Jakarta, CNN Indonesia -- Saya ingat. Hari itu pertama kali saya meninggalkan rumah, meninggalkan Desa Selandaka, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, tempat saya lahir dan tumbuh besar. Saat itu saya masih SMP, usia 15 di 2002. Saya harus merantau ke Tangerang.
Menjalani perantauan, tentu tegang, bimbang, karena saya masih kecil. Saya berpikir dan membayangkan harus tinggal sendiri di sana.
Sebelum berangkat, ibu berpesan pada saya:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Walaupun sudah sukses di badminton, jangan lupakan salat, jangan lupakan agama. Hal itu jangan sampai ditinggalkan."
Begitu kata ibu. Ibu lalu mengingatkan satu hal pada saya:
"Wi, ingat, bapak itu dulu di Mekkah, tiap malam selalu mendoakan agar kamu jadi juara dunia. Jadi kamu harus bisa jadi juara dunia."
Akhirnya saya berangkat bersama bapak dan satu saudara saya yang lain yang ikut mengantar. Kami naik bus biasa, bukan yang bagus, meskipun bapak sebenarnya termasuk orang yang cukup mampu. Bapak memang selalu ingin mengajarkan kesederhanaan pada anak-anaknya.
Di dalam bus saya lebih banyak diam. Saya masih berpikir tentang kemampuan saya untuk bermain di Tangerang bersama Argo Pantes. Bisa atau tidak ya? Begitu pikir saya.
 Tontowi Ahmad memutuskan pergi dari Banyumas pada usia 15 tahun. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman) |
Sampai pada akhirnya terjadi insiden di jalan karena bus mogok, kepanasan, dan air radiator muncrat ke atas begitu dibuka. Semua penumpang banyak yang berteriak. Maklum waktu itu memang bukan bus yang bagus.
Hahaha..Satu tahun di Tangerang, saya ditawari oleh beberapa klub, termasuk Jaya Raya dan Mutiara Bandung. Saya sempat latihan di Jaya Raya tetapi tidak sampai satu minggu.
Saat itu saya disuruh datang ke Jaya Raya ikut latihan. Tetapi mungkin saya dianggap agak sedikit nakal, kurang disiplin, dan agak
selengean. Akhirnya saya keluar dan memang saat itu belum sempat ada SK dari Jaya Raya. Lalu dengan ada tawaran dari Mutiara dan Gresik. Saya dan bapak akhirnya memutuskan untuk pergi ke Gresik.
Di Gresik awalnya saya masih main tunggal. Di tunggal belum berprestasi meski sempat juara Kejurda di Jawa Timur. Di tingkat nasional selalu mentok delapan besar.
[Gambas:Video CNN]Di Gresik saya mulai main ganda, berpasangan dengan Teguh Siswanto yang juga pemain tunggal andalan Semen Gresik. Kami dicoba pasangkan di Sirnas Bali. Tetapi karena prioritas Teguh adalah main di nomor tunggal, akhirnya saya tak punya pasangan.
Saya jadi pemain ganda, tetapi tanpa pasangan. Saya sudah mulai luntang-lantung di situ. Umur sudah 17 tahun. Saya lalu berpikir untuk kuliah setelah lulus SMA di Gresik. Saat itu saya benar-benar galau.
Saya akhirnya kuliah di Universitas dr. Soetomo jurusan ekonomi, masuk lewat jalur prestasi. Saya mulai serius kuliah sekitar 1-2 bulan. Saya mulai jarang latihan badminton. Paling hanya pagi atau sore dan seminggu hanya tiga kali latihan.
Kemudian datang tawaran dari Surya Baja untuk jadi
sparring partner. Bukan sebagai atlet, bukan pelatih, tetapi sebagai
sparring partner. Bayaran Rp500 ribu. Karena waktu itu saya sedang dalam kondisi susah dan tak mau merepotkan orang tua, akhirnya saya bersedia jadi
sparring partner.
Saya dapat tawaran itu hari Kamis. Saya lalu bilang ke pelatih di Semen Gresik ingin menyudahi karier sebagai pemain. Saya ingin fokus kuliah dan hanya jadi
sparring partner.
Malamnya saya menelepon ke rumah dan berbicara dengan bapak. Saya berkata bahwa saya tidak bisa lagi melanjutkan cita-cita bapak untuk jadi juara dunia. Saya menelepon sambil menangis.
