewa. Bahkan saya merasa hanya seorang pria beruntung. Sebab saya tak pernah ikut sekolah sepak bola seperti pemain lain tapi ternyata bisa dilirik klub profesional hingga bermain untuk Timnas Indonesia.
 Hendro Kartiko menjadi andalan Timnas Indonesia di pertengahan 1990an hingga pertengahan 2000an. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Saya juga beruntung bisa melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah berbarengan dengan perjalanan karier di Mitra Surabaya pada 1995. Setahun kemudian dewi fortuna kembali menghampiri untuk menjalani debut di Timnas Indonesia.
Debut Pengganti Kurnia SandyTidak mudah menjalani debut internasional sebagai pemain pengganti di babak kedua saat melawan Kuwait di fase Grup A piala Asia 1996. Dada saya langsung berdebar kencang ketika pelatih Danurwindo meminta saya bermain menggantikan Kurnia Sandy yang cedera di menit ke-79.
Saat itu Indonesia dalam keadaan unggul 2-1. Namun, kehadiran saya justru membuat skor berubah menjadi 2-2. Saya akui sempat bermain grogi karena tidak menyangka bisa bermain di level internasional.
Meski demikian pelatih tetap mempercayakan saya berada di mistar gawang pada laga kedua. Untuk kali pertama saya bermain sejak awal pertandingan. Sayangnya, Indonesia malah menyerah 2-4 dari Korea Selatan.
Gawang saya kembali kebobolan di laga ketiga setelah kami kalah 0-2 dari Uni Emirat Arab. Saya akui mental saya belum stabil untuk menghadapi laga internasional. Pelatih mencoba menguatkan saya bahwa gol yang dicetak lawan bukan sepenuhnya salah kiper. Tapi tetap saja secara pribadi saya merasa sebagai sosok yang paling bersalah.
 Hendro Kartiko menjadi andalan Timnas Indonesia sebagai pengganti Kurnia Sandy. (FREDERIC BROWN / AFP) |
Meski demikian pengalaman itu jadi guru terbaik untuk menempa diri jadi lebih baik. Saya bekerja lebih keras lagi untuk membangkitkan mental bertanding di level internasional.
Sepak Bola GajahAllah masih memberkati karier saya di Timnas Indonesia karena dua tahun berselang saya kembali dipercaya mengenakan seragam Garuda. Kali ini saya bertekad memperbaiki performa di Piala AFF 1998.
Saya memang berhasil meningkatkan performa di turnamen ini. Tapi, ada pengalaman pahit yang harus saya tanggung seumur hidup. Kami menjalani pertandingan 'aneh' di laga terakhir fase Grup A.
Setelah menang meyakinkan di dua laga awal, yakni menang 3-0 atas Filipina dan berhasil mengalahkan Myanmar 6-2, kami akhirnya menyerah 2-3 dari Thailand di pertandingan pamungkas babak grup.
Bukan kekalahan yang jadi soal. Tapi, bagaimana cara kami bermain yang terkesan sengaja mengalah untuk menghindari Vietnam di babak semifinal.
Semula kami bermain normal dan tak ada instruksi langsung untuk mengalah. Tapi, Thailand juga bermain ogah-ogahan sejak awal laga. Mereka membangun serangan tapi tidak ada niat untuk mencetak gol.
Saat jeda pertandingan juga tidak ada perintah mengalah dari pelatih (Rusdi Bahlawan). Kami diminta bermain lepas dan tidak mempedulikan hasil. Maka kami meningkatkan agresivitas serangan di babak kedua.
Buktinya Miro Baldo Bento mencetak gol lebih dulu di menit ke-52 sebelum disamakan Thailand menjadi 1-1. Aji Santoso kembali mengantar Indonesia unggul 2-1 di menit ke-84 tapi Thailand lagi-lagi menyamakan skor jadi 2-2.
 Hendro Kartiko masih menyimpan luka terkait Sepak Bola Gajah di Piala AFF 1998. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Jujur saya tidak menyangka Mursyid Effendi mencetak gol ke gawang sendiri di menit-menit akhir pertandingan. Saya bingung. Benar-benar bingung. Tapi, saya tak mau menyalahkan Mursyid. Apapun yang dilakukan saya yakin hanya demi Indonesia bisa melangkah lebih jauh.
Kami sepakat untuk melupakan persoalan dan menatap laga semifinal kontra Singapura. Sementara Thailand bertemu dengan Vietnam yang pada saat itu berstatus sebagai favorit juara.
Entah karma atau tidak, kami ternyata kalah 1-2 dari Singapura. Sedangkan Thailand juga dibungkam Vietnam dengan skor 0-3. Indonesia dan Thailand akhirnya kembali bertemu pada perebutan tempat ketiga.
Kami berhasil membuktikan diri sebagai tim yang lebih baik dari Thailand lewat drama adu penalti (5-4) setelah bermain imbang 3-3. Sesaat kami merasa puas dan senang bisa mengalahkan Thailand pada laga sesungguhnya.
Namun, kenangan pahit tidak berhenti sampai di situ. Setelah pulang, kami merasa dihakimi seluruh rakyat Indonesia dengan julukan 'Sepak Bola Gajah'. Berita soal gol bunuh diri terus diulang. Saya sempat trauma dan merasa dihantui rasa bersalah. Saya haqul yakin, pemain lainnya juga merasakan hal yang sama. Sangat menyesal.
Nasi sudah menjadi bubur dan kami siap menghadapi konsekuensi bersama-sama. Tapi, saya heran mengapa FIFA hanya menghukum Mursyid Effendi saja. Itu tidak adil karena bagaimanapun kami bermain sebagai tim.
Sampai sekarang kenangan pahit itu masih terngiang. Takkan terlupakan begitu saja. Tapi, waktu terus berjalan dan saya berusaha membalasnya dengan penampilan sebaik-baiknya kalau masih dipercaya membela Timnas Indonesia.
Setelah insiden Sepak Bola Gajah saya sempat berpikir karier saya selesai di
Timnas Indonesia. Beruntung saya masih dipercaya pelatih-pelatih di turnamen selanjutnya. Di setiap pertandingan saya selalu bertekad menebus untuk 'dosa' masa lalu. Apapun yang terjadi saya selalu tampil total. "Menang atau kalah urusan belakang," kata saya dalam hati.
Salah satu momen terbaik saya di timnas terjadi dalam gelaran Piala Asia 2000. Saat itu, saat Indonesia berhasil menahan imbang Kuwait 0-0 pada laga perdana fase Grup D.
Saya melakukan beberapa penyelamatan penting di laga ini dan dinobatkan sebagai man of the match. Media-media luar menjuluki saya Fabian Barthez dari Indonesia. Mungkin karena rambut saya baru botak seperti Barthez.
Sebenarnya saya tidak sengaja meniru rambut plontos Barthez. Saya menggunduli kepala sebagai perayaan juara Liga Indonesia 2000 bersama PSM Makassar. Mungkin media-media luar menilai saya mirip dengan Barthez karena persoalan rambut plontos bukan karena benar-benar mirip kualitasnya. Sebab Barthez memang sedang naik daun setelah gemilang di Piala Dunia 1998.
 Hendro Kartiko dijuluki Fabian Barthez Indonesia oleh media-media asing. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Sayang kami tidak berlanjut ke babak selanjutnya di Piala Asia 2000 setelah kalah di dua laga lain lawan China dan Korea Selatan. Saya harus akui kami kalah kualitas dari kedua negara tersebut.
Oh, ya. Selain dipuja, saya juga sering diejek. Beberapa suporter bahkan menjuluki saya 'Tukang Bakso'. Mungkin karena rambut saya pernah kribo dan tampang saya yang
ndeso.
Tapi, saya tak peduli apa kata suporter. Bagi saya mereka punya dunia dan semangat sendiri yang harus kita hargai apa adanya. Yang pasti saya tidak pernah tersinggung dengan ulah suporter dari tribune.
Ejekan itu saya bisa balas dengan penampilan baik di lapangan. Saya pun masih dipercaya mengawal gawang Timnas Indonesia di gelaran Piala Asia 2004. Ajang ini juga masuk daftar momen terbaik dalam karier saya.
Kami meraih kemenangan 2-1 atas Qatar pada laga perdana Grup B. Dua gol kemenengan Indonesia dicetak Budi Sudarsono dan Ponaryo Astaman. Saya mendapat gelar
man of the match setelah pertandingan.
Namun, kami kembali gagal menebus dosa. Indonesia kembali tersingkir dari fase grup lantaran kalah dari China dan Bahrain di laga selanjutnya. Saya juga gagal mempersembahkan gelar juara di beberapa edisi meski sering menembus final. Apa mau dikata, saya harus pensiun dari Timnas Indonesia tanpa gelar.
 Hendro Kartiko saat ini menjabat sebagai pelatih kiper di Timnas Indonesia U-22. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Di level klub saya boleh jadi salah satu pemain yang paling beruntung karena bisa meraih tiga gelar juara bersama tiga tim yang berbeda. Yaitu saaat membela PSM Makassar, Persebaya Surabaya, dan Sriwijaya FC.
Tapi saya tetap penasaran meraih gelar bersama Timnas Indonesia. Setelah gagal sebagai pemain, mungkin saya masih diberi kesempatan untuk mempersembahkan trofi sebagai pelatih. Saat ini saya punya kesempatan untuk mewujudkannya bersama Timnas Indonesia U-22. Pelatih Indra Sjafri mempercayakan saya untuk menempa kiper-kiper muda di skuat Garuda.
Saya tak bisa memaksakan pemain muda untuk meniru karakter saya di lapangan. Meledak-ledak, tegas, tapi juga tenang menghadapi situasi sulit di lapangan. Saya hanya bisa membagi pengalaman di lapangan, termasuk bagaimana harus melewati kenangan pahit. Karena setiap orang bisa bangkit dari keterpurukan apabila bersedia iklhas dan mau bekerja lebih keras untuk memperbaiki diri.
Anda harus tahu: Perjalanan karier saya di Timnas Indonesia tak selamanya berjalan mulus. Ada masa kelam yang tersisa di kepala. Tapi saya iklhas dan berusaha menebusnya dengan penampilan terbaik di hari-hari ke depan.
Jujur saya berharap bisa menebus 'dosa' dengan mengabdi kepada negara. Saya berharap pemain muda kita bisa memperbaiki kesalahan para seniornya kelak. Termasuk mempersembahkan gelar yang belum sempat kami raih pada masa itu.