Jakarta, CNN Indonesia -- Di balik gemerlap bintang-bintang ganda campuran dunia asal indonesia,
Richard Mainaky adalah sosok yang punya peran vital. Berikut wawancara eksklusif CNNIndonesia.com dengan Richard Mainaky.
Kelahiran pemain-peman bintang seperti Trikusharjanto, Minarti Timur, Nova Widianto, Liliyana Natsir, Flandy Limpele, Vita Marissa, Tontowi Ahmad, hingga kini Praveen Jordan/Melati Daeva tak lepas dari sosok Richard Mainaky yang punya peran penting.
Richard adalah pelatih yang memegang ganda campuran sejak 1997 dan sudah lebih dari dua dekade menangani nomor tersebut. Bagaimana pandangan Richard terhadap perjalanan kariernya di dunia badminton? Simak wawancara eksklusif CNNIndonesia.com dengan Richard Mainaky.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana awalnya anda merantau ke Jakarta untuk jadi pebulutangkis?Saya pada tahun 1980 berangkat dari kampung [Ternate] ke jakarta. Di situ orang tua saya memiliki tujuan agar saya meneruskan sekolah dan melanjutkan badminton.
Di Maluku, saya sudah dilatih oleh papa. Papa saya juara di Maluku sehingga saya sering ikut Papa bertanding badminton dan dari sana mulai suka dengan badminton hingga akhirnya di belakang rumah kami dibuat lapangan.
Papa saya tidak sampai ke tingkat nasional, hanya di Maluku karena itu ada harapan dari Papa pada anak-anaknya. Kami sering melihat Liem Swie King, Lius Pongoh, sehingga ada keinginan untuk bisa jadi seperti mereka.
Kapan akhirnya bisa menembus pelatnas?Kira-kira tahun 1985 setelah menjuarai beberapa kejuaraan di level nasional. Selain itu, saya juga mengalahkan Misbun Sidek di Indonesia Open. Hal itu yang membuat saya ditarik masuk ke pelatnas.
Awal masuk pelatnas jadi pemain tunggal?Ya, saya satu angkatan dengan Hendry Saputra namun di atas Joko Suprianto dan Alan Budikusuma. Di tunggal, karier saya lebih berisikan membuat kejutan mengalahkan pemain unggulan tetapi tidak terlalu banyak meraih juara.
Akhirnya pindah main ganda dan sempat dipasangkan Ricky Subagdja sebelum akhirnya Anda digantikan Rexy Mainaky. Bagaimana perasaan saat itu?Saya pernah berduet sama Icuk Sugiarto, Lius Pongoh, Eddy Hartono, dan juga Ricky Subagdja. Hasil duet bersama Ricky terbilang lumayan namun pelatih melihat umur saya jauh lebih tua dari Ricky sehingga Ricky butuh pasangan yang lebih muda. Tipe main Rexy dianggap lebih cocok dengan Ricky.
 Richard Mainaky digantikan oleh Rexy Mainaky sebagai rekan duet Ricky Subagdja. (AFP PHOTO/TOSHIFUMI KITAMURA) |
Sebagai pelatih, Christian Hadinata punya pandangan jauh ke depan. Saya tidak masalah sama sekali. Saya hanya berkata pada Rexy untuk meneruskan perjuangan saya. Sebagai pemain, saya sudah sering merasakan perubahan, dari tunggal ke ganda, lalu ganti pasangan. Saat itu saya merasa bahwa mungkin jalan perjuangan saya sudah sampai di situ.
Lalu bagaimana akhirnya bisa jadi pelatih?Diambil jadi asisten pelatih sekitar tahun 1995. Di tahun 1993 saya melatih di klub Tangkas. Saya melatih ganda putri sampai akhirnya dipanggil ke pelatnas untuk jadi asisten pelatih.
Pernah jadi debt collector seusai pensiun jadi pemain?Pekerjaan itu saya lakukan di sela-sela melatih di klub karena banyak waktu lowong. Saya melakukan pekerjaan jadi debt collector bukan karena penghasilan kurang karena saya masih punya simpanan saat masih jadi pemain.
Saya melakukan itu karena iseng sebab ada Om saya yang kerja di situ dan saya ingin ikut. Pekerjaan itu juga tidak rutin, hanya sesekali. Sebagai debt collector, ada kesenangan juga saat pergi menagih dan berhasil. Sebagai debt collector, butuh keberanian dan saya tidak pernah sampai berkelahi.
