TESTIMONI

Kualat Membawa Nikmat Fakhri Husaini

Fakhri Husaini | CNN Indonesia
Rabu, 03 Jul 2019 19:06 WIB
Pelatih Timnas Indonesia U-19 berbagi cerita menarik jalan nasibnya menjadi pesepakbola sejak kecil hingga melatih Timnas Indonesia U-19.
Foto: CNN Indonesia/Artho Viando
Saya kali pertama masuk Timnas Indonesia U-23 pada 1986. Pelatihnya waktu itu Benny Dolo, Suhatman Imam, dan Sartono Anwar.

Kemudian masuk senior pada 1991/1992. Harusnya saya ikut SEA Games 1992, tapi kabur dari pelatnas.

Orang-orang berpikir saya tidak tahan dengan gaya pelatihan Anatoli Polosin waktu itu. Namun, sebenarnya ada persoalan keluarga di Aceh sehingga saya harus kembali ke sana. Saat itu rupanya Timnas Indonesia raih emas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di SEA Games, yang paling berkesan pada 1997. Kami kalah adu penalti dari Thailand pada laga final di Stadion Senayan waktu itu.

Saya terkesan dengan Uston Nawawi ketika itu, meskipun ia gagal penalti karena bolanya melambung. Uston itu pemain muda, dia baru muncul di Persebaya tapi tekniknya bagus. Dan saya rasa kekuatan Uston itu ketika passing.

Saya salut karena keberanian dia ketika Henk Wullems--pelatih Timnas Indonesia di SEA Games 1997--menunjuk pemain untuk tendang penalti.

Ada beberapa pemain senior mundur karena tidak berani ambil penalti, padahal sudah ditunjuk.

Akhirnya Uston masuk jadi pilihan dan dia menyatakan siap ketika saya tanya. Saat itu saya sebagai kapten.

Di ruang ganti dan bus, kami hanya terdiam. Sampai di hotel saya baru bicara dengan Uston.

"Uston, kenapa? Selama ini passing-mu bagus sekali. Kenapa tendangan penalti malah naik?" tanya saya.

Pernah membela Merah Putih sebagai pemain, Fakhri kini menangani Timnas Indonesia U-19. (Pernah membela Merah Putih sebagai pemain, Fakhri kini menangani Timnas Indonesia U-19. (Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)
Saya bisa baca ekspresi kekecewaan dia ketika itu.

"Ketika nama saya dipanggil oleh wasit untuk tendang, saya jalan dari lingkaran tengah ke titik penalti itu seperti tidak menginjak rumput. Seperti melayang, betapa berat beban itu," jawabnya.

Bagaimanapun, saya salut ada anak muda yang punya keberanian untuk itu.

Pengalaman buruk lainnya setelah saya memperkuat Timnas Indonesia di kualifikasi Piala Asia 1996. Kami lolos, tapi nama saya tidak ada saat putaran final di Uni Emirat Arab.

Saya sudah merasa tak akan dibawa. Pelatih saat itu Danurwindo mengatakan bahwa pertahanan saya tidak bagus. Belakangan saya tahu karena ada faktor non-teknis. Saya termasuk pemain yang vokal mengutarakan sikap kritis.

Usai kualifikasi, saya memang sempat debat soal jas pemain Timnas Indonesia.

"Loh, kenapa ini dikembalikan? Jas ini diukur atas badan kami, kamu mau kasih ini ke siapa? Ini kan tim nasional," saya bilang begitu di depan manajer.

Bagaimana pun saya merasa sangat beruntung bisa jadi pesepakbola dan pernah membela Merah Putih.

Saya beruntung karena pernah dilatih tiga pelatih hebat: almarhum Ipong Silalahi, Risdianto, dan almarhum Ronny Pattinasarany.

Dari bang Ipong, saya belajar mengatur kesolidan cara pemain tengah bermain efisien, efektif, dan kreatif. Dari mas Risdianto, saya belajar soal menciptakan peluang dan mencetak gol. Sedangkan dari bang Ronny saya belajar cara mengatur permainan dari lini belakang dan kepemimpinannya di lapangan. (bac/jal)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER