Jakarta, CNN Indonesia -- Saya berangkat hari Sabtu (2/3). Tak ada hal yang istimewa, semua biasa saja. Sama sekali saya tidak merasa ada perasaan mau juara. Sebelum berangkat, saya main sama anak-anak di rumah. Dari pagi sampai sore di rumah karena pesawat baru berangkat malam.
Tiba di Inggris Minggu pukul 10 pagi saya,
Mohammad Ahsan, dan
Tommy Sugiarto menuju apartemen. Sebagai pemain yang berangkat dengan biaya sendiri, tentu kami juga sudah menyusun budget dan hotel resmi pasti lebih mahal. Karena itu kami pilih apartemen.
Sebagai pemain di luar pelatnas, maka saya harus menghitung tiket, hotel, pesawat, hingga taksi. Saya menyusun rencana itu sendiri dan tidak merasa kerepotan. Sedangkan untuk uang makan saya dan Ahsan sendiri-sendiri dari kantong pribadi, bukan dari dana sponsor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Main hari pertama melawan ganda Inggris, Marcus Ellis/Chris Langridge, permainan kami masih tidak enak. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena persiapan pas-pasan, hanya seminggu habis Superliga. Target kami adalah semifinal.
Babak kedua kami bertemu Vladimir Ivanov/Ivan Sozonov. Meski menang dua gim, namun poin ketat. Setiap bertemu ganda Rusia selalu begitu dari dulu. Kami harus punya fokus bagus.
 Ahsan/Hendra menyelamatkan wajah Indonesia di All England 2019. (Oli SCARFF / AFP) |
Di perempat final ada kejutan. Di atas kertas harusnya kami bertemu ganda China, namun ternyata He Jiting/Tan Qiang kalah dari ganda Jerman. Hal itu justru membuat kami takut, karena mereka pasti sudah percaya diri.
Dalam turnamen seperti All England kami sudah tahu kebiasaan masing-masing. Pagi jelang pertandingan, biasanya kami nonton video pertandingan lawan lebih dulu. Di perempat final kami sudah mulai enak mainnya, namun belum berpikir juara.
Saat di semifinal permainan kami sudah sesuai keinginan namun kemudian ada masalah. Saat kedudukan 17-17, tiba-tiba kaki saya terasa sakit saat mendarat usai melompat dan melakukan smes. Tapi saya tidak langsung ngomong ke Ahsan karena saya berpikir nanti juga hilang, tapi ternyata tidak. Saat interval, saya minta waktu sebentar. Mau minta disemprot dulu.
Di gim kedua, saya lebih banyak main di depan, Ahsan di belakang. Cuma kemudian Jepang ubah strategi tetapi lokasi mereka mengangkat shuttlecock di situ-situ saja sehingga saya tidak perlu lari. Rasa sakit terus terasa di sepanjang gim kedua.
Setelah lolos ke final, pikiran saya adalah pokoknya kaki ini dirawat dulu ke dokter dan fisioterapi. Pagi hari jelang final, kaki masih terasa sakit, namun berkurang. Bila sebelumnya rasa sakit itu 90 persen, maka hari jelang final 70 persen.
Ahsan sempat bertanya tentang kondisi kaki saya. 'Enakan apa enggak?', begitu katanya. Kalau saya pikir ini bukan cedera yang benar-benar serius. Saya pernah cedera lutut di Asian Games 2010, jadi saya pikir, saat final All England saya masih bisa.
Saat pertandingan final lawan Aaron Chia/Soh Wooi Yik dimulai permainan saya belum enak di gim pertama. Masih takut-takut. Setelah gim kedua, saya coba berani mempercepat permainan. Koh Herry IP selalu bilang 'Coba lagi, masih bisa, coba terus.'
Setelah menang di gim kedua, saya pikir sudah tanggung, jadi habis-habisan di gim ketiga. Mereka tertekan dan tidak bisa balik lagi karena memang sulit untuk bangkit jika dalam kondisi tertekan. Namun jika mereka bisa bangkit lagi, maka bahaya juga buat kami.
Saya berteriak usai menang, karena ada banyak hal yang membuat saya gembira. Kami sudah tidak menang gelar bergengsi sejak 2015, umur juga sudah 34 tahun. Saya masih bisa juara jadi saya senang. Setelah selesai, saya langsung duduk. Capek. Mau bergerak bagaimanapun, kaki terasa cenut-cenut. Saat Ahsan duduk di sebelah saya, dia berkata tidak menyangka bisa juara lagi.
