Setelah
Olimpiade 2016, rasa ingin main bulutangkis masih ada, namun saat itu saya butuh tantangan baru. Karena itu saya memilih mundur dari Pelatnas. Saat mundur, saya tidak berani mengajak
Ahsan. Dia belum pernah berkarier di luar. Jika di 2016 saya mengajak Ahsan keluar, namun kemudian penampilan menurun dan habis, maka saya tidak enak karena saat itu saya yang mengajak Ahsan.
Akhirnya saya berpasangan dengan Tan Boon Heong, namun bisa dibilang gagal. Mungkin hal itu terjadi karena tipe mainnya berbeda. Ganda Indonesia terbiasa main menyerang sedangkan Malaysia lebih sering main bertahan lebih dulu.
Meski Tan Boon Heong bilang 'ayo menyerang', namun karena sudah terbiasa, akhirnya di tengah-tengah permainan dia mengangkat shuttlecock lagi. Dari teknik Tan Boon Heong memang bagus, namun dari pola permainan kami susah nyambung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di akhir 2017, PBSI lalu bertanya tentang rencana saya di 2018. Ahsan juga bertanya. Saat itu, saya juga belum memastikan duet dengan Tan Boon Heong sudah berakhir. Saya akhirnya mengambil keputusan dalam waktu yang mepet.
Mimpi ke Olimpiade 2020
Setelah berpasangan dengan Ahsan di 2018, pasti harus adaptasi lagi. Butuh beberapa bulan. Saya juga harus mengembalikan cara main saya, karena selama berpasangan dengan Tan Boon Heong, cara main saya juga berubah. Kami kembali mulai dari awal, belum ada target Olimpiade. Kami berpikir untuk kembali main dengan benar, barulah setelah itu masuk 10 besar.
 Hendra harus beradaptasi lagi dengan Ahsan saat kembali berpasangan pada 2018. (CNN Indonesia/Tarmuzi Azhar) |
Saat mendengar pengumuman Asian Games, tentu ada perasaan kecewa karena gagal ke Asian Games. Mungkin buat jadi juara susah, namun masih ada kesempatan. Apalagi dua Asian Games sebelumnya saya jadi juara, jadi ada keinginan untuk cetak hattrick.
Tetapi karena sudah tak terpilih, ya sudah tidak apa-apa. Hal itu jadi motivasi. Saya harus bisa buktikan lagi. Saya ambil sisi positifnya. Di akhir 2018, saya mengajak Ahsan keluar pelatnas. Karena di pelatnas sudah mengutamakan yang muda-muda. Saya belum tahu bagaimana kondisi saya jika tetap di pelatnas, jadi lebih baik di luar saja.
Saya sudah bersiap untuk latihan di Jaya Raya namun kemudian Ci Susy Susanti bilang, “Kamu latihan di sini saja, latihan, makan, dan tidur di sini. Perbedaan saat pertandingan saja. Kalau tidak ada pemain pelatnas yang main, pelatih bisa jaga kamu, tetapi kalau bersamaan, tentu pemain pelatnas yang diprioritaskan.”
Target kami masuk semifinal di tiap turnamen, tidak muluk-muluk. Pemain yang muda-muda lebih cepat, namun memang belum serapi ganda macam Cai Yun/Fu Haifeng, Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong, dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong.
Mereka benar-benar rapat mainnya, sedangkan ganda Korea Selatan dan China saat ini belum serapat mereka. Ganda saat ini lebih mengandalkan speed dan power. Untuk Olimpiade, persaingan di pelatnas ketat. PBSI bilang ke media bahwa persaingan terbuka, namun belum tahu, lihat saja nanti. Bagi saya, yang terpenting berusaha untuk masuk zona Olimpiade.
Sebagai pemain yang sudah 34 tahun, saya masih punya keinginan untuk bermain 2-3 tahun lagi. Dalam turnamen terkadang saya bertemu Mathias Boe dan berbincang-bincang. Dia bilang 34 tahun itu masih muda, karena dia sudah 39 tahun dan masih main. Di Eropa hal itu sudah biasa, di Indonesia yang tidak biasa.
Untuk mempertahankan motivasi, saya selalu tidak menganggap apa yang sudah didapat. Ketika kemarin juara, maka harus segera dilupakan. Selain itu saya belum berpikir pensiun karena saya sangat menyenangi bulutangkis.
(har)