Marjalih alias Jueng telah wara-wiri di turnamen tarkam sejak dua puluh tahun silam. Semula ia bermimpi jadi penggawa Persija Jakarta.(CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Marjalih punya satu mimpi besar: jadi pemain bola profesional dan membela Persija Jakarta. Sebagai seorang putra Betawi tulen yang juga gila sepakbola, tak ada kebanggaan terbesar kecuali membela Macan Kemayoran.
Namun jalan hidup berkata lain. Kesempatannya mencicipi karier sebagai pesepakbola 'mentok' di level tarikan kampung (tarkam).
Pria yang juga dikenal dengan nama Jueng ini sudah lebih dari 20 tahun menggeluti karier sebagai pesepakbola tarkam. Posisinya sebagai bek tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Marjalih biasa berlaga di sekitaran Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Berganti-ganti tim dari turnamen ke turnamen. Ia menjalani kehidupan sebagai pemain tarkam pada akhir pekan, sementara sehari-hari mencari penghasilan sebagai petugas keamanan puskesman.
Dua tim yang paling sering ia bela adalah Bonkar FC dan Kembangan FC.
Jika melihat perawakan Marjalih, perannya sebagai bek tengah sekilas kurang ideal. Tubuh kurus dengan tinggi sekitar 170 sentimeter. Meski demikian, pria 39 tahun berkulit sawo matang ini dinilai rekan-rekan maupun sejumlah lawan yang mengenalnya, sangat tangguh menjaga pertahanan tim.
Marjalih demen bola sejak kecil. Anak ke-11 dari 12 bersaudara ini adalah satu-satunya orang dalam keluarga yang suka si kulit bundar. Bahkan kedua orangtuanya pun tidak.
Ilustrasi sepakbola tarkam. Banyak pemain yang gagal di level profesional kini tetap turun di turnamen tarkam. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Sejak belia ia sudah mengejar mimpi jadi pemain Persija. Ia tak takut meski darah sepakbola tak mengalir di nadinya. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Marjalih hampir tak pernah absen tampil di turnamen sepak bola antar-SD.
Dia disebut-sebut punya bakat alam dalam bermain bola.
Menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, Marjalih semakin getol mengasah kemampuannya bermain bola. Ia rutin berlatih setiap sore bersama anak-anak lain di lapangan Porsekem.
Sering pula ia dapat tawaran bermain tarkam. Buat Marjalih, bermain tarkam berguna untuk mengasah kemampuan dan tentu saja dapat uang jajan tambahan kala itu.
Untuk satu kali tampil di pertandingan tarkam, Marjalih remaja kerap dibayar Rp30 ribu. Baginya, uang sebesar itu sudah lebih dari cukup.
[Gambas:Video CNN] "Dulu segitu bayarannya sudah gede banget, sekitar tahun 1997-an. Dulu kan ongkos naik angkot saja cuma Rp100," ucapnya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
"Saya juga bisa beli sepatu bola dari hasil main tarkam. Itu orang tua enggak tahu. Saya sembunyi-sembunyi belinya," ia melanjutkan.
Pengalaman di awal-awal bermain tarkam kala itu membuat Marjalih berani membidik target lebih tinggi. Ia sempat masuk Tunas Betawi, tim yang terkenal di kawasan Kembangan dan juga disegani di tiap turnamen tarkam.
Dengan rutin bermain di Tunas Betawi, Marjalih sempat berharap ada pemandu bakat yang tertarik dengan kemampuannya.
Marjalih juga pernah berlatih di Stadion Cendrawasih, Cengkareng. Lapangan ini rutin digunakan Persija Barat yang berdiri tahun 1979 dan pernah tampil di kompetisi Divisi I Perserikatan.
Ketika beranjak dewasa Marjalih milai melupakan mimpinya untuk jadi pesepakbola profesional. Kecintaannya pada sepakbola cukup diwujudkan lewat tarkam. Marjalih pun menghabiskan masa remajanya dengan sekolah, membantu orang tua bertani, dan rutin bermain di tarkam.
"Dulu saya bantu orang tua bertani sayuran. Pagi sekolah, siang saya bantu orang tua. Kalau masih ada waktu saya sempatkan main bola," ia menuturkan.
Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Marjalih semakin getol bermain tarkam. Ia mengaku sudah pergi ke banyak tempat untuk bermain tarkam.
Pria yang kini sudah dianugerahi dua orang anak itu pun pernah bermain tarkam hingga ke Sukabumi, Jawa Barat.
"Setelah lulus SMEA, saya langsung kerja jadi cleaning service. Tapi hanya bertahan beberapa bulan," tuturnya.
Setelah itu, ia bekerja sebagai pengantar surat di salah satu bank swasta selama 12 tahun. Saat itu, Marjalih hanya dapat gaji Rp400 ribu per bulan.
"Sekitar tahun 2005 gaji saya segitu. Karena tidak mencukupi, Sabtu dan Minggu saya pasti main tarkam. Kalau istilahnya dari tarkam cukuplah buat beli rokok. Sekarang sih gaji saya sudah sesuai UMR [Upah Minimum Provinsi]," ucap Marjalih seraya tersenyum.
Kini, Marjalih telah berkeluarga dan dikaruniai dua orang anak. Bersama keluarga kecilnya, Marjalih tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuanya yang terletak di daerah Kembangan.
Namun, tidak hanya satu keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Marjalih sempat berbagi tempat dengan kakaknya.
"Dulu abang saya juga tinggal di sini [sembari menunjuk bagian depan rumah] tapi sudah lama sekarang kosong karena dia kerja proyek."
Turnamen tarkam kerap digelar di lapangan yang tidak berukuran standar. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Rumah yang tempati Marjalih terbilang cukup luas meski terletak di kawasan padat penduduk. Rumah-rumah di kawasan ini saling berimpitan pada gang-gang sempit.
Bagian dalam rumah Marjalih pun agak semrawut. Terlihat ada dua kamar tetapi tidak tampak ada ruang tamu. Area yang biasanya digunakan untuk ruang tamu digunakan untuk memarkir dua motor. Di sisi lain, beberapa bagian atap plafon tampak pecah.
Dia tak memungkiri kadang membayangkan bisa hidup lebih baik jika mimpinya jadi pemain profesional terwujud. Namun begitu, Marjalih tetap mensyukuri jalan hidup yang sudah digariskan untuknya meski bakat alam yang dia miliki mentok di tarkam.
Muslih yang sejak bangku SMP kerap bermain bareng dengan Marjalih menyebut sahabatnya itu punya bakat alami. Namun, tak ada izin dari orang tua membuat mimpi Marjalih jadi pemain profesional harus sirna.
Di saat Muslih dan beberapa teman satu kampung berlatih di SSB dan mengikuti seleksi di Persija Barat, Marjalih hanya bermain dari kampung ke kampung.
"Dulu dia [Marjalih] andalan buat di lini belakang. Saya waktu itu main bek sayap kanan, Umar [Abdulaziz, juragan Bonkar FC] jadi striker. Dia [Marjalih] memang punya bakat alami," kata Muslih.
Muslih mengaku pernah mengajak Marjalih untuk ikut seleksi di Persija Barat. Namun, ajakan itu tidak mendapatkan respons yang positif dari Marjalih.
"Jalih main di kampung karena enggak dapat izin dari orang tua, waktu itu orang tua Betawi kan masih kolot. Dulu anak laki-laki Betawi kan enggak boleh jauh [perginya]," tutup Muslih.