Kapan dipercaya sebagai pelatih ganda campuran?Setelah dua tahun jadi asisten ibu Imelda [Wiguna], saya naik jadi pelatih kepala untuk ganda campuran. Koh Christian Hadinata memberi tahu saya. Dari penglihatannya, saya dinilai punya kemampuan untuk jadi pelatih, jadi saya percaya.
Meski
feeling Koh Chris sering tepat seperti saat memasangkan Ricky/Rexy, saya masih terus bertanya tentang keputusan itu. Lalu beliau bilang,
'Saya yakin dengan catatan kamu harus rutin turun ke lapangan. Kamu punya kemampuan dan saya percaya kamu jadi pelatih kepala'.
 Trikus/Minarti Timur jadi andalan Indonesia di nomor ganda campuran pada awal Richard Mainaky menjabat sebagai pelatih. (AFP/ROBYN BECK) |
Bagaimana kondisi ganda campuran saat Anda mulai jadi pelatih kepala ganda campuran?Saat itu nomor satu adalah pasangan Trikusharjanto/Minarti Timur yang sudah ada sejak zaman Ibu Imelda. Sejak saya dipercaya, saya teruskan memoles mereka hingga mereka mendapat target medali di Olimpiade 2000. Gong pertama nomor ganda campuran dilihat orang banyak itu saat mereka mendapat medali perak Olimpiade Sydney 2000.
Saat itu Trikus/Minarti harusnya bisa mendapat emas Olimpiade. Apa yang terjadi?Sebenarnya itu mereka seolah sudah dikalungkan emas karena di final Trikus menang 15-1 di set pertama dan di set kedua sudah 14-13.
Saya tanya mereka sesudah pertandingan, ternyata mereka seolah kaget bakal mendapat medali emas dan mereka tidak percaya. Dari situ fokus mereka goyah dan mempengaruhi servis dan lainnya.
Ketika pertandingan berjalan ke rubber set, Zhang Jun/Gao Ling sudah percaya diri dan posisi Trikus/Minarti sudah
down. Saya sudah berusaha mendorong namun mereka tak bisa bangkit lagi di set ketiga.
Bagaimana perasaan Anda setelah gagal mengantar Trikus/Minarti meraih emas?Saya justru melihat dengan hasil begitu, nomor ganda campuran yang tidak dilihat orang, tidak memiliki banyak peminat, mampu memberikan hasil cukup luar biasa dengan tampil di final.
Setelah sukses dengan Trikus/Minarti, bagaimana perjuangan mencari ganda campuran andalan berikutnya?Waktu saya jadi asisten, nova mulai masuk dan berstatus pemain junior jadi begitu saya jadi pelatih kepala, saya memasangkan Nova dengan Vita yang merupakan pemain depan dengan antisipasi bagus. Duet Nova/Vita cukup lumayan dan mengejutkan namun sayangnya saat tampil di Olimpiade 2004, Vita mengalami cedera bahu sebelum berangkat.
Mereka terpaksa berangkat walau sudah cedera. Di babak delapan besar, kondisi Vita sudah tidak bisa dipaksa. Pulang dari Olimpiade, Vita harus menjalani operasi.
 Duet Nova/Vita punya kualitas bagus namun terganjal cedera saat tampil di Olimpiade Athena 2004. (AFP/TOSHIFUMI KITAMURA) |
Lalu bagaimana menemukan duet Nova Widianto dengan Liliyana Natsir?Saat main di PON 2004, Nova mau dicoba dengan Jo Novita karena saat itu Nova sedang lowong setelah Vita harus menjalani operasi. Duet Nova/Jo Novita menghadapi Liliyana Natsir dengan Ronny di PON 2004.
Saya lihat Butet [Liliyana Natsir] main mix galak banget, simpel sekali mainnya. Netting, block, backhand smash, defend bagus. Saat selesai, saya tanya Nova,
'Coba kamu bayangkan bagaimana bila partner di depan kamu itu Butet'.
Saya tanya kesediaan dia berpasangan dengan Butet. Lalu Nova menjawab
'Kalau dia mau, saya juga mau sama butet'.
Saya langsung ke ruang istirahat, saya tawari Butet, dia juga langsung jawab 'iya'. Saat itu dia juga sedang bingung di ganda putri. Dia mau, langsung saya bilang ke Koh Chris. Saya jelaskan pandangan saya dan Koh Chris langsung memberikan tanda tangan persetujuan.
Saya maju ke binpres, Icuk Sugiarto. Saya berkata saya yakin dengan pasangan ini. Butet dipanggil dan dia juga menyatakan siap pindah ke nomor ganda campuran.
Setelah berpasangan, saya juga kaget mereka cepat sekali bisa juara dunia di 2005.
Anda tidak pasang target juara dunia di 2005?Tidak ada pasang target itu. Namun tentu saya ingin dorong mereka jadi yang terbaik di tiap turnamen. Nova juga senior pasti mau jadi juara. Kemajuan mereka sangat cepat meski mereka tidak langsung juara di turnamen-turnamen awal namun rutin masuk semifinal.
Setelah jadi juara dunia 2005, bagaimana Anda melihat Nova/Liliyana?Saya lihat mereka dan saya juga kaget dengan perkembangan mereka yang secepat itu. Saya yakin ganda ini bisa dipompa terus dan akhirnya mereka bisa juara dunia lagi di 2007.
Bagaimana terbentuknya duet Flandy Limpele/Vita Marissa?Saat Vita kembali dari cedera, saya cari pemain putra yang punya cover yang kuat. Kalau tidak salah, Flandy saat itu sudah mau pensiun di ganda putra dan bersedia dioper ke nomor ganda campuran. Vita mau dan Flandy mau sehingga akhirnya mereka berpasangan.
Ternyata mereka bisa cepat kompak dan langsung cepat naik.
Dua ganda campuran di semifinal pada Olimpiade Beijing 2008 namun akhirnya tidak dapat emas. Apakah Anda kecewa?Saya dari dulu tak pernah ada kata-kata dan perasaan kecewa terhadap hasil atlet saya. Cuma memang saya bilang belum sesuai harapan, sayang karena peluang saat itu besar.
Saya tekankan masih ada waktu, kita coba lagi, bangkit lagi. Saya punya prinsip seperti itu.
 Nova/Liliyana harus puas dengan medali perak di Olimpiade 2008. (AFP/INDRANIL MUKHERJEE) |
Kapan mulai merasa ganda campuran diandalkan oleh PBSI?Target itu mulai muncul setelah Trikus/Minarti. Setiap Olimpiade selalu diharapkan lebih dari sebelumnya.
Bagaimana dasar keputusan mengganti Nova dengan Tontowi di Asian Games 2010?
Saya ingat Koh Chris mengganti saya dengan Rexy. Memang keputusan seperti itu berat, namun Koh Chris punya pertimbangan ke masa depan. Begitu juga dengan saya. Saya punya pertimbangan ke masa depan. Untuk hasil yang lebih bagus, harus dipecah demi memenuhi tuntutan target.
Apa alasan Tontowi/Liliyana gagal di Olimpiade 2012?Bukan cuma di bulutangkis saja, tetapi olahraga keseluruhan memberikan tekanan pada Tontowi/Liliyana sehingga beban mereka sangat berat. Di babak semifinal saat lawan Xu Chen/Ma Jin, gim pertama mereka menang, gim kedua kesusul dan akhirnya kalah. Lalu begitu juga di gim penentuan.
Setelah kalah, harus berjuang lagi untuk medali perunggu. Mereka masih terbebani, agak sulit karena harus melupakan kekalahan yang kemarin. Saat itu saya juga sudah tak banyak berbicara lagi strategi.
Kalau saja saat itu saya bisa melempar handuk putih seperti tinju, sudah saya lempar itu.
Setelah gagal di
Olimpiade 2012,
Richard Mainaky berhasil mengembalikan kepercayaan diri Tontowi/Liliyana sehingga mereka mampu jadi juara dunia 2013 dan mencatat hattrick All England. Namun tantangan bagi Richard Mainaky kembali hadir setahun jelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Bagaimana cara Richard menghadapi hal tersebut, berikut lanjutan wawancara CNNIndonesia.com dengan pelatih yang berasal dari PB Djarum tersbeut:
Hubungan Tontowi/Liliyana sempat agak renggang jelang Olimpiade 2016, terutama setelah kalah di Kejuaraan Dunia 2015. Apa yang terjadi dan apa yang Anda lakukan?Mereka tidak bertengkar, namun saya lihat mereka mendapat tekanan psikologis. Hasil sebelum Olimpiade tidak bagus dan tidak sesuai harapan.
Di situ mereka mulai sensitif dan keluar ego masing-masing. Kadang-kadang saat mereka dikasih tahu tidak mau terima, kesal.
Saya mau angkat mental dan performa mereka di Indonesia Open 2016. Saya lihat permainan mereka sudah mulai naik dan mendapat momen bagus, namun akhirnya dirugikan wasit.
Saya takut mereka drop lagi. Akhirnya saya kesal sampai lempar handuk ke wasit. Emosi saya naik, agak kesal karena takut momen mereka bangkit lepas lagi.
Tapi Anda tidak marah usai Tontowi/Liliyana kalah di Indonesia Open 2016?Saya tidak marah. Saya rasa marah bukan solusi karena Olimpiade sudah dekat dan kondisi mereka masih drop. Kalau saya marah, mereka bakal tambah rusak. Saya cari jalan yang lain.
Dalam rapat, ada satu psikolog dikirim dari KOI, Saya terima Pak Rahman, saya butuh untuk Owi/Butet. Hal itu berjalan selama dua bulan.
Setelah memakai psikolog, mereka sudah berubah. Hubungan sudah bagus, motivasi mereka sudah lebih besar. Lalu dibantu Rexy Mainaky dan Nova Widianto, kami bertiga terus menggembleng mereka.
 Hubungan Tontowi dengan Liliyana sempat agak renggang sebelum Olimpiade 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Tantangan terberat Tontowi/Liliyana di Olimpiade 2016 ada di semifinal saat menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei. Bagaimana mengatasinya?Persiapan strategi kami lebih fokuskan. Pada malam sebelum pertandingan justru kami tidak berbicara non teknis karena kondisi non teknis mereka sudah bagus. Ambisi dan motivasi mereka kuat sekali. Dari babak pertama, sudah sulit bagi lawan untuk mengalahkan Tontowi/Liliyana.
Apa strategi menaklukkan Zhang Nan/Zhao Yunlei?Saya coba strategi untuk menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei dipakai oleh Praveen/Debby saat mereka menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei. Praveen/Debby mulai mampu menjalani pola itu dan unggul terus di gim kedua dengan pola yang saya terapkan. Namun saat mereka unggul, kemudian mereka mengubah sendiri pola tersebut karena merasa pola terbaca. Kesalahan di situ dan akhirnya kalah.
Saat itu, strategi saya adalah ketika posisi terima servis harus dibuang ke sisi backhand Zhang Nan. Backhand Zhang Nan memang bagus, namun bila diarahkan ke kanan, pukulan kembali Zhang Nan pasti kencang sekali.
Di luar pola itu, Tontowi/Liliyana juga jauh lebih siap. Sulit untuk lawan mengalahkan mereka saat itu. Kalau tidak salah, poin paling banyak Praveen/Debby dan Zhang Nan/Zhao Yunlei.
Setelah tampil di final, apakah merasa tegang karena Anda dua kali kalah di final Olimpiade?Saya tidak ada pikiran ke arah sana. Saya tatap ke depan karena peluang sangat besar. Kami sudah bertemu di babak awal dan sudah memegang permainan lawan.
Saya minta Tontowi/Liliyana melihat terus dan terus mengingat poin-poin yang didapat oleh mereka di laga sebelumnya. Saya sudah yakin dan tenang.
Ada satu hal yang lebih membuat saya yakin. Saya sebagai penganut Kristen, setiap hari baca buku sabda harian dan ulasan dari Alkitab. Sebelum laga final digelar sore, pagi harinya saya baca sabda harian saya.
Saya berdoa, fokus untuk final, saya baca itu. Ada kata-kata yang membuat saya yakin. 'Siapapun harus taat pada Pemerintah. Karena Pemerintah ditunjuk Tuhan.'
Saya berdoa dan minta bacaan pagi ini bisa terbukti nanti sore. Owi juga bercerita pada saya bahwa orang tuanya mengumpulkan orang-orang untuk salat dan berdoa bersama-sama.
Apa yang dilakukan oleh orang tua Owi, Butet, dan juga saya yaitu berdoa, membuat saya yakin target kali ini pasti tercapai. Dengan didukung doa yang kuat, motivasi dan penampilan yang kuat.