 Tontowi Ahmad sempat meninggalkan badminton dan fokus kuliah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Bapak lalu berkata pada saya:
"Pokoknya setelah ini kamu salat malam. Kamu berdoa sama Allah. Bila memang ini jalannya, Bapak terima lapang dada. Tetapi kalau kamu ditunjukkan jalan lain, berarti perjalanan kamu belum berakhir di sini.""Mudah-mudahan ada jalan terbaik untuk kamu. Orang tua hanya bisa mendoakan kamu. Coba kamu salat malam dan minta petunjuk."Begitu kata bapak. Saya sudah sangat sedih karena tak bisa mewujudkan harapan bapak. Saya berpikir saat itu memang saya sudah mentok. Namun ternyata esok hari, Koh Yuming (Denny Kantono) menelepon dan menawarkan untuk bergabung ke Djarum. Saya langsung setuju.
Saya langsung bilang ke Gresik. Mas Koko dan Pak Ketut langsung setuju tanpa mempersulit. Saya merasa kayak mendapat jalan karena semuanya lancar.
Di PB Djarum, saya pasangan dengan Syarifuddin dan mulai bisa juara di sirkuit nasional. Saya juga mulai percaya diri karena bermain di klub besar. Di PB Djarum pula saya mulai main di ganda campuran dan sering main rangkap di tiap sirkuit nasional.
Ikut seleknas di dua nomor, ganda putra dan ganda campuran, saya meraih hasil bagus. Di nomor ganda putra, saya peringkat ketiga sedangkan di ganda campuran saya posisi pertama.
Saya pulang ke PB Djarum dengan penuh percaya diri. Ternyata, begitu lihat pengumuman di koran, nama saya tidak ada. Saya langsung frustrasi saat itu. PB Djarum lalu mempertanyakan kenapa saya tidak masuk pelatnas padahal hasil seleknas saya bagus dan akhirnya saya bisa masuk pelatnas.
Tahun-tahun awal karier saya terbilang berat meski saya bisa jadi juara setiap tahun dengan pasangan yang berbeda-beda, baik saat bersama Yulianti, Richi Puspita Dili, Shendy Puspa Irawati, dan Greysia Polii.
Di 2010 saat Kak Richard ingin mencari pasangan Ci Butet, saya sama sekali tak menduga dan tak mengira bisa jadi salah satu calon. Masih banyak senior di atas saya, mulai Devin Lahardi, Muhammad Rijal, dan Fran Kurniawan. Mungkin saya pilihan terakhir karena lebih banyak yang senior.
Saat itu saya sudah mulai pasangan dengan Greysia Polii di Indonesia Open. Sebenarnya saya dan Greys sudah ada obrolan untuk melanjutkan. Saya belum ada pikiran untuk pasangan dengan Ci Butet. Ketinggian menurut saya. Tak mungkin bagi saya karena masih banyak yang senior. Makanya saat itu ada obrolan untuk duet dengan Greysia di ganda campuran.
Waktu itu Greysia sepertinya mau karena hasil kami lumayan. Saat saya mau bilang serius untuk pasangan dengan Greysia, Kak Richard tidak memberikan persetujuan.
"Kamu mau saya pasangkan dengan Ci Butet". Begitu kata Kak Richard. Saya tentu kaget.
 Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir mulai berduet sejak 2010. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman) |
Sejujurnya sebelum pasangan dengan Ci Butet, saya sering ceplas-ceplos ke teman saya, Si Bule, Andrei Adistia. Saya berkomentar ketika melihat Ci Butet kalah saat berpasangan dengan pemain lain.
"Yailah, kalau gua partner sama Ci Butet, semua gua bantai."Begitu dapat kesempatan berangkat ke Makau, saya memiliki ambisi besar. Walaupun ada rasa tegang, rasa cuek saya lebih tinggi. Saya main dan berhasil juara. Mungkin karena sebelum pasangan saya sudah sangat yakin.
Gagal di Olimpiade, Lunasi Cita-Cita Juara DuniaSampai awal 2012, saya masih lebih banyak tampil lepas dan cuek saat berpasangan dengan Ci Butet. Seperti ketika tampil di final All England 2012, saya justru sangat antusias dan tak memiliki rasa tegang.
Saya benar-benar menunggu partai tersebut. Begitu kami menang, perasaan saya terbilang biasa. Ya sudah, kami juara All England. Justru kami tidak menyangka dengan penyambutan yang luar biasa saat tiba di Indonesia.