Usai menang di All England 2019 saya langsung menghubungi istri dan orang tua, mereka memberikan ucapan selamat dan senang. Medali kemenangan itu juga jadi hadiah ulang tahun untuk istri saya. Saya tidak berani menjanjikan medali juara pas berangkat. Istri saya meminta, tetapi saya jawab 'iya, iya' saja.
Setelah
Olimpiade 2016, rasa ingin main bulutangkis masih ada, namun saat itu saya butuh tantangan baru. Karena itu saya memilih mundur dari Pelatnas. Saat mundur, saya tidak berani mengajak
Ahsan. Dia belum pernah berkarier di luar. Jika di 2016 saya mengajak Ahsan keluar, namun kemudian penampilan menurun dan habis, maka saya tidak enak karena saat itu saya yang mengajak Ahsan.
Akhirnya saya berpasangan dengan Tan Boon Heong, namun bisa dibilang gagal. Mungkin hal itu terjadi karena tipe mainnya berbeda. Ganda Indonesia terbiasa main menyerang sedangkan Malaysia lebih sering main bertahan lebih dulu.
Meski Tan Boon Heong bilang 'ayo menyerang', namun karena sudah terbiasa, akhirnya di tengah-tengah permainan dia mengangkat shuttlecock lagi. Dari teknik Tan Boon Heong memang bagus, namun dari pola permainan kami susah nyambung.
Di akhir 2017, PBSI lalu bertanya tentang rencana saya di 2018. Ahsan juga bertanya. Saat itu, saya juga belum memastikan duet dengan Tan Boon Heong sudah berakhir. Saya akhirnya mengambil keputusan dalam waktu yang mepet.
Mimpi ke Olimpiade 2020Setelah berpasangan dengan Ahsan di 2018, pasti harus adaptasi lagi. Butuh beberapa bulan. Saya juga harus mengembalikan cara main saya, karena selama berpasangan dengan Tan Boon Heong, cara main saya juga berubah. Kami kembali mulai dari awal, belum ada target Olimpiade. Kami berpikir untuk kembali main dengan benar, barulah setelah itu masuk 10 besar.
 Hendra harus beradaptasi lagi dengan Ahsan saat kembali berpasangan pada 2018. (CNN Indonesia/Tarmuzi Azhar) |
Saat mendengar pengumuman Asian Games, tentu ada perasaan kecewa karena gagal ke Asian Games. Mungkin buat jadi juara susah, namun masih ada kesempatan. Apalagi dua Asian Games sebelumnya saya jadi juara, jadi ada keinginan untuk cetak hattrick.
Tetapi karena sudah tak terpilih, ya sudah tidak apa-apa. Hal itu jadi motivasi. Saya harus bisa buktikan lagi. Saya ambil sisi positifnya. Di akhir 2018, saya mengajak Ahsan keluar pelatnas. Karena di pelatnas sudah mengutamakan yang muda-muda. Saya belum tahu bagaimana kondisi saya jika tetap di pelatnas, jadi lebih baik di luar saja.
Saya sudah bersiap untuk latihan di Jaya Raya namun kemudian Ci Susy Susanti bilang, “Kamu latihan di sini saja, latihan, makan, dan tidur di sini. Perbedaan saat pertandingan saja. Kalau tidak ada pemain pelatnas yang main, pelatih bisa jaga kamu, tetapi kalau bersamaan, tentu pemain pelatnas yang diprioritaskan.”
Target kami masuk semifinal di tiap turnamen, tidak muluk-muluk. Pemain yang muda-muda lebih cepat, namun memang belum serapi ganda macam Cai Yun/Fu Haifeng, Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong, dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong.
Mereka benar-benar rapat mainnya, sedangkan ganda Korea Selatan dan China saat ini belum serapat mereka. Ganda saat ini lebih mengandalkan speed dan power. Untuk Olimpiade, persaingan di pelatnas ketat. PBSI bilang ke media bahwa persaingan terbuka, namun belum tahu, lihat saja nanti. Bagi saya, yang terpenting berusaha untuk masuk zona Olimpiade.
Sebagai pemain yang sudah 34 tahun, saya masih punya keinginan untuk bermain 2-3 tahun lagi. Dalam turnamen terkadang saya bertemu Mathias Boe dan berbincang-bincang. Dia bilang 34 tahun itu masih muda, karena dia sudah 39 tahun dan masih main. Di Eropa hal itu sudah biasa, di Indonesia yang tidak biasa.
Untuk mempertahankan motivasi, saya selalu tidak menganggap apa yang sudah didapat. Ketika kemarin juara, maka harus segera dilupakan. Selain itu saya belum berpikir pensiun karena saya sangat menyenangi bulutangkis.