Jakarta, CNN Indonesia -- Tiada kata yang pantas saya ucapkan selain Alhamdulillah atas karier yang saya jalani saat ini. Ya, menjadi pelatih
Timnas Indonesia merupakan sebuah amanat sekaligus impian yang berubah menjadi kenyataan.
Menjadi bagian dari Timnas Indonesia memang impian saya sejak kecil. Namun, saya benar-benar tak menyangka bisa menjalankan amanat yang berat namun membanggakan. Mungkin sudah jalan dari Tuhan, seorang Indra Sjafri yang hanya pernah bermain di klub lokal seperti PSP Padang, kemudian pensiun dini jadi pemain, malah membawa misi Merah Putih.
Benar saya pensiun dari profesi sebagai pesepakbola pada usia sekira 28 tahun (pada 1990). PSP Padang bisa dibilang merupakan klub pertama dan terakhir saya sebagai pemain. Boleh dibilang saya pensiun dini sebagai pesepakbola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya memilih menekuni jalan lain, fokus sebagai karyawan di PT Pos Indonesia di bagian tata usaha Cabang Kota Padang. Kali pertama bekerja sebagai karyawan di perusahaan itu seingat saya pada 1980-an.
Pada masa lalu sepak bola di Indonesia itu bukan termasuk olahraga profesional. Liga yang saya ikuti masih perserikatan. Saat itu jika pemain sudah dapat pekerjaan, sudah pasti berhenti dari sepak bola. Banyak pemain yang sibuk dengan pekerjaan (baru), akhirnya berhenti jadi pemain.
 Indra Sjafri berhasil merebut dua gelar Piala AFF bersama Timnas Indonesia U-19 dan U-22. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Mungkin banyak yang bertanya-tanya sejarah saya akhirnya memilih pekerjaan di Pos Indonesia. Ketika masih bermain di PSP Padang, saya mendapat penghargaan dari Wali Kota Padang saat itu. Ketika itu bentuk penghargaan (bonus) untuk pemain sepak bola adalah pekerjaan, bukan duit seperti sekarang.
Tentu ada perasaan kaget juga biasa bermain bola di lapangan, kemudian menjadi karyawan di perusahaan kurir nasional. Saya sempat bergumam: "Kok seperti ini ya?". Sempat merasa pula, mungkin memang karier saya sampai jadi karyawan saja.
Terus terang saya memang tidak terlalu berhasrat bekerja seperti itu. Namun saya tentu harus menyambung hidup, minimal ada pekerjaan tetap waktu itu. Meski karier di Pos Indonesia berjalan lancar, dalam batin saya tetap berkata tak ingin hanya selesai bekerja di kantor pos.
Sembari bekerja saya juga mulai menekuni sejumlah kursus kepelatihan. Saat itu sertifikasinya masih bernama S1, S2, dan S3. Motivasi saya tak lain karena tidak ingin terputus begitu saja dari olahraga kecintaan sejak kecil lantaran kesibukan sebagai salah satu karyawan.
Pensiun DiniSaya semakin antusias menekuni ilmu kepelatihan. Saya 'sekolah' lagi dengan mengikuti kursus kepelatihan Lisensi C AFC di Semarang, Lisensi B AFC di Sawangan, kemudian Lisensi A AFC juga di Sawangan.
Mulai saat itu pula saya semakin serius untuk menggeluti profesi pelatih meski masih tercatat sebagai karyawan di PT Pos Indonesia. Saya masih ingat jabatan terakhir saya di perusahaan itu sebagai Kepala Kantor Pos Cabang Distribusi Bandara di Padang.
Setelah 23 tahun mengabdi di Pos Indonesia saya memutuskan keluar dan ingin total berkecimpung di dunia kepelatihan sepak bola. Total sekira 11 tahun bekerja sebagai Kepala Cabang. Saya mencukupkan diri mengabdi dari perusahaan itu pada 2007 saat masih 46 tahun, jauh sebelum masa-masa pensiun lazimnya di sebuah perusahaan.
Tentu saya akui itu keputusan yang tidak mudah. Pasalnya, sempat ada kekhawatiran dari keluarga. Istri dan anak perempuan saya berharap tidak meninggalkan pekerjaan di Pos Indonesia yang sudah saya lakoni selama 23 tahun.
