Jakarta, CNN Indonesia -- Federasi Badminton Dunia (
BWF) sudah menyusun kalender
badminton untuk paruh akhir 2020. Berikut tantangan yang bakal dihadapi BWF dan panitia lokal tiap negara untuk menyelenggarakan pertandingan.
Pada bulan Agustus, Hyderabad Open dan China Master Super 100 jadi agenda awal dari seri turnamen BWF. Setelah itu jadwal turnamen makin padat memasuki bulan September, Oktober, November, hingga Desember.
Berikut sejumlah tantangan yang dihadapi oleh BWF untuk menyusul sejumlah kompetisi olahraga lain seperti Bundesliga dan UFC yang sudah lebih dulu menggelar roda kompetisi:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Izin Tiap NegaraTurnamen badminton BWF berbeda dengan Bundesliga. Penerapan Bundesliga lebih mudah dari segi izin lantaran itu merupakan kompetisi domestik. Ketika pihak berwenang termasuk pihak kesehatan sudah memberikan izin, mereka bisa berjalan.
Sementara untuk turnamen BWF, BWF harus bisa menunggu izin tiap negara untuk memperbolehkan panitia setempat menggelar pertandingan. Hal ini akan sulit bagi BWF dan panitia setempat lantaran pengurusan izin butuh proses dan peninjauan berkali-kali sebelum izin tersebut tembus.
Kesulitan soal izin makin mendapat ujian ketika turnamen badminton BWF memiliki jadwal padat. Dalam rilis BWF, jadwal turnamen yang dijadwalkan bakal berlangsung padat.
 Piala Thomas-Uber termasuk turnamen yang bakal digelar di 2020. ( JOHANNES EISELE / AFP) |
Misal Korea Open, China Open, dan Japan Open bakal berlangsung tiga minggu beruntun mulai 8 September hingga 27 September. Sulit bagi tiap negara untuk langsung memberikan izin mengingat tiap atlet berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Salah satu kompetisi yang serupa dengan turnamen badminton BWF adalah MotoGP. Sejauh ini MotoGP belum terlaksana dan dalam kabar terakhir Inggris memilih untuk tidak menggelar MotoGP Inggris tahun ini. Seiring dengan banyaknya penundaan dan pembatalan, MotoGP 2020 belum berjalan saat ini.
2. Ratusan Peserta TerlibatUFC sudah menyelenggarakan pertarungan yang melibatkan banyak petarung dari berbagai negara. Namun jumlah petarung yang terlibat hanya sekitar 20-30 orang. Sedangkan untuk turnamen badminton, peserta bakal mencapai lebih dari 200 orang.
Bila berhitung tiap nomor diikuti 32 orang untuk nomor tunggal dan 64 orang untuk nomor ganda, bakal ada 256 atlet yang terlibat. Belum lagi bila menghitung jumlah pelatih hingga ofisial pertandingan.
Meski badminton bukan olahraga kontak sehingga risiko penularan saat pertandingan berlangsung kecil, jumlah atlet yang hadir di saat bersamaan di satu arena pertandingan memiliki risiko penularan yang besar.
Social distancing harus diterapkan dengan baik namun hal ini terbilang sulit mengingat jadwal turnamen badminton sangat padat, terutama di babak pertama.
 BWF perlu menerapkan protokol kesehatan ketat karena ratusan atlet berkumpul. (AP Photo/Aaron Favila) |
Protokol kesehatan yang diterapkan tentu harus lebih ketat dengan pemeriksaan berlapis dan berkala. UFC sendiri bahkan menggelar tes PCR hingga empat kali sebelum ajang tersebut digelar.
Hal tersebut mungkin bisa diakali oleh BWF dan panitia lokal dengan menyiapkan lebih dari satu venue sehingga jumlah atlet yang hadir dalam satu arena yang sama bisa berkurang. Lantaran kemungkinan turnamen tanpa penonton, tentu ukuran venue yang kecil dari standar tidak akan menjadi kendala.
3. Tak Dihitung Poin OlimpiadeSalah satu tantangan lain adalah turnamen-turnamen yang ada di paruh kedua kompetisi tahun ini adalah turnamen-turnamen yang diselenggarakan tidak masuk dalam perhitungan poin menuju Olimpiade.
Hal itu mengurangi urgensi pemain untuk ikut turnamen dalam paruh akhir kompetisi tahun ini. Dengan jadwal yang padat, muncul kemungkinan tiap atlet bakal selektif memilih turnamen lantaran tak ingin mengalami cedera jelang Olimpiade tahun depan.
(ptr)
[Gambas:Video CNN]