Setelah itu, suasana mulai berubah bagi saya dan mencapai puncaknya di Olimpiade 2012. Kalah di Olimpiade 2012, dunia rasanya mau kiamat. Bayangkan saja, tumpuan ada di kami. Ambisi saya sudah besar. Beban benar-benar berada di saya. Semua salah, pasti saya. Kalah, juga karena saya.
Mungkin Ci Butet waktu itu juga kecewa sama diri sendiri karena tidak mendapat medali emas Olimpiade. Tetapi dia tidak mendapatkan serangan. Sementara, untuk saya, serangan kritik berasal dari mana-mana.
Setelah kalah tidak ada evaluasi apapun. Hanya ada
briefing yang menyatakan bahwa Indonesia sudah gagal mempertahankan tradisi emas Olimpiade. Hal tersebut membuat saya
down.
Saya tak bisa tidur malam itu. Sempat buka media sosial. Banyak serangan pada saya, termasuk Michi [istri, ketika itu masih menjadi kekasih] yang saat itu juga jadi kambing hitam. Saya benar-benar sudah hancur saat itu. Seolah tak ada gairah hidup lagi.
 Tontowi/Liliyana mengalami kekecewaan besar ketika gagal merebut emas Olimpiade 2012. ( ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf) |
Setelah kalah besoknya kami main untuk perebutan perunggu. Malamnya saya tak bisa tidur. Padahal semifinal dimainkan malam hari dan perebutan perunggu main di pagi hari. Ya sudah kami benar-benar tidak bisa main sama sekali.
Saya mulai bisa melupakan kegagalan di Olimpiade 2012 di awal 2013. Kami berhasil mempertahankan gelar juara All England. Karena kami sudah berhasil mendapat gelar All England di tahun sebelumnya, saya lebih menikmati dan lebih rileks. Akhirnya kami berhasil jadi juara.
Salah satu pencapaian terbaik kami di 2013 adalah menjadi juara di Kejuaraan Dunia. Berbicara Kejuaraan Dunia 2013, bagi saya tak bisa lepas dari kegagalan di Kejuaraan Dunia 2011.
Seperti saya katakan sebelumnya, bapak selalu mendoakan saya agar jadi juara dunia. Pada 2011, meski kami baru satu tahun berpasangan, saya sempat berpikir bahwa ini adalah saatnya doa bapak saya terwujud. Soalnya jalan yang kami lalui sangat mulus sampai semifinal.
Tetapi tiba-tiba di semifinal kalah oleh lawan yang tak diduga, Chris Adcock/Imogen Bankier. Kekalahan itu membuat kecewa. Ternyata doa bapak tidak terwujud saat itu.
Saat saya kembali tampil di Kejuaraan Dunia 2013, saya kembali kepikiran hal itu. Namun saya tak mau lagi terlalu sombong dan takabur. Tetapi ketika kami lolos ke final dan tertinggal 18-20, saya kembali berpikir bahwa doa bapak tak lagi terkabul saat ini.
Saya bergumam,
"Apakah bukan sekarang waktunya doa itu terwujud? Tetapi kalau bukan sekarang kapan lagi?"Ternyata tiba-tiba setelah itu, saya main seolah tidak merasakan apa-apa. Deg. 19-20. Deg. 20-20. Deg. 21-20. Saya seolah mendapat tenaga ekstra. Saya tak lagi merasa tegang. Percaya atau tidak, saya tidak merasakan poin demi poin yang didapat saat itu. Semua seperti berlalu begitu saja.
Saat kami dapat
match point, saya justru sudah yakin bisa jadi juara dan akhirnya kami jadi juara dunia. Saya akhirnya berhasil mewujudkan cita-cita bapak. Setelah pertandingan, saya langsung telepon bapak.
"Pak, Owi juara," begitu kata saya.
"Hebat kamu." Itu kata bapak di seberang telepon.
 Tontowi Ahmad dan kedua orang tuanya, M. Husni Muzaitun dan Masruroh.(CNN Indonesia/Putra Tegar) |
Sebelum itu bapak tidak pernah memuji saya meski saya jadi juara di berbagai turnamen. Misal saya juara di India, bapak biasanya bilang,
"Ah, terang aja juara, tidak ada musuhnya."Barulah setelah juara dunia 2013, bapak bilang selamat jadi juara dunia. Perasaan saya benar-benar lega karena bisa mewujudkan cita-cita orang tua. Saya sangat puas. Doa saya jadi juara dunia itu doa orang tua saya dari kecil.