Saya pun memutuskan keluar dari pekerjaan tetap dan menggeluti sebagai pelatih setelah dapat dukungan dari putra saya. Keinginan untuk bercita-cita mengabdi di sepak bola Indonesia, termasuk di Timnas Indonesia, memang begitu kuat.
Meski demikian bukan berarti masa transisi berjalan mulus ketika saya ingin fokus di dunia kepelatihan. Saya beberapa kali merasakan yang namanya kesulitan ekonomi di keluarga kami.
Memang saya masih bisa mendapatkan uang sebagai instruktur pelatih ketika ada proyek kursus kepelatihan. Namun, memang tak seperti di pekerjaan sebelumnya yang sudah pasti ada gaji setiap bulan.
Dinamika dan drama-drama seperti itu saya alami. Jalan yang ditetapkan Tuhan memang seperti itu dan Alhamdulillah bisa mengatasi masa-masa sulit tersebut.
Awal PengabdianJanji Allah memang tak pernah salah. Saya dipercaya untuk mengumpulkan dan melatih bakat-bakat muda Indonesia pada 2011. Awalnya ketika saya jadi instruktur pelatih di Jambi, ditelepon Om Bob Hippy (pengurus PSSI saat itu).
Dia menawarkan saya untuk melatih Timnas Indonesia U-16. Saya langsung bersedia. Waktu itu saya sudah mengantongi Lisensi A AFC. Saya segera bekerja dengan menggelar seleksi pemain. Itu awalnya saya hanya menerima 65 pemain dari PSSI. Saya seleksi, saya tidak tahu asal usulnya para pemain.
Waktu itu saya diberi kepercayaan untuk mengikuti kualifikasi Piala Asia di Bangkok dan gagal. Setelah itu saya evaluasi, ternyata 65 anak itu dari DKI Jakarta dan sekitarnya saja.
Dulu memang tim-tim usia muda tidak masuk hitungan (perhatian serius). Lalu saya berpikir, "Bagaimana saya cari pemain?". Nah, saya kemudian terinspirasi dari saya sendiri. Orang-orang seperti saya dulu di kampung tidak ada yang lihat, tapi punya prestasi.
Mulanya kami bikin seleksi umum di Cibubur. Ribuan pemain ketika itu. Tapi setelah itu saya ubah. Kalau mereka yang datang seleksi, saya dengar ada yang sampai menjual motor demi seleksi Timnas Indonesia.
 Egy Maulana merupakan salah satu pemain dari hasil blusukan Indra Sjafri. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) |
Akhirnya saya yang 'jemput bola' atau istilahnya blusukan. Saya datang pun ketika itu PSSI tidak punya uang. Ada uang dari teman-teman untuk bantu saya melakukan seleksi atau orang di sana dikirim surat pengantar dari PSSI bahwa saya akan melakukan seleksi.
Saya minta tolong ke Asprov atau semacamnya waktu itu agar mereka menanggung tiket pulang dan pergi serta akomodasi penginapan. Dari situ pendekatan saya dimulai dalam mencari bakat muda dengan memantau dan menyeleksi langsung ke sejumlah pelosok.
Selama menangani Timnas Indonesia usia muda, cobaan kembali menempa saya. PSSI sempat mengalami dualisme kepengurusan. Saya sebenarnya tak mau memikirkan persoalan macam itu, hanya ingin fokus melatih.
Saya juga pernah mengalami situasi berat tidak gajian bahkan sampai 17 bulan sebagai pelatih Timnas Indonesia U-16. Namun, saya tak mau menyerah. Saya tetap fokus dan menjawabnya dengan prestasi demi prestasi.
Baca Halaman Kedua: Memori Manis di Sidoarjo dan Phnom Penh
Pencapaian pertama adalah juara di turnamen (HKFA U-16) Hong Kong pada 2012. Kesabaran dan konsistensi di tengah situasi sulit kembali berbuah manis. Kemudian
Timnas Indonesia berhasil merengkuh trofi Piala AFF U-19 untuk kali pertama pada 2013 di Sidoarjo. Banyak kenangan momen-momen mendebarkan dan sangat indah yang tentu tak cukup diungkapkan dalam tulisan ini.
Sejujurnya tak ada ambisi besar untuk bisa menjuarai turnamen itu,
nothing to lose saja. Ini juga hasil kerja keras dan kerja jujur. Saya tak macam-macam menyeleksi pemain. Semua benar-benar melalui seleksi yang objektif.
Pencapaian pun gayung bersambut. Gaji yang sempat belum saya terima selama 17 bulan akhirnya dilunasi semuanya oleh Pak La Nyalla (Mattalitti, Ketua Umum PSSI yang menggantikan Djohar Arifin Husin).
Pada 2014 kami juga berhasil tembus ke putaran final Piala Asia U-19. Selama bertahun-tahun lamanya Garuda Muda tak lolos ke turnamen tersebut. Namun, sudah menjadi takdir kami tak tembus hingga perempat final. Hasil itu pula yang membuat saya terlempar dari kursi kepelatihan.
Sempat berkarier sebagai pelatih Bali United pada 2015 hingga 2016, saya kembali dipercaya menangani Timnas Indonesia U-19. Targetnya adalah tembus ke semifinal Piala Asia U-19 2018 demi tiket Piala Dunia U-20 2019.
Kami nyaris mencapai target. Di perempat final Timnas Indonesia U-19 kalah 0-2 dari Jepang. Saya anggap wajar kekalahan itu. Jepang sudah sejak lama serius terhadap pengembangan sepak bolanya.
Pengabdian saya di Merah Putih berlanjut. Timnas Indonesia U-23 adalah tugas berikutnya yang saya emban. Tembus ke putaran final, kemudian posisi empat besar Piala Asia U-23 menjadi target selanjutnya. Kami juga ditargetkan membawa pulang medali emas SEA Games 2019 di Manila.
Piala AFF U-22 di Phnom Penh menjadi ajang uji coba tim ini untuk target kami ke depan. Alhamdulillah Timnas Indonesia U-22 berhasil meraih juara.
Juara Piala AFF U-22 juga jadi momen tak terlupakan sepanjang karier saya. Semua menangis, tak terkecuali saya usai kami menang di laga final. Pak Menteri (Menpora RI Imam Nahrawi) dan Pak Dubes (Duta Besar Kamboja untuk Indonesia Sudirman Haseng) ikut larut dalam haru-biru perayaan juara di Stadion Olimpiade Phnom Penh. Saat itu kami semua merasa satu, rakyat Indonesia yang amat menantikan prestasi di sepak bola.
Dan yang lebih membanggakan lagi, hampir semua tim saat itu menggunakan pelatih asing di Piala AFF U-22 2019, kecuali Malaysia dan Indonesia.
Jadi ada pesan-pesan yang saya sampaikan lewat prestasi, mudah-mudahan orang baca ini. Bahwa kami memang mampu sebenarnya. Hanya kadang-kadang dieliminasi oleh ketidakpercayaan kepada anak bangsa sendiri. Namun, kita juga tidak boleh menutup diri dengan ilmu-ilmu pembelajaran dari luar. Kita harus belajar.
 Indra Sjafri memiliki beban berat bersama Timnas Indonesia U-23 tahun ini. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Dengan banyak belajar, kita juga membuka wawasan di sepak bola. Meski demikian, bukan berarti kita hanya mencontoh begitu saja macam-macam filosofi di luar sana. Temukan filosofi kita sendiri di sepak bola tanah air. Jika ditanya soal itu, filosofi saya adalah sepak bola sederhana.
Main bola itu kan hanya satu bola berpindah-pindah untuk sampai dan masuk ke gawang lawan. Sederhana kok main bola sebenarnya. Tidak perlu definisi yang ini-itu. Sepak bola saya, sepak bola sederhana. Tidak pakai istilah yang macam-macam. Saya kritik keras jika ada yang menyamakan permainan kami dengan tiki-taka di Spanyol dan lain sebagainya.
Yang dipunyai Indonesia bukan tiki-taka, tapi sepak bola sederhana itu. Filosofi saya sepak bola menyerang by passing game (membangun serangan menekankan pada umpan-umpan pendek yang dinamis). Hanya masalahnya, bisa tidak diterapkan pemain Indonesia?
Untuk itu kita harus pastikan dahulu para pemain bisa menyerap semua yang diinginkan pelatih. Pelatih juga harus memahami betul karakter setiap pemain demi tercipta sebuah harmonisasi dalam tim.