Jakarta, CNN Indonesia -- Perjuangan
perempuan Iran untuk menyaksikan
sepak bola yang dimainkan para pria masih menemui jalan buntu. Mereka masih harus berhadapan dengan sanksi yang membelenggu perempuan selama 40 tahun terakhir.
Hingga kini, para perempuan Iran hanya boleh menghadiri pertandingan sepak bola yang dimainkan perempuan. Sanksi sosial sudah menanti jika perempuan masih nekat menyaksikan sepak bola yang dimainkan kaum pria.
Para perempuan penggila sepak bola di Iran bahkan terpaksa menyamar sebagai pria agar bisa masuk ke stadion. Namun, upaya ini acap kali diketahui petugas yang siap menggelandang mereka ke ruang tahanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivis perempuan, Maryam Shojaei, yang merupakan adik kapten timnas Iran, Masoud Shojaei, terus mengkampanyekan perlawanan terhadap larangan menonton di stadion Iran.
Selama lima tahun terakhir, Maryam sengaja berkeliling dunia mengikuti pertandingan Iran dengan membawa spanduk terkait larangan perempuan ke stadion di Iran. Termasuk pertandingan Iran pada babak penyisihan grup Piala Dunia 2018.
"Saya menyaksikan Piala Dunia Brasil 2014 dan saya melihat banyak orang dan wanita Iran yang ikut menonton. Saat itulah saya berpikir bahwa saya harus melakukan sesuatu," kata Maryam seperti dikutip
The Guardian.
 Perempuan Iran dilarang menonton sepak bola pria di dalam negeri. (Roslan RAHMAN/AFP) |
Maryam, yang berkewarganegaraan Kanada, menilai pemerintah dan Asosiasi Sepakbola Iran khawatir perempuan Iran akan menuntut hak lebih banyak jika salah satu larangan tersebut dihapus.
Kakak Maryam juga mendukung perjuangan yang dilakukan adiknya. Dua tahun lalu dalam sebuah wawancara dengan Radio Farda, Masoud Shojaei, menilai sepak bola Iran harus membangun stadion dengan kapasitas lebih besar jika larangan itu dicabut.
"Saya rasa jika larangan dicabut kita harus membangun stadion yang bisa menampung 200.000 penonton. Karena kita akan menyaksikan gairah luar biasa dari para wanita," ujarnya.
Guardian melaporkan, larangan tersebut tidak pernah tertulis secara formal. Namun, merayap masuk ketika politik Islam era Ayatollah Khomeini mengambil alih revolusi 1979 dan melahirkan Republik Islam Iran.
Wanita Iran secara bertahap dicegah untuk menghadiri acara olahraga. Otoritas Iran percaya wanita tak pantas menghadiri pertandingan sepak bola pria.
"Ketika revolusi terjadi, seluruh negara kacau, universitas pun ditutup, setelah hampir dua tahun hijab menjadi wajib dan kemudian perang Iran-Irak terjadi. Secara bertahap, tidak ada wanita di dalam stadion," tutur Maryam.
Maryam menyebut, pelarangan perempuan ke dalam stadion sudah ketinggalan zaman dan tidak cocok dengan karakter bangsa.
"Ini menjadi praktik sipil dan mereka tahu bahwa jika mereka menyerah pada masalah ini, orang lain akan menuntut lebih banyak. Misalnya, hak asuh anak untuk perempuan. Tapi, hal ini ada dalam konstitusi dan lebih sulit untuk diubah," ujarnya.
 Sebagian besar perempuan di Irak harus menyamar sebagai pria demi masuk stadion. (Giuseppe CACACE / AFP) |
Maryam juga sudah berupaya mengirimkan surat kepada Komite Etika FIFA pada bulan April lalu. Ia berharap pencabutan larangan bisa dilakukan setidaknya pada Juli 2019. Tujuannya agar wanita Iran bisa menyaksikan laga Iran di Kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 yang akan dimulai pada September mendatang.
"Saya juga telah pergi ke FIFA pada November dengan petisi 240.000 tanda tangan dan memberikannya kepada Sekjen FIFA Fatma Samoura. Mungkin mereka merasa sedih karena ternyata FIFA tak melakukan apa-apa," kata Maryam.
Sejauh ini Maryam telah mengirimkan delapan surat agar FIFA bisa melakukan tekanan, dan jika diperlukan mengancam akan memberikan sanksi kepada federasi.
Surat pertama Maryam kepada FIFA dikirim pada Maret 2018. Tetapi, sebanyak 32 wanita Iran tetap ditangkap ketika mencoba menyaksikan pertandingan Iran di dalam stadion.
Iran sebenarnya semakin bergerak ke arah modern, maju, dan terbuka. Namun, perjuangan perempuan Iran untuk menyaksikan pertandingan di dalam stadion masih menemui jalan buntu.
(jun/bac)