Sejak saya merantau harapan bapak adalah ingin melihat saya jadi juara dunia. Bahkan mungkin harapan untuk melihat saya juara Olimpiade itu tidak ada, atau baru dipikirkan belakangan. Sejak kecil doa bapak itu selalu ingin melihat saya juara dunia.
Awal 2014 banyak pembicaraan tentang kemungkinan Owi/Butet bisa hattrick di All England. Saya sama sekali tidak terbebani dengan hal itu. Justru yang menarik adalah, saya sempat bermimpi jadi juara All England sebelum berangkat.
Seminggu sebelum berangkat, saya mimpi jadi juara All England. Pas bangun, oh ternyata saya belum juara, tetapi rasanya benar-benar seperti sudah juara. All England 2014 kemudian terasa cepat bagi saya. Saya bisa menang dan bermain tanpa ketegangan, bahkan saat menghadapi pertandingan yabng ramai.
Ketika kami akhirnya juara, saya benar-benar seperti sudah mengalami perasaan seperti itu karena sebelumnya sudah pernah bermimpi.
Perjalanan saya dan Ci Butet cukup bagus di 2014 sampai akhirnya tiba di final Asian Games. Sebelum menjejakkan kaki di final, persiapan kami benar-benar bagus, badan benar-benar fit. Kami sudah benar-benar siap
Namun ada miskomunikasi di final Asian Games. Saat itu saya gagal melakukan smes dan sepertinya ada masukan dari Ci Butet yang tidak pas menurut saya. Dari situ saya memberontak. Harusnya saya tidak boleh seperti itu.
Itu salah saya. Padahal di awal final kami main normal dan bagus. Saya memberontak, coba membuktikan, malah musuh kami Zhang Nan/Zhao Yunlei justru dapat poin terus. Permainan kami rusak dan saya makin tak bisa bermain. Mental saya benar-benar terpengaruh.
Setelah kalah di final Asian Games 2014, hubungan kami seperti yang dikatakan Ci Butet. Damai tapi gersang. Seperti tidak ada apa-apa tetapi ada yang mengganjal dalam hati.
Sebenarnya di 2015, kami masih rutin masuk semifinal dan final, meski memang gagal juara. Kami hanya beberapa kali kalah di babak perempat final. Kami sering kalah dari Zhang Nan/Zhao Yunlei di masa itu karena komunikasi kami jarang.
Kalau lawan musuh lain, tanpa komunikasi pun kami bisa menang. Kalau lawan Zhang Nan/Zhao Yunlei, kami butuh segalanya untuk bisa menang. Bila hanya mengandalkan teknik tanpa komunikasi, berat untuk mengalahkan Zhang Nan/Zhao Yunlei.
 Tontowi Ahmad mengakui salah satu kesalahan terbesarnya adalah saat tak harmonis dengan Liliyana Natsir sejak final Asian Games 2014. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Ketika kami kalah dari Zhang Nan/Zhao Yunlei di semifinal Kejuaraan Dunia 2015 di Jakarta, saya kembali jadi kambing hitam. Posisi saya saat itu sedang ada pemberontakan dalam hati saya. Saya cuek saja. Saya berpikir mau bagaimana lagi. Walaupun orang menyerang saya, saya hanya berpikir itu terserah mereka.
Yang terpenting saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Masa bodo walaupun mereka menekan saya. Hal itu justru membuat perasaan memberontak muncul dalam diri saya.
Puncak kontroversi di 2015 itu saat persiapan menuju China dan Hong Kong. Saya duduk bertiga bersama Ci Butet dan Kak Richard. Saya dan Ci Butet sudah memutuskan sama-sama ingin ganti partner.
Kami sampai pada kesepakatan bahwa bila memang ganti partner adalah yang terbaik. Di momen itu, peran Kak Richard sangat besar. Kak Richard mengingatkan bahwa tidak boleh ada perpecahan di antara kami.
Bagi Kak Richard, kami berdua hanya tinggal perlu memandang Olimpiade. Sementara kami masih bertahan dengan ego masing-masing. Dalam pikiran saya, bila Ci Butet sudah tak mau pasangan, ya sudah buat apa. Saat itu kami benar-benar sudah jarang berkomunikasi. Mungkin saat itu Ci Butet juga sudah kesal banget kali kalau lihat saya.
