Perkenalkan, saya Kurnia Sandy. Mantan kiper era Primavera Indonesia yang sempat melesat, tapi juga pernah jatuh hingga titik terendah dan dihantui rumor mata rabun.
Saya terlahir dari keluarga besar, anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Semula ibu menginginkan saya fokus sekolah dan kelak jadi akademisi. Mungkin dianggap pintar karena sering dapat ranking di kelas.
Ketika anak-anak sekolah dasar seusia saya mulai ikut sekolah sepak bola (SSB), saya malah sibuk les piano menemani kakak perempuan satu-satunya di keluarga kami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan, saya sempat menikmati les piano selama tiga tahun. Tapi, dua abang saya 'meracuni' saya untuk terjun ke dunia sepak bola. "Dari pada les piano mending main bola," kata abang saya saat itu.
Awalnya ngumpet-ngumpet main bola dan hanya sekadar main, hingga akhirnya ketagihan ikut SSB Tugu Muda dan klub S3 (Sport Supaya Sehat) punya Sartono Anwar.
Saya sempat bermain di posisi sayap yang saat itu populer dengan istilah kanan luar. Karena capek harus naik turun di sayap, saya mencoba main jadi kiper atas saran abang-abang saya.
Tanpa sadar kemampuan saya malah menonjol sebagai penjaga gawang. Mungkin karena berani ambil bola dalam situasi apapun di depan gawang.
Di bawah didikan pelatih Firmandoyo dan R Subandi, saya terpilih mewakili Jawa Tengah di Haornas. Tetap merasa bangga meski kalah di perebutan tempat ketiga lawan tim Jakarta.
Setelah pulang seluruh pemain Haornas seleksi Diklat Salatiga. Sangat kaget karena cuma saya yang dipilih dari tim Haornas Jawa Tengah. Saya ingat betul saat itu kelas 1 SMA di tahun 1990.
Tiga tahun digembleng di Diklat Salatiga bersama Kurniawan Dwi Yulianto. Saya dan Kurniawan terpilih skuad timnas pelajar untuk kejuaraan Asia di Colombo, Srilanka, hingga akhirnya kami berdua juga masuk Primavera.
Perjalanan ke Italia sangat panjang. Setelah transit ke Singapura kemudian Amsterdam (Belanda) dan tiba Roma, ternyata kami harus naik pesawat lagi ke Tavarone, Genoa, Italia.
Berlatih dua tahun di Italia (1993-1994) adalah pengalaman paling berharga dalam hidup saya. Di tempat ini kami teredukasi menjaga pola makan bergizi mulai dari karbohidrat, protein, dan nutrisi. Sangat berbeda dengan pola hidup di Indonesia.
Di tahun pertama, kami sempat merasa bosan dengan makanan Italia tapi lama-lama terbiasa. Kami berlatih rutin sesuai dengan program tim muda Sampdoria.
Beradaptasi cuaca jadi lawan terberat kami apalagi jika musim dingin bersalju. Dinginnya ekstrem sekali. Tapi, justru itulah yang harus kami hadapi.
Ketika libur latihan, kami diajak mengunjungi tempat latihan tim-tim Serie A. Saya ingat betul ketika mendapat kesempatan ke markas AC Milan. Saya sempat foto bareng Paolo Maldini. Rasanya gugup sekali seperti orang norak. Boro-boro berani ngobrol, foto bareng saja saya kikuk banget. Hahahaha...
Ada momen tak terlupakan di mana kami pernah nangis bersama-sama karena rindu keluarga. Saat itu bertepatan dengan Hari Raya Lebaran. Kami hanya bisa berkirim surat dan salah satu pemain mendapat kaset yang isinya suara takbiran. Tiba-tiba kami nangis bersama.
Bagaimanapun beratnya, kami mendapat banyak pelajaran berharga dari Italia. Organisasi permainan, mental, adaptasi cuaca, hingga persaudaraan yang erat satu sama lain.
Di tahun kedua saya sempat masuk line up tim Sampdoria di Serie A. Saat itu kiper utama Sampdoria Fabrizio Ferron terkena kartu merah dan penjaga gawang kedua cedera. Maka, saya punya peluang mendampingi kiper ketiga Matteo Sereni sebagai pemain cadangan.
Sayang, kesempatan itu sirna karena PSSI tak bisa memenuhi persyaratan ITC (International Transfer Certificate). Jadi mereka main dengan kiper ketiga dilapisi kiper primavera Sampdoria.
Jujur saya sempat ngambek dengan PSSI saat itu. Masa hal begitu saja enggak bisa diurus. Meski saya kemungkinan besar tidak main, tapi duduk di bangku cadangan dan masuk line up saja kan bisa jadi sejarah untuk Indonesia.
Tapi saya pikir-pikir yo wis, bisa latihan di Italia saja sudah alhamdulillah.
Setelah dua tahun di Italia, sebagian dari kami terpisah ke klub masing-masing. Saya sudah terdaftar di Pelita Jaya dan rutin membela Timnas Indonesia.
Saya pernah mengalami cedera mengerikan saat tampil di laga perdana Grup A Piala Asia pada 4 Desember 1996. Timnas Indonesia menghadapi Kuwait pada laga perdana. Skuat Garuda sempat unggul lewat gol Widodo C Putro dan Ronny Wabia namun akhirnya imbang 2-2.
Di babak kedua, saya terlibat kontak dengan pemain lawan. Wajah saya bercucuran darah karena tertendang kaki pemain Kuwait hingga terpaksa digantikan Hendro Kartiko.
Setelah diperiksa, tulang pipi tepat di bawah mata retak dan terpaksa absen hingga sebulan. Saya tak boleh melakukan gerakan ekstrem dan harus istirahat total selama sebulan. Tapi, setelah itu biasa lagi tidak ada masalah.
Pulih cedera saya kembali ke Sampdoria sebagai kiper keempat pada musim 1996/1997. Saya kesulitan menembus persaingan hingga kemudian Pelita Jaya meminta saya kembali di musim berikutnya.