Setelah gagal di
Olimpiade 2012,
Richard Mainaky berhasil mengembalikan kepercayaan diri Tontowi/Liliyana sehingga mereka mampu jadi juara dunia 2013 dan mencatat hattrick All England. Namun tantangan bagi Richard Mainaky kembali hadir setahun jelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Bagaimana cara Richard menghadapi hal tersebut, berikut lanjutan wawancara CNNIndonesia.com dengan pelatih yang berasal dari PB Djarum tersbeut:
Hubungan Tontowi/Liliyana sempat agak renggang jelang Olimpiade 2016, terutama setelah kalah di Kejuaraan Dunia 2015. Apa yang terjadi dan apa yang Anda lakukan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka tidak bertengkar, namun saya lihat mereka mendapat tekanan psikologis. Hasil sebelum Olimpiade tidak bagus dan tidak sesuai harapan.
Di situ mereka mulai sensitif dan keluar ego masing-masing. Kadang-kadang saat mereka dikasih tahu tidak mau terima, kesal.
Saya mau angkat mental dan performa mereka di Indonesia Open 2016. Saya lihat permainan mereka sudah mulai naik dan mendapat momen bagus, namun akhirnya dirugikan wasit.
Saya takut mereka drop lagi. Akhirnya saya kesal sampai lempar handuk ke wasit. Emosi saya naik, agak kesal karena takut momen mereka bangkit lepas lagi.
Tapi Anda tidak marah usai Tontowi/Liliyana kalah di Indonesia Open 2016?Saya tidak marah. Saya rasa marah bukan solusi karena Olimpiade sudah dekat dan kondisi mereka masih drop. Kalau saya marah, mereka bakal tambah rusak. Saya cari jalan yang lain.
Dalam rapat, ada satu psikolog dikirim dari KOI, Saya terima Pak Rahman, saya butuh untuk Owi/Butet. Hal itu berjalan selama dua bulan.
Setelah memakai psikolog, mereka sudah berubah. Hubungan sudah bagus, motivasi mereka sudah lebih besar. Lalu dibantu Rexy Mainaky dan Nova Widianto, kami bertiga terus menggembleng mereka.
 Hubungan Tontowi dengan Liliyana sempat agak renggang sebelum Olimpiade 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Tantangan terberat Tontowi/Liliyana di Olimpiade 2016 ada di semifinal saat menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei. Bagaimana mengatasinya?Persiapan strategi kami lebih fokuskan. Pada malam sebelum pertandingan justru kami tidak berbicara non teknis karena kondisi non teknis mereka sudah bagus. Ambisi dan motivasi mereka kuat sekali. Dari babak pertama, sudah sulit bagi lawan untuk mengalahkan Tontowi/Liliyana.
Apa strategi menaklukkan Zhang Nan/Zhao Yunlei?Saya coba strategi untuk menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei dipakai oleh Praveen/Debby saat mereka menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei. Praveen/Debby mulai mampu menjalani pola itu dan unggul terus di gim kedua dengan pola yang saya terapkan. Namun saat mereka unggul, kemudian mereka mengubah sendiri pola tersebut karena merasa pola terbaca. Kesalahan di situ dan akhirnya kalah.
Saat itu, strategi saya adalah ketika posisi terima servis harus dibuang ke sisi backhand Zhang Nan. Backhand Zhang Nan memang bagus, namun bila diarahkan ke kanan, pukulan kembali Zhang Nan pasti kencang sekali.
Di luar pola itu, Tontowi/Liliyana juga jauh lebih siap. Sulit untuk lawan mengalahkan mereka saat itu. Kalau tidak salah, poin paling banyak Praveen/Debby dan Zhang Nan/Zhao Yunlei.
Setelah tampil di final, apakah merasa tegang karena Anda dua kali kalah di final Olimpiade?Saya tidak ada pikiran ke arah sana. Saya tatap ke depan karena peluang sangat besar. Kami sudah bertemu di babak awal dan sudah memegang permainan lawan.
Saya minta Tontowi/Liliyana melihat terus dan terus mengingat poin-poin yang didapat oleh mereka di laga sebelumnya. Saya sudah yakin dan tenang.
Ada satu hal yang lebih membuat saya yakin. Saya sebagai penganut Kristen, setiap hari baca buku sabda harian dan ulasan dari Alkitab. Sebelum laga final digelar sore, pagi harinya saya baca sabda harian saya.
Saya berdoa, fokus untuk final, saya baca itu. Ada kata-kata yang membuat saya yakin. 'Siapapun harus taat pada Pemerintah. Karena Pemerintah ditunjuk Tuhan.'