Setelah Hong Kong Open, Ci Butet menghampiri saya yang sedang berlatih di ruang gym. Dalam hati saya, saya berkata Ci Butet mau apa, karena sebelumya sudah tidak mengobrol dengan saya.
Saya cuek saja, tetapi tidak ada dendam atau kesal yang berlebihan. Namun ternyata Ci Butet bilang,
"Wi, bagaimana kalau kita fokus menatap Olimpiade?"Ucapan Ci Butet itu langsung meredam ego saya. Saya langsung merasa legowo tidak ada lagi rasa kesal. Bagaimanapun, Ci Butet adalah senior saya, panutan saya. Saya tak bisa melawan itu. Begitu Ci Butet bilang begitu, saya langsung merasa plong. Hilang semua perasaan kesal.
"Oh ternyata Ci Butet membutuhkan saya. Berarti Ci Butet membutuhkan saya." Begitu pikir saya dalam hati.
Di 2016 sudah tidak ada masalah komunikasi di antara kami. Kekalahan hanya karena masalah teknis. Setelah komunikasi bagus, kami bisa kembali juara di Malaysia Open 2016.
Namun kami kalah di Indonesia Open. Sejujurnya, saat itu saya bertanding dengan kondisi demam dan diare. Saya main dengan kondisi shuttlecock tak kelihatan.
 Zhang Nan/Zhao Yunlei sering mengalahkan Tontowi/Liliyana di 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Setelah bertanding di Australia, kami langsung melakukan persiapan Olimpiade. Dalam waktu satu bulan, kami masih beberapa kali kalah dalam masa persiapan sampai akhirnya tiba kami menjalani training camp di Kudus. Di Kudus kami bertemu dan berbagi cerita dengan Koh Christian Hadinata.
Koh Chris memberi banyak nasihat dan salah satu yang paling mengena di hati adalah saat Koh Chris berkata:
"Kalian di lapangan membutuhkan chemistry. Kalian belahan jiwa di lapangan. Apapun yang terjadi di lapangan, itu seperti berumah tangga."Mata kami langsung terbuka dan meyakini mungkin selama ini ada yang salah. Selama ini mungkin bila Tontowi yang salah, itu hanya salah Tontowi. Bila Ci Butet yang salah, itu salah Ci Butet.
Harusnya pola pikirnya adalah bila Ci butet salah, berarti itu salah saya juga karena mungkin pukulan saya sebelumnya tidak tepat. Dari situ kami sama-sama belajar.
Sejak saat itu kami hampir tidak pernah kalah dalam masa persiapan hingga Olimpiade, baik saat latihan 2 vs 3 atau saat diadu dengan ganda putra.
Di Olimpiade kami benar-benar berada dalam kondisi o
n fire. Semua berjalan lancar meski sempat tegang. Setelah menang di semifinal, saya beruntung ada jeda satu hari.
Saya tak bisa tidur selepas semifinal sampai saya telepon istri meminta ditemani hingga mengantuk. Saya bersyukur istri saya adalah sosok yang bisa meredam semua pikiran yang melintas di kepala saya. Dia bilang saya untuk tenang.
Istri saya akhirnya menunggu saya untuk tidur sampai akhirnya saya tertidur dengan kondisi telepon masih menyala.
Malam sebelum final saya sudah punya strategi dan belajar dari pengalaman. Saya tak mau lagi berangkat tidur pukul sembilan. Setelah salat Isya, saya langsung berangkat tidur pukul tujuh. Meski sulit tidur, saya akhirnya bisa terpejam sekitar pukul 10-11, berbeda dengan hari sebelumnya.
Kemenangan di Olimpiade sungguh luar biasa. Penyambutan luar biasa, kami diminta wawancara live di banyak tempat. Belum lagi bila memikirkan bonus yang diterima. Kami senang sekali. Bangga sekali karena akhirnya bisa mendapatkan emas Olimpiade.
Dalam keberhasilan meraih emas Olimpiade tersebut, saya sempat bilang ke Ci Butet:
"Thank you yaa Ci, sudah kasih medali emas Olimpiade untuk saya."Biasanya dia cuma bilang,
"Sama-sama."Namun saat itu jawabannya mengejutkan.
"Gua juga terima kasih Wi. Elu gak perlu terima kasih sama gua. Elu dapat emas, gua juga dapat emas. Kita sama-sama berjuang." Begitu kata Ci Butet.
Mungkin pembelajaran di 2015 yang membuat kami saling mengerti satu sama lain, lebih menghargai satu sama lain.
