Saya memutuskan pensiun sebagai
pesepakbola dalam usia yang tergolong produktif, 32 tahun, sekitar 1998. Keputusan yang sangat berat itu terpaksa saya ambil karena lutut kiri saya kerap bermasalah pasca-cedera yang sempat memaksa saya absen satu tahun.
Setelah pensiun saya memutuskan untuk memperdalam ilmu kepelatihan. Seingat saya tak lama setelah pensiun, saya diangkat jadi asisten pelatih almarhum Andi Lala di
Persikota.
Saya belajar banyak saat itu bagaimana belajar menjadi seorang pelatih. Ilmu yang tidak kalah berharga juga saya dapat saat Bang Sutan Harharah ditunjuk menggantikan Om Andi Lala sebagai pelatih kepala Persikota. Dua tahun saya belajar banyak hal sebagai pendamping Bang Sutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya juga terus memperkaya pengetahuan sepak bola dengan mengikuti kursus pelatih, baik di dalam negeri maupun luar negeri hingga saya mendapatkan lisensi A AFC. Saya juga pernah mengikuti kursus pelatih di Malaysia dan Jerman hingga akhirnya saya ditunjuk sebagai pelatih kepala Persikota dari 2002 sampai 2004.
Banyak ilmu yang saya dapat selama enam tahun di Persikota, baik itu soal taktik hingga bagaimana melakukan pendekatan kepada pemain. Pengalaman itu pula yang saya bawa saat menangani Persipura tahun 2005. Di sana saya menemukan tantangan yang berbeda dari pengalaman selama saya melatih di Persikota. Ada banyak hal yang harus saya perbaiki baik dari aspek teknis maupun nonteknis.
 Juara Liga Indonesia kali pertama bersama Persipura paling berkesan bagi RD. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Saya coba menjelaskan pentingnya latihan satu pemain satu bola, suatu hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Saya juga minta gawang yang bisa dipindah-pindah. Untuk kali pertamanya gawang seperti itu ada dan masih awet sampai sekarang. Selain itu saya juga buat barrier yang jadi bagian penting dalam setiap sesi latihan.
Saya ingat di dalam waktu itu ada sembilan pemain muda, di antaranya Boaz (Solossa), Ian Kabes, Korinus Fingkreuw, dan Cristian Worobai. Mereka adalah para pemain muda dengan talenta besar. Target dari manajemen saat itu tidak muluk-muluk yaitu bisa naik dari posisi papan tengah musim lalu (peringkat ke-13) ke papan atas.
Tantangan melatih di Persipura ketika itu memang benar-benar luar biasa. Selain kelengkapan alat latihan, saya juga harus pelan-pelan mengubah kebiasaan pemain supaya mereka sadar dan mengerti tugas masing-masing. Saya tidak bisa menyetop kebiasaan mereka 100 persen, tapi yang bisa saya lakukan adalah mengurangi dan memastikan kapan mereka bisa melakukan hal lain di luar sepak bola.
Berbagai macam pendekatan saya lakukan di sana agar pemain Persipura mengetahui tugas seorang pemain profesional. Saat berada dalam bus, saya ajak pemain bernyanyi bersama. Begitu ada di ruang ganti, banyak hal-hal yang saya lakukan di luar kemampuan saya sebagai pelatih bola.
Saya juga selalu hadir setiap kali mereka ibadah, meskipun agama saya berbeda. Saya ingin mengapresiasi, mendengarkan, dan menghormati para pemain yang berjuang bersama-sama dengan saya di lapangan.
Kerja keras kami di latihan mulai membuahkan hasil di lapangan. Saya pun mulai merasa 'oh ternyata kami bisa' di pertandingan kesembilan melawan Persibom (Bolaang Mongondow). Dalam tekanan yang hebat tapi kami main sangat bagus. Setelah itu, anak-anak semakin sulit dikalahkan tim lawan. Kami bisa menjaga penampilan dan motivasi pemain menggila hingga akhirnya kami bisa jadi juara Wilayah Timur.
Kami pun berhak menjadi tuan rumah babak 8 besar yang berisikan PSMS Medan, PSM Makassar, dan Persebaya Surabaya. Kami keluar sebagai juara grup dan menghadapi Persija Jakarta, mantan tim saya, yang keluar sebagai juara grup Wilayah Barat di final Liga Indonesia 2005
Saya ingat betul semua orang menjagokan Persija karena mereka bermain di kandang, Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kami mendapatkan tekanan hebat dari suporter mereka tetapi Persipura bisa keluar sebagai juara melalui perpanjangan waktu. Suatu pencapaian yang saya kira luar biasa.
 Boaz Solossa salah satu pemain andalan RD di Persipura. (ANTARA FOTO/Indrayadi TH) |
Ketika pulang ke Papua, sambutan yang kami dapat sungguh luar biasa. Belum juga pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan sempurna, pintu bandara Sentani sudah jebol karena membeludaknya orang-orang yang antusias ingin melihat kami bersama trofi juara.
Saya bahkan dilarang keluar dari pesawat dengan berjalan kaki. Saat itu ada yang berkata pada saya 'Pace tidak boleh injak kaki, biar saya gotong dari pesawat sampai mobil'.
Kami kemudian langsung masuk bus untuk arak-arakan. Kami mendarat pukul sembilan pagi dan baru sampai kota Jayapura pukul sembilan malam. Seluruh tim akhirnya dikasih makan di jalan. Benar-benar luar biasa.
Buat saya pribadi, gelar juara paling berkesan dari cukup banyak gelar yang saya raih adalah di Persipura. Karena tahun sebelumnya tim ini hampir terdegradasi dan Persipura saat itu dihuni sembilan pemain muda yang baru pertama merasakan atmosfer sepak bola kasta tertinggi.
Soal rumor kontrak Rp1 miliar, memang itulah kadang-kadang rezeki itu datang dri mana saja. Jujur itu adalah satu hal di luar pikiran kita yang bisa kita terima. Contoh waktu saya di Persikota kemudian di Persipura saya bawa tim juara. Tiba-tiba ada orang yang kasih saya hadiah, bukan orang dari seputar pengurus, tapi orang yang endorse merek produk sesuatu di luar nalar saya.
Jadi memang itu rezeki. Satu hal soal gaji itu saya mengikuti garis alur aja. Kalau saya mencapai level tertentu suatu saat saya juga melampaui satu batasan dan bisa menurun lagi. Tugas saya adalah bagaimana bisa melatih sebaik mungkin mengimplementasikan apa yang saya punya ke pemain dengan maksimal.
Persipura dulu orang-orang belum kenal Ian Kabes, Boaz. Ketika Sriwijaya FC belum kenal Vijay, Sulaiman Alamsyah, Ferry Rotinsulu, Slamet Riyadi, Benben Barlian. Justru dengan pemain bintang saya tidak juara. Hanya runner-up bersama Arema. Semua bintang hanya runner-up. Persebaya juga bintang semua gagal di 8 besar. Yang tidak ditarget juara malah melebihi target.
Saya juga tidak bisa tidur setelah gagal jadi juara SEA Games 2011, karena saya yakin waktu itu kita bisa jadi juara. Tuan rumah, tapi itulah sepak bola. Momen terulang di SEA Games Myanmar 2013 kita sampai final lagi dan kalah sama Thailand. Bahkan momen sama di tahun sama saya ikut ISG 2013 di Palembang kalah sama Maroko. Sama Arema saya nomor dua, tahun 2011 sama SEA Games Myanmar nomor dua, sampai orang-orang bilang RD runner-up doang. Saya bersyukur mending masih runner-up bukan posisi jelek, tapi kurang beruntung.
(har/har)