Jakarta, CNN Indonesia -- Saya beruntung berkecimpung di sepak bola. Saat ini saya dipercaya mengabdi di
Timnas Indonesia U-19 setelah pernah melatih Timnas Indonesia U-16.
Mungkin banyak generasi sekarang yang mengenal saya sebagai pelatih, bukan sebagai mantan pemain. Untuk itu saya akan lebih banyak berbagi kisah saya saat masih menjadi pemain, termasuk ketika membela
Timnas Indonesia.
Saya lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara, 27 Juli 1965, dari orang tua bernama Husaini Harun dan Zulmiati. Bapak saya Aceh, ibu saya Padang. Saya anak sulung dari delapan bersaudara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kelas satu MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) Rantau Panjang, saya sudah mulai bermain bola dengan teman-teman sebaya yang tinggal di kompleks Pertamina Rantau Panjang, Aceh Timur. Saya menginisiasi teman-teman untuk membuat klub sepak bola yang kami beri nama Merpati Putih. Kausnya berwarna putih, kami beli secara patungan.
Nama klub, tanpa logo, dan nomor punggung, kami sablon sendiri seadanya. Saya memilih nomor punggung enam karena mengidolakan Franz Beckenbauer. Untuk latihan tim Merpati Putih, kami memakai bola milik tim PS Pertamina yang disimpan di rumah kami.
 Fakhri Husaini saat ikut membawa Timnas Indonesia U-16 juara Piala AFF U-16 2018. (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
Ayah saya adalah pemain bola dari tim PS Pertamina Rantau Panjang. Salah satu tugas saya kala itu adalah membersihkan dan menjemur bola-bola tersebut setelah latihan.
Sejak kecil ketika kami bermain bola, saya merasa sudah sering mengatur orang, termasuk menentukan posisi teman-teman di lapangan.
Ketika naik kelas 4, keluarga kami pindah ke Lhokseumawe karena mengikuti orangtua yang pindah kerja ke PT Arun LNG. Saya melanjutkan sekolah di SD 07 Lhokseumawe, dan menyelesaikan SMP dan SMA di sekolah Taman Siswa PT Arun LNG di Batu Phat, Aceh Utara.
Ketika SMP, saya sudah ikut pertandingan POPSI (Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) pada 1980/1981 hingga level provinsi.
Di kompleks PT Arun LNG tempat saya tinggal, untuk kenyamanan karyawan dan keluarganya, perusahaan menyediakan berbagai fasilitas untuk olahraga dan kesenian. Sayangnya tidak banyak anak karyawan PT Arun LNG yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas tersebut.
Untuk menyalurkan bakat sepak bola, saya harus ikut berlatih dan bermain dengan karyawan PT Arun LNG yang tergabung dalam tim PS Arun yang usianya lebih dewasa.
Berlatih dengan pemain yang usianya lebih tua ini saya alami dari SMP sampai SMA. Saya menikmatinya. Posisi saya gelandang.
Ketika kompetisi internal PSLS (Persatuan Sepakbola Lhokseumawe Sekitarnya) 1980/1981 digelar, PS Arun memasukkan nama saya dalam daftar pemain mereka. Ini adalah kompetisi resmi pertama saya.
Ada kejadian menarik kala itu ketika ayah saya masuk ke lapangan karena saya dikasari lawan yang usianya sudah senior. Padahal, pertandingan masih berlangsung.
"'Ayo, pulang! Tidak usah ikut main lagi kamu, main [sepak bola] apaan ini?" kata ayah waktu itu.
Saya malu juga karena itu kompetisi resmi di Lhokseumawe.
 Fakhri (kiri) saat masih menangani Timnas Indonesia U-16. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay) |
Saya sempat bertanya ke bapak saya: "Loh, Abu, Kenapa? Ini kan pertandingan resmi?"
"Tidak, pulang saja," jawab ayah saya dengan nada memaksa.
Pelatih tim saya saat itu kesal karena ayah menarik saya dari lapangan.
"Pak Husaini, kenapa kok Fakhri disuruh pulang? Saya ini pelatihnya," katanya.
"Ini anak saya. Saya yang kasih dia makan. Saya yang besarkan dia. Masak saya izinkan dia dihantam-hantam orang di lapangan. Sudah kamu ganti saja anak saya!" kata ayah saya, ketus. Saya ambil tas dan langsung pulang ikut ayah.
Saya tak patah arang dan terus main di kompetisi senior. Bahkan saya pernah ikut dipinjam untuk bergabung dengan PSKB Kota Bireuen dan bermain melawan klub-klub di Semarang. Itu juga saya termasuk paling muda.
Di usia masih SMA, saya sudah ikut bermain dengan pemain-pemain senior.
Gagal Jadi DokterSaya sebenarnya tidak diizinkan orang tua untuk bermain bola, walaupun ayah latar belakang pemain bola.
Ayah saya pernah ribut di suatu pertandingan, kepalanya pecah. Tidak tahu dipukul siapa, tapi penonton sudah masuk semua dan kacau balau. Trauma itu yang membuat dia khawatir kalau saya jadi pesepakbola.
Saya nyaris masuk Timnas Indonesia ketika ada seleksi Garuda Satu zaman Pak Edy Sofyan. Mereka tur Medan dan mampir Lhokseumawe, bertanding dengan tim saya yakni PS Jangka, tim yang sangat populer di Aceh Utara kala itu.
Saya bermain penuh saat PS Jangka bertanding dengan PSSI Garuda di Stadion Rawa Sakti Lhokseumawe. Penonton membludak. Meski kami kalah, saya merasa saya bermain bagus.
Terbukti selesai pertandingan, saya dipanggil oleh ofisial PSSI Garuda untuk diminta langsung berangkat ke Jakarta.
 Fakhri sempat tidak diizinkan menjadi pesepakbola oleh sang ayah. (Foto: CNN Indonesia/Artho Viando) |
Akan tetapi, orang tua saya tidak mengizinkan karena saya mau naik kelas tiga SMA. Selain itu, ibu saya khawatir melepas saya ke Jakarta. Akhirnya lepas kesempatan itu.
Usai ujian Ebtanas SMA, pengurus PSLS menyarankan saya untuk berangkat ke Jakarta bergabung dengan klub Bina Taruna Bea Cukai.
Kali ini meski berat, orangtua saya mengizinkannya. Tahun 1984 saya diantar ayah saya ke Jakarta menuju klub Bina Taruna di daerah Rawamangun Jakarta Timur.
Satu pesan orangtua saya yang masih selalu saya ingat sebelum beliau kembali ke Aceh: "Kamu [Fakhri] tetap harus kuliah, kuliahnya di kedokteran."
Sejak saya SMA, ayah sudah mengarahkan saya masuk jurusan IPA. Alasannya karena saya anak pertama, bisa mengobati orang tua dan adik-adik saya jika jadi dokter. Saya coba ikut tes di fakultas kedokteran Universitas Indonesia, saya tidak lulus karena tak kunjung menemukan nama saya di daftar pengumuman kelulusan.
Saya beri tahu ayah: "Abu, saya sudah ikut Sipenmaru memilih fakultas kedokteran UI, tidak lulus."
Ayah saya mengerti, beliau tetap menyarankan saya kuliah sambil bermain bola. Kali ini tidak harus di fakultas kedokteran.
Setelah diskusi dengan pengurus dan teman-teman di Bina Taruna, saya memutuskan kuliah di Fakultas Hukum UKI (Universitas Kristen Indonesia) pada 1984.
Saya tidak ambil Kedokteran. Fakultas itu dinilai terlalu berat bagi saya jika tetap ingin bermain bola.
Kualat ke PKT BontangPada saat kuliah, saya sudah mulai digoda klub Galatama. Beberapa tim meminta saya untuk bergabung dengan mereka. Halangan terberat adalah orangtua yang belum mengizinkan.
Mereka berharap saya menyelesaikan kuliah terlebih dahulu.
Saya bersikeras untuk main di Galatama karena ingin merasakan atmosfer ditonton banyak orang. Selama di Galatama, orang tidak mengenal saya.
Akhirnya saya pilih Lampung Putera, tinggalkan Bina Taruna dan UKI pada 1989. Di sana hanya semusim. Saya belum melanjutkan kuliah karena kesibukan padat di sepak bola.
Kemudian saya pindah ke Petrokimia Putera di Gersik selama satu setengah tahun. Di sana, saya tidak kuliah juga karena tidak sempat.
 Fakhri merasa kualat karena sempat memandang remeh sepak bola di Bontang. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Padahal saya sudah pernah dibawa teman menghadap Dekan Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya.
Yang menarik, saya baru kuliah lagi di Bontang hingga lulus.
Lucunya, saya pernah meremehkan klub sepak bola di sana. Saya pernah menggerutu ketika laga tandang di Bontang saat masih membela Lampung Putera.
Saya sampai bicara: "Ini kok ada klub di tengah hutan? Jangan sampai saya bermain di sini."
Kata-kata saya didengar Tuhan. Saya kualat,
he he he.
Jadilah saya ke PS Pupuk Kaltim (PKT). Awalnya saya kecewa ketika akan perpanjangan kontrak di Petrokimia. Mereka menetapkan harga itu tidak ada negosiasi dengan saya. Sepihak.
 Fakhri justru bersyukur karena kualat yang membuatnya ke Bontang justru membawa nikmat. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Meskipun akhirnya mereka bersedia negosiasi, saya kadung jengkel. Saya juga mulai berpikir lanjutkan kuliah.
Saat masih di mes, saya terima telepon dari pak Arifin Tasrif, petinggi PKT. Saya termasuk kaget karena dia tahu kalau saya masih mau lanjutkan kuliah.
Seandainya dia langsung tawarkan saya untuk pindah klub ke PKT, mungkin saya tidak akan mau. Tapi ketika dia tanya soal kuliah, saya langsung berminat. Saya malu dengan adik-adik kalau saya tidak jadi sarjana.
Saya kuliah di sana pada 1992 mengambil jurusan Hukum Perdata, lulus pada 1994. Ternyata saya betah sekali di Bontang. Pada 1998, saya jadi karyawan di PKT.
Dua tahun sebelumnya ketika bertanding di Kuala Lumpur, klub Malaysia Polis Diraja Malaysia meminang saya bersama Kurniawan Dwi Yulianto dan almarhum Eri Irianto. Mereka sudah siapkan kontraknya, saya bilang masih terikat kontrak dengan PKT.
Begitu pulang dan sampai ke Bontang, saya sampaikan ke pengurus. Jawaban pengurus ketika itu: "Kamu di sini saja, jangan keluar. Kami akan memperhatikan masa depan kamu."
Lalu pada 1998, ketika ada perekrutan PKT, saya diikutkan tes karyawan dan Alhamdulillah masuk.
Baca tulisan Fakhri Husaini tentang suka dan duka yang dia alami ketika memperkuat Timnas Indonesia di halaman berikutnya.
[Gambas:Video CNN]
Saya kali pertama masuk Timnas Indonesia U-23 pada 1986. Pelatihnya waktu itu Benny Dolo, Suhatman Imam, dan Sartono Anwar.
Kemudian masuk senior pada 1991/1992. Harusnya saya ikut SEA Games 1992, tapi kabur dari pelatnas.
Orang-orang berpikir saya tidak tahan dengan gaya pelatihan Anatoli Polosin waktu itu. Namun, sebenarnya ada persoalan keluarga di Aceh sehingga saya harus kembali ke sana. Saat itu rupanya Timnas Indonesia raih emas.
Di SEA Games, yang paling berkesan pada 1997. Kami kalah adu penalti dari Thailand pada laga final di Stadion Senayan waktu itu.
Saya terkesan dengan Uston Nawawi ketika itu, meskipun ia gagal penalti karena bolanya melambung. Uston itu pemain muda, dia baru muncul di Persebaya tapi tekniknya bagus. Dan saya rasa kekuatan Uston itu ketika
passing.
Saya salut karena keberanian dia ketika Henk Wullems--pelatih Timnas Indonesia di SEA Games 1997--menunjuk pemain untuk tendang penalti.
Ada beberapa pemain senior mundur karena tidak berani ambil penalti, padahal sudah ditunjuk.
Akhirnya Uston masuk jadi pilihan dan dia menyatakan siap ketika saya tanya. Saat itu saya sebagai kapten.
Di ruang ganti dan bus, kami hanya terdiam. Sampai di hotel saya baru bicara dengan Uston.
"Uston, kenapa? Selama ini
passing-mu bagus sekali. Kenapa tendangan penalti malah naik?" tanya saya.
 Pernah membela Merah Putih sebagai pemain, Fakhri kini menangani Timnas Indonesia U-19. (Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah) |
Saya bisa baca ekspresi kekecewaan dia ketika itu.
"Ketika nama saya dipanggil oleh wasit untuk tendang, saya jalan dari lingkaran tengah ke titik penalti itu seperti tidak menginjak rumput. Seperti melayang, betapa berat beban itu," jawabnya.
Bagaimanapun, saya salut ada anak muda yang punya keberanian untuk itu.
Pengalaman buruk lainnya setelah saya memperkuat Timnas Indonesia di kualifikasi Piala Asia 1996. Kami lolos, tapi nama saya tidak ada saat putaran final di Uni Emirat Arab.
Saya sudah merasa tak akan dibawa. Pelatih saat itu Danurwindo mengatakan bahwa pertahanan saya tidak bagus. Belakangan saya tahu karena ada faktor non-teknis. Saya termasuk pemain yang vokal mengutarakan sikap kritis.
Usai kualifikasi, saya memang sempat debat soal jas pemain Timnas Indonesia.
"Loh, kenapa ini dikembalikan? Jas ini diukur atas badan kami, kamu mau kasih ini ke siapa? Ini kan tim nasional," saya bilang begitu di depan manajer.
Bagaimana pun saya merasa sangat beruntung bisa jadi pesepakbola dan pernah membela Merah Putih.
Saya beruntung karena pernah dilatih tiga pelatih hebat: almarhum Ipong Silalahi, Risdianto, dan almarhum Ronny Pattinasarany.
Dari bang Ipong, saya belajar mengatur kesolidan cara pemain tengah bermain efisien, efektif, dan kreatif. Dari mas Risdianto, saya belajar soal menciptakan peluang dan mencetak gol. Sedangkan dari bang Ronny saya belajar cara mengatur permainan dari lini belakang dan kepemimpinannya di lapangan.