 Arak-arakan usai Tontowi/Liliyana menjadi juara Olimpiade. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Keputusan PensiunSetelah Olimpiade sebenarnya saya sudah tak punya pemikiran apa-apa. Saya sudah dapat tujuan utama dan merasa tinggal menjalani lanjutan karier saya.
Kenapa saya tak mau lepas dari Ci Butet? Saya berpikir kalau sudah ada yang gampang, untuk apa cari yang susah.
Saya sendiri sudah tak ada pemikiran soal Olimpiade 2020 karena masih jauh. Saya berpikir agak berat ke Olimpiade dan saya sudah pernah merasakan medali emas. Jadi saya berpikir tetap bersama Ci Butet karena dari segi manapun lebih enak sama Ci Butet.
Berpasangan dengan Ci Butet, kami tak menyangka bisa jadi juara dunia di 2017. Kami benar-benar sudah tak mengalami ketegangan. Salah satu target Tontowi/Liliyana setelah Olimpiade adalah emas Asian Games. Kami sudah berusaha namun hal itu akhirnya jadi salah satu gelar yang meleset. Saya ingin dapat itu, namun musuh saat itu sudah muda, lebih cepat, dan kami harus sadar diri.
 Setahun usai juara Olimpiade, Tontowi/Liliyana merebut gelar juara dunia. (AFP PHOTO / ANDY BUCHANAN) |
Sebenarnya, pada awalnya saya ingin pensiun bersama Ci Butet di 2019. Saat itu saya juga sebenarnya sudah ingin pensiun. Saya merasa sudah cukup. Setelah akhirnya saya terus melanjutkan perjalanan, saya merasa waktu bersama keluarga makin jarang. Terakhir saya benar-benar jenuh sekali karena mengikuti banyak turnamen.
Saya berpikir buat apa saya begini, saya sudah dapat semua yang diinginkan. Waktu sama keluarga justru tidak ada. Saya lalu bercerita pada Istri dan keluarga tentang keinginan pensiun.
Salah satu alasan saya main badminton adalah karena dukungan dari orang tua, istri, dan keluarga. Dari diri saya sendiri, saya sudah siap pensiun. Ketika istri dan orang tua mendukung untuk pensiun, ya sudah, saya lega.
Saya berkata pada Kak Richard tentang pensiun. Saya bilang bahwa perjalanan saya sudah cukup dan poin ke Olimpiade pun tak lagi terkejar. Kak Richard bilang saya pantas bila ingin pensiun karena sudah mendapatkan semuanya. Ci Butet juga mendukung keinginan saya untuk pensiun. Terkait status magang, andai status saya adalah pelatnas utama, itu pun belum tentu saya main lagi. Itu bukan alasan utama saya pensiun.
Meski masih bisa mendapat materi dengan relatif lebih mudah dari badminton sampai dua tahun ke depan, pertimbangan saya adalah usia yang tak lagi muda dan saya tak mau terus berada di zona nyaman. Itulah pertimbangan lain saya pensiun di luar waktu untuk keluarga.
 Tontowi Ahmad merasa jenuh dengan badminton dan ingin memiliki waktu dengan keluarga lebih banyak plus ingin memulai aktivitas di dunia baru. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni) |
Mungkin bila saya bertahan dua tahun ke depan di dunia badminton, saya bisa mendapatkan uang dalam nominal sekian. Namun bila saya pensiun dan memulai dunia baru, seperti bisnis, saya punya peluang untuk mendapatkan nominal yang sama, tetapi dari dunia yang berbeda.
Saya tidak mau benar-benar bingung ketika pensiun. Karena itu saat usia saya masih 33, saya pensiun dengan alasan saat ini masih bisa cari pengalaman. Dengan pensiun, saya punya waktu untuk cari pengalaman di dunia bisnis dan dua tahun ke depan tidak lagi bingung karena sudah punya pengalaman.
Menarik diri dari badminton, saya sangat puas dengan pencapaian saya. Saya puas dengan perjalanan karier saya. Apapun yang terjadi, saya anggap sebagai pengalaman hidup saya yang tak bisa kembali dan dilewati lagi.
Pastinya saya sangat bersyukur dengan apa yang sudah saya capai sekarang. Saya sangat bersyukur berada di titik saya saat ini. Tidak ada penyesalan dengan perjuangan kemarin, gagal maupun sukses. Saya sangat bangga dengan pencapaian saya.