Karena itu saya tidak kaget ketika kami berhasil jadi juara. Saya bersyukur karena bacaan sabda harian tadi pagi benar. Saya tidak sempat menghampiri ke lapangan karena saya sedang bersyukur doa dikabulkan.
Kita sangat bangga dan terharu setiap atlet kita di podium dikalungkan medali emas dan mengharumkan bangsa kita.
 Arak-arakan Tontowi/Liliyana jadi juara Olimpiade. (CNN Indonesia/Putra Tegar) |
Setelah era Tontowi/Liliyana, bagaimana melihat ganda campuran Indonesia?Setelah Tontowi, kita punya Praveen yang dahsyat, punya postur dan karisma dan bila berada dalam kondisi bagus, ia sangat ditakuti di lapangan. Saya kemudian harus cari pasangan sepeninggal Debby dan akhirnya saya pilih Melati.
Selain itu saya juga dapat pasangan Hafiz/Gloria untuk saat ini.
Pernah ada tawaran dari luar negeri?Sempat ada, misal dari Reony Mainaky yang lama di Jepang. Orang Jepang sempat tanya pada Reony, kapan saya berhenti dari Indonesia. Namun saya rasa orang luar juga tak mau memberi tawaran karena ganda campuran Indonesia sedang jadi andalan. Biasanya pelatih Indonesia yang ditarik luar negeri adalah yang sudah berhenti.
Saya juga sudah memberi penegasan bahwa saya tak punya keinginan dan kepikiran untuk melatih di luar negeri. Saya lebih senang di sini.
Pernah bertengkar dengan pemain?Tidak pernah, kalau melakukan tindakan tegas, peringatan pada atlet pernah. Saya punya prinsip, jangan sampai tindakan seorang pelatih membuat atlet takut.
Atlet harus percaya pada kita, tunduk, dan segan. Namun jangan sampai takut pada pelatih karena nanti mereka tak akan berkembang. Saya tak pernah berusaha jadi pelatih yang ditakuti karena itu merupakan kesalahan besar bagi seorang pelatih.
Sebagai pelatih ganda campuran, secara umum lebih sulit melatih pemain putra atau putri?Sama saja. Namun cowok, lebih cenderung pada ego sedangkan cewek lebih ke perasaan.
Apakah anda merasa jadi pembuka jalan kesuksesan keluarga Mainaky di badminton?Dengan orang tua hanya pegawai negeri, maka perjuangan kami berat. Motivasi papa saya itu terlihat dengan upaya memberi raket satu buah saat saya ingin berangkat di airport. Hal itu yang menjadi motivasi saya untuk habis-habisan di Jakarta.
Setelah saya berhasil menembus persaingan di Jakarta, saya ikut membagi program latihan yang tidak ada di Ternate. Dari situ saya sadar pantas bahwa orang daerah seperti kita [keluarga Mainaky] ketinggalan. Saya selalu kirim pola latihan setelah itu. Setelah saya berhasil menembus pelatnas, baru muncul keyakinan bahwa adik saya bisa. Reony, Rexy, lalu Marleve yang kemudian menyusul.
 Richard Mainaky tidak punya keinginan untuk melatih di luar negeri. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean) |
Anda mengubah status dan popularitas ganda campuran dalam dua dekade terakhir. Bagaimana komentar Anda?Saya bangga bahwa kepercayaan Koh Chris kepada saya, bisa saya jawab. Banyak yang membantu saya atas pencapaian selama ini, bukan hasil kerja keras saya sendiri. Saya bersyukur dikasih kesempatan dan kepercayaan dari Koh Chris dan bisa saya buktikan.
Selain itu tentu dukungan dari istri dan keluarga saya. Keberhasilan saya mencetak pemain-pemain level dunia juga karena dukungan istri saya. Isteri saya selalu mendukung dengan tiap pagi bangun di pukul 04.30 WIB lalu menyiapkan sarapan.
Istri saya menunggu saya pulang malam lalu menyiapkan makan malam. Hal itu terus dilakukan dari tahun 1997 hingga sekarang. Saya bilang istri saya adalah salah satu aktor di belakang layar, luar biasa pengorbanan istri saya. Anak saya juga tidak menuntut untuk dilatih padahal anak saya juga hobi badminton dan punya bakat.