Saya berdoa dan minta bacaan pagi ini bisa terbukti nanti sore. Owi juga bercerita pada saya bahwa orang tuanya mengumpulkan orang-orang untuk salat dan berdoa bersama-sama.
Apa yang dilakukan oleh orang tua Owi, Butet, dan juga saya yaitu berdoa, membuat saya yakin target kali ini pasti tercapai. Dengan didukung doa yang kuat, motivasi dan penampilan yang kuat.
Karena itu saya tidak kaget ketika kami berhasil jadi juara. Saya bersyukur karena bacaan sabda harian tadi pagi benar. Saya tidak sempat menghampiri ke lapangan karena saya sedang bersyukur doa dikabulkan.
Kita sangat bangga dan terharu setiap atlet kita di podium dikalungkan medali emas dan mengharumkan bangsa kita.
 Arak-arakan Tontowi/Liliyana jadi juara Olimpiade. (CNN Indonesia/Putra Tegar) |
Setelah era Tontowi/Liliyana, bagaimana melihat ganda campuran Indonesia?Setelah Tontowi, kita punya Praveen yang dahsyat, punya postur dan karisma dan bila berada dalam kondisi bagus, ia sangat ditakuti di lapangan. Saya kemudian harus cari pasangan sepeninggal Debby dan akhirnya saya pilih Melati.
Selain itu saya juga dapat pasangan Hafiz/Gloria untuk saat ini.
Pernah ada tawaran dari luar negeri?Sempat ada, misal dari Reony Mainaky yang lama di Jepang. Orang Jepang sempat tanya pada Reony, kapan saya berhenti dari Indonesia. Namun saya rasa orang luar juga tak mau memberi tawaran karena ganda campuran Indonesia sedang jadi andalan. Biasanya pelatih Indonesia yang ditarik luar negeri adalah yang sudah berhenti.
Saya juga sudah memberi penegasan bahwa saya tak punya keinginan dan kepikiran untuk melatih di luar negeri. Saya lebih senang di sini.
Pernah bertengkar dengan pemain?Tidak pernah, kalau melakukan tindakan tegas, peringatan pada atlet pernah. Saya punya prinsip, jangan sampai tindakan seorang pelatih membuat atlet takut.
Atlet harus percaya pada kita, tunduk, dan segan. Namun jangan sampai takut pada pelatih karena nanti mereka tak akan berkembang. Saya tak pernah berusaha jadi pelatih yang ditakuti karena itu merupakan kesalahan besar bagi seorang pelatih.
Sebagai pelatih ganda campuran, secara umum lebih sulit melatih pemain putra atau putri?Sama saja. Namun cowok, lebih cenderung pada ego sedangkan cewek lebih ke perasaan.
Apakah anda merasa jadi pembuka jalan kesuksesan keluarga Mainaky di badminton?Dengan orang tua hanya pegawai negeri, maka perjuangan kami berat. Motivasi papa saya itu terlihat dengan upaya memberi raket satu buah saat saya ingin berangkat di airport. Hal itu yang menjadi motivasi saya untuk habis-habisan di Jakarta.
Setelah saya berhasil menembus persaingan di Jakarta, saya ikut membagi program latihan yang tidak ada di Ternate. Dari situ saya sadar pantas bahwa orang daerah seperti kita [keluarga Mainaky] ketinggalan. Saya selalu kirim pola latihan setelah itu. Setelah saya berhasil menembus pelatnas, baru muncul keyakinan bahwa adik saya bisa. Reony, Rexy, lalu Marleve yang kemudian menyusul.
 Richard Mainaky tidak punya keinginan untuk melatih di luar negeri. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean) |
Anda mengubah status dan popularitas ganda campuran dalam dua dekade terakhir. Bagaimana komentar Anda?Saya bangga bahwa kepercayaan Koh Chris kepada saya, bisa saya jawab. Banyak yang membantu saya atas pencapaian selama ini, bukan hasil kerja keras saya sendiri. Saya bersyukur dikasih kesempatan dan kepercayaan dari Koh Chris dan bisa saya buktikan.
Selain itu tentu dukungan dari istri dan keluarga saya. Keberhasilan saya mencetak pemain-pemain level dunia juga karena dukungan istri saya. Isteri saya selalu mendukung dengan tiap pagi bangun di pukul 04.30 WIB lalu menyiapkan sarapan.
Istri saya menunggu saya pulang malam lalu menyiapkan makan malam. Hal itu terus dilakukan dari tahun 1997 hingga sekarang. Saya bilang istri saya adalah salah satu aktor di belakang layar, luar biasa pengorbanan istri saya. Anak saya juga tidak menuntut untuk dilatih padahal anak saya juga hobi badminton dan punya bakat.
(ptr/ptr)