Dari usia delapan tahun saya sudah menekuni badminton dengan serius. Di Solo saya bisa jadi juara di kategori pemula pada 1979. Di usia 13 saya bisa jadi juara Jawa Tengah.
Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika saya kelas 3 SMP. Di sekolah ada pengumuman sekolah diliburkan, tetapi tiap siswa diminta keluar ke Jl. Slamet Riyadi. Siswa diminta menyambut arak-arakan juara dunia Icuk Sugiarto.
Momen itu benar-benar terngiang-ngiang dalam ingatan saya. Saya sendiri sudah kenal Mas Icuk cukup lama, terutama karena Mas Icuk berteman dengan kakak saya dan kenal keluarga saya. Di PB Abadi, saya juga sudah sering melihat Mas Icuk meski usia kami terpaut jauh. Saya masih anak-anak, dia sudah dewasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat memenangi Wali Kota Cup, salah satu pencari bakat bernama Slamet Rudiyanto melihat saya. Saya ditawari pindah ke Jakarta untuk bergabung dengan Tangkas. Pelita juga memberi tawaran pada saya, namun akhirnya saya pilih Tangkas.
Di Tangkas prestasi saya tidak sebagus saat saya masih di daerah. Mungkin karena sudah banyak pesaing. Saya sempat mau mundur, bahkan sudah pernah bermain di nomor ganda bersama Herry IP di awal 1985. Kami sempat masuk semifinal di kejuaraan di Surabaya dan Bandung.
Dalam situasi sulit itu, saya mendapat bimbingan dari Hadi Nasri. Mungkin beliau melihat potensi saya masih ada. Dari bimbingan beliau, saya bisa fokus dan ikut seleksi untuk tampil di Indonesia Open.
![]() |
Saya lolos seleksi dan bisa tampil di Indonesia Open. Di Indonesia Open saya mampu mengalahkan Lius Pongoh dan Nick Yates hingga lolos ke perempat final. Prestasi ini yang kemudian mengantar saya masuk ke pelatnas.
Saya terbilang beruntung, mungkin memang itu rezeki saya. Saya punya kesempatan