Jakarta, CNN Indonesia -- Saya lebih dahulu mengenal
bulutangkis daripada sepak bola yang kini sudah mewarnai sebagian besar hidup saya. Hampir setiap malam saya bermain bulutangkis di kampung saya, kampung kecil di Tanggulangin, Punggur,
Lampung Tengah. Waktu itu listrik belum masuk ke kampung. Kami main bulutangkis hanya bermodalkan lampu petromaks.
Buat saya waktu itu, untuk anak kelas 4 atau 5 SD, bermain bulutangkis di malam hari sangat membahagiakan. Sayang hobi saya itu tidak bertahan lama karena mulai kelas 6 SD, saya mulai tertarik dengan sepak bola. Alasannya sederhana, saya jarang punya teman sebaya untuk main bulutangkis.
Saya pun langsung jatuh cinta dengan sepak bola. Hampir setiap sore sepulang sekolah atau setelah salat asar saya pergi ke lapangan bola. Di saat banyak anak yang lain di kampung pergi mengaji selepas salat asar, saya malah lebih sering bolos karena ingin main bola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagusnya orang tua mendukung hobi saya ini. Mereka tahu saya berbakat sekali di sepak bola. Saking besarnya dukungan, saya dibelikan hadiah bola dan sepatu bola saat diajak pergi Palembang, kira-kira usia saya waktu itu 11 atau 12 tahun. Begitu kembali ke kampung, saya jadi anak kecil pertama di kampung yang punya sepatu bola.
 Rahmad Darmawan salah satu pelatih lokal tersukses di level klub. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Ketika masuk SMP, saya mulai bermain dengan anak-anak yang lebih dewasa meski badan saya paling kecil. Bahkan masuk kelas dua SMP saya sudah disewa untuk membela Sekolah Teknik Menengah. Hasilnya tangan saya patah dan agak bengkok sampai sekarang karena nekat bermain dengan orang yang lebih tua.
Jalan karier saya untuk jadi pesepakbola semakin cerah saat beranjak remaja. Saya masuk tim PON Lampung hingga akhirnya saya terpanggil untuk PSSI Garuda 1 meski akhirnya tim itu bubar setiba saya di Jakarta. Keinginan saya untuk berkarier sebagai pesepakbola semakin menggebu-gebu, tetapi di sisi lain saya juga ingin kuliah. Saya ingin sepak bola dan pendidikan bisa berjalan beriringan. Seperti pesan bapak.
Kebetulan saat mengikuti Sipenmaru, saya bisa masuk IKIP Jakarta. Saya bertekad dalam hati agar pendidikan dan sepak bola bisa berjalan beriringan. Saya ingat betul pesannya 'Kamu boleh main bola sampai mana saja, tapi bapak mau anak bapak bisa menyelesaikan kuliah'. Amanat itu yang terus saya simpan dalam benak saya. Jadi saya ikuti saran bapak dengan kuliah di IKIP Jakarta jurusan kepelatihan.
Saya kemudian main untuk Persija selama enam tahun, dari 1986 sampai 1992. Di era itu juga saya main untuk pertama kalinya bersama Timnas Indonesia U-23, kira-kira tahun 1987-1989.
Di tahun yang sama, saya pertama kali main di Timnas senior untuk Merdeka Games di Malaysia. Jujur, saya sangat senang sekali waktu itu karena bisa satu tim dengan pemain-pemain hebat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Bahkan, saya bisa satu kamar dengan Ricky Yakobi, pemain yang sangat terkenal di zaman itu. Saya jelas bangga bisa mendapatkan kesempatan yang belum tentu didapatkan pemain lain. Namun kebahagiaan saya itu tidak berlangsung lama. Saya yang sedang berada dalam puncak penampilan malah mengalami cedera lutut meniskus.
Cedera itu saya alami saat Timnas Indonesia menggelar pemusatan latihan untuk Pra Piala Dunia di Jerman. Saya ditabrak kiper lawan dalam laga uji coba melawan Bayer Uerdingen. Mimpi untuk jadi pemain inti Timnas kandas dan saya harus menepi satu tahun.
 Rahmad Darmawan pernah memperkuat Persija dan Timnas Indonesia U-23. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Saya sempat terpukul. Namun dalam hidup selalu ada hikmah dari setiap masa sulit yang terjadi. Saya malah bisa menyelesaikan skripsi, suatu hal yang sulit dilakukan sebelumnya karena saya harus TC di luar negeri bersama timnas dan sibuk membela Persija.
Selesai kuliah, kira-kira tahun 1990-an, saya ditawari masuk ABRI lewat jalur prestasi oleh EE Mangindaan, mantan Ketua Badan Timnas Indonesia. Ketika itu mereka sedang membentuk tim PS ABRI Galatama.
Buat saya bisa masuk ABRI ibarat mimpi yang jadi kenyataan. Ayah saya kerap bercerita waktu kecil saya selalu pakai baju Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) setiap kali ikut Karnaval HUT Kemerdekaan RI. Saya ingat betul waktu itu raut wajah ayah saya begitu gembira ketika saya bilang ditawari masuk ABRI. Saya pun memutuskan mundur dari pekerjaan saya sebagai pegawai di salah satu bank milik negara.
Ketika resmi jadi tentara, saya awalnya kaget karena gajinya kok lebih sedikit dibandingkan saat saya jadi pegawai bank. Dua tahun masa dinas berjalan, saya coba-coba tes di Bank Indonesia dan kemudian diterima. Saya pulang dan bilang ke orang tua kalau saya mau mundur dari KKO AL dan beralih profesi kerja di bank.
Beliau tidak marah tapi hanya bilang begini, "Rezeki itu datang bukan karena kamu kerja di bank terus dapat gaji lebih kecil atau lebih besar. Kalau memang rezeki kamu besar, kamu akan dapat yang lebih besar. Kedua, bapak itu punya anak, semuanya sudah ada yang kerja di bank. Ada yang jadi dosen, ada yang kerja di pemerintahan tapi bapak tidak punya anak yang jadi tentara". Omongan beliau ini membuat saya mengurungkan niat mundur dari kesatuan KKO AL.
Selama bertugas di KKO AL, saya pernah beberapa kali terlibat untuk tugas pengamanan. Saya pernah ikut pengamanan laut ketika Presiden berkunjung ke Semarang dan kerusuhan Trisakti tahun 1998. Saya ingat sekali waktu ada situasi panas di Jakarta dan saya diminta kesatuan untuk pulang walau sedang bersama Persikota Tangerang untuk melakoni sebuah pertandingan di Yogyakarta.
Sementara itu untuk mengetahui pengalaman karier Rahmad Darmawan di Persipura hingga saat ini, simak cerita di halaman selanjutnya.
Saya memutuskan pensiun sebagai
pesepakbola dalam usia yang tergolong produktif, 32 tahun, sekitar 1998. Keputusan yang sangat berat itu terpaksa saya ambil karena lutut kiri saya kerap bermasalah pasca-cedera yang sempat memaksa saya absen satu tahun.
Setelah pensiun saya memutuskan untuk memperdalam ilmu kepelatihan. Seingat saya tak lama setelah pensiun, saya diangkat jadi asisten pelatih almarhum Andi Lala di
Persikota.
Saya belajar banyak saat itu bagaimana belajar menjadi seorang pelatih. Ilmu yang tidak kalah berharga juga saya dapat saat Bang Sutan Harharah ditunjuk menggantikan Om Andi Lala sebagai pelatih kepala Persikota. Dua tahun saya belajar banyak hal sebagai pendamping Bang Sutan.
Saya juga terus memperkaya pengetahuan sepak bola dengan mengikuti kursus pelatih, baik di dalam negeri maupun luar negeri hingga saya mendapatkan lisensi A AFC. Saya juga pernah mengikuti kursus pelatih di Malaysia dan Jerman hingga akhirnya saya ditunjuk sebagai pelatih kepala Persikota dari 2002 sampai 2004.
Banyak ilmu yang saya dapat selama enam tahun di Persikota, baik itu soal taktik hingga bagaimana melakukan pendekatan kepada pemain. Pengalaman itu pula yang saya bawa saat menangani Persipura tahun 2005. Di sana saya menemukan tantangan yang berbeda dari pengalaman selama saya melatih di Persikota. Ada banyak hal yang harus saya perbaiki baik dari aspek teknis maupun nonteknis.
 Juara Liga Indonesia kali pertama bersama Persipura paling berkesan bagi RD. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Saya coba menjelaskan pentingnya latihan satu pemain satu bola, suatu hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Saya juga minta gawang yang bisa dipindah-pindah. Untuk kali pertamanya gawang seperti itu ada dan masih awet sampai sekarang. Selain itu saya juga buat barrier yang jadi bagian penting dalam setiap sesi latihan.
Saya ingat di dalam waktu itu ada sembilan pemain muda, di antaranya Boaz (Solossa), Ian Kabes, Korinus Fingkreuw, dan Cristian Worobai. Mereka adalah para pemain muda dengan talenta besar. Target dari manajemen saat itu tidak muluk-muluk yaitu bisa naik dari posisi papan tengah musim lalu (peringkat ke-13) ke papan atas.
Tantangan melatih di Persipura ketika itu memang benar-benar luar biasa. Selain kelengkapan alat latihan, saya juga harus pelan-pelan mengubah kebiasaan pemain supaya mereka sadar dan mengerti tugas masing-masing. Saya tidak bisa menyetop kebiasaan mereka 100 persen, tapi yang bisa saya lakukan adalah mengurangi dan memastikan kapan mereka bisa melakukan hal lain di luar sepak bola.
Berbagai macam pendekatan saya lakukan di sana agar pemain Persipura mengetahui tugas seorang pemain profesional. Saat berada dalam bus, saya ajak pemain bernyanyi bersama. Begitu ada di ruang ganti, banyak hal-hal yang saya lakukan di luar kemampuan saya sebagai pelatih bola.
Saya juga selalu hadir setiap kali mereka ibadah, meskipun agama saya berbeda. Saya ingin mengapresiasi, mendengarkan, dan menghormati para pemain yang berjuang bersama-sama dengan saya di lapangan.
Kerja keras kami di latihan mulai membuahkan hasil di lapangan. Saya pun mulai merasa 'oh ternyata kami bisa' di pertandingan kesembilan melawan Persibom (Bolaang Mongondow). Dalam tekanan yang hebat tapi kami main sangat bagus. Setelah itu, anak-anak semakin sulit dikalahkan tim lawan. Kami bisa menjaga penampilan dan motivasi pemain menggila hingga akhirnya kami bisa jadi juara Wilayah Timur.
Kami pun berhak menjadi tuan rumah babak 8 besar yang berisikan PSMS Medan, PSM Makassar, dan Persebaya Surabaya. Kami keluar sebagai juara grup dan menghadapi Persija Jakarta, mantan tim saya, yang keluar sebagai juara grup Wilayah Barat di final Liga Indonesia 2005
Saya ingat betul semua orang menjagokan Persija karena mereka bermain di kandang, Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kami mendapatkan tekanan hebat dari suporter mereka tetapi Persipura bisa keluar sebagai juara melalui perpanjangan waktu. Suatu pencapaian yang saya kira luar biasa.
 Boaz Solossa salah satu pemain andalan RD di Persipura. (ANTARA FOTO/Indrayadi TH) |
Ketika pulang ke Papua, sambutan yang kami dapat sungguh luar biasa. Belum juga pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan sempurna, pintu bandara Sentani sudah jebol karena membeludaknya orang-orang yang antusias ingin melihat kami bersama trofi juara.
Saya bahkan dilarang keluar dari pesawat dengan berjalan kaki. Saat itu ada yang berkata pada saya 'Pace tidak boleh injak kaki, biar saya gotong dari pesawat sampai mobil'.
Kami kemudian langsung masuk bus untuk arak-arakan. Kami mendarat pukul sembilan pagi dan baru sampai kota Jayapura pukul sembilan malam. Seluruh tim akhirnya dikasih makan di jalan. Benar-benar luar biasa.
Buat saya pribadi, gelar juara paling berkesan dari cukup banyak gelar yang saya raih adalah di Persipura. Karena tahun sebelumnya tim ini hampir terdegradasi dan Persipura saat itu dihuni sembilan pemain muda yang baru pertama merasakan atmosfer sepak bola kasta tertinggi.
Soal rumor kontrak Rp1 miliar, memang itulah kadang-kadang rezeki itu datang dri mana saja. Jujur itu adalah satu hal di luar pikiran kita yang bisa kita terima. Contoh waktu saya di Persikota kemudian di Persipura saya bawa tim juara. Tiba-tiba ada orang yang kasih saya hadiah, bukan orang dari seputar pengurus, tapi orang yang endorse merek produk sesuatu di luar nalar saya.
Jadi memang itu rezeki. Satu hal soal gaji itu saya mengikuti garis alur aja. Kalau saya mencapai level tertentu suatu saat saya juga melampaui satu batasan dan bisa menurun lagi. Tugas saya adalah bagaimana bisa melatih sebaik mungkin mengimplementasikan apa yang saya punya ke pemain dengan maksimal.
Persipura dulu orang-orang belum kenal Ian Kabes, Boaz. Ketika Sriwijaya FC belum kenal Vijay, Sulaiman Alamsyah, Ferry Rotinsulu, Slamet Riyadi, Benben Barlian. Justru dengan pemain bintang saya tidak juara. Hanya runner-up bersama Arema. Semua bintang hanya runner-up. Persebaya juga bintang semua gagal di 8 besar. Yang tidak ditarget juara malah melebihi target.
Saya juga tidak bisa tidur setelah gagal jadi juara SEA Games 2011, karena saya yakin waktu itu kita bisa jadi juara. Tuan rumah, tapi itulah sepak bola. Momen terulang di SEA Games Myanmar 2013 kita sampai final lagi dan kalah sama Thailand. Bahkan momen sama di tahun sama saya ikut ISG 2013 di Palembang kalah sama Maroko. Sama Arema saya nomor dua, tahun 2011 sama SEA Games Myanmar nomor dua, sampai orang-orang bilang RD runner-up doang. Saya bersyukur mending masih runner-up bukan posisi jelek, tapi kurang beruntung.