Jakarta, CNN Indonesia -- Mustofa Abidin selaku kuasa hukum
Joko Driyono menyebut ada kesesatan fakta dalam kasus yang menjerat mantan Ketua Umum
PSSI tersebut. Hal ini ia ungkap usai sidang pleidoi atau pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis (11/7).
Dalam sidang yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut, Joko membacakan tujuh halaman pleidoi. Sedangkan tim kuasa hukum membacakan 169 halaman secara singkat.
Pada intinya, Mustofa berkeyakinan lima pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum tidak dapat dibuktikan di depan persidangan. Kelima pasal tersebut antara lain pasal 233, 231, 232, 221, dan 363 KUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pasal 232 terkait penyegelan atau garis polisi, misalnya, Mustofa menerangkan Joko sama sekali tidak memiliki kesengajaan atau maksud untuk memasuki atau melanggar garis polisi.
"Tadi yang kami sampaikan [dalam sidang pledoi] adalah ada kesesatan fakta yang dialami terdakwa. Sebagaimana alasan-alasan yang kami sudah uraikan dalam pledoi kami yaitu terdakwa saat itu [penyegelan Kantor Komisi Disiplin (Komdis) PSSI] sedang berada di luar negeri," kata Mustofa.
 Joko Driyono jalani sidang kasus penghilangan alat bukti pengaturan skor. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
"Sampai pada saat kejadian, terdakwa memerintahkan, 'Jangan sentuh apapun di ruang komdis.' Sehingga itulah yang kami katakan sebagai kesesatan fakta. Dalam ilmu hukum, kesesatan fakta adalah alasan penghapusan pidana. Itu terkait dengan garis polisi," katanya menambahkan.
Joko yang akrab disapa Jokdri ditetapkan sebagai tersangka karena tuduhan merusak barang bukti yang diduga terkait dengan kasus pengaturan skor. Dia ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis 14 Februari lalu.
Jokdri diduga aktor intelektual yang memerintahkan tiga orang, yaitu Muhammad MM alias Dani, Mus Muliadi alias Mus dan Abdul Gofar untuk melakukan perusakan barang bukti di kantor Komisi Disiplin PSSI yang sempat digeledah Satgas Anti Mafia Bola.
Pria asal Ngawi memerintahkan ketiganya masuk ke ruangan yang telah diberi garis polisi dan melakukan perusakan barang bukti serta mengambil laptop yang diduga penyidik terkait kasus dugaan pengaturan skor.
Atas tindakan tersebut, Joko dituntut dua tahun enam bulan penjara oleh jaksa penuntut umum dalam kasus perusakan garis polisi pada sidang tuntutan di PN Jaksel pada Kamis (4/7).
Lebih lanjut, Mustofa mengatakan semua yang disampaikan di sidang pleidoi bakal bergantung kepada keputusan majelis hakim. Majelis hakim, lanjut dia, merasa ada perbedaan pendapat yang cukup tajam atau sangat jauh antara sikap penuntut umum dan tim kuasa hukum Joko.
"Majelis hakim tadi meminta pada penuntut umum agar melakukan replik secara tertulis, nanti diagendakan pada Senin (15/5)," ucap dia.
 Joko Driyono dituntun 2,5 tahun penjara. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
"Secara teori hukum, kalau seluruh pasal yang tidak didakwaan itu tidak terbukti, tentu kami berharap agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum. Perbedaan pendapat antara jaksa dan penasihat hukum sangat jauh sekali. Tapi pada akhirnya nanti pasti masjelis hakim akan mengambil suatu keputusan, semoga majelis hakim diberi kekuatan untuk memberikan keputusan yang adil bagi terdakwa," ucapnya melanjutkan.
Sebelumnya, Hakim Ketua Kartim Haeruddin menyampaikan ada perbedaan pendapat antara jaksa penuntut umum, terdakwa maupun kuasa hukum.
"Dan oleh karena sangat jauh perbedaannya, maka majelis hakim memberikan kesempatan pada penuntut umum untuk replik secara tertulis," ujar Kartim.
Majelis hakim memutuskan sidang berikutnya akan digelar pada Senin (15/7) pukul 15.00 WIB dengan menghadirkan kembali terdakwa Joko Driyono.
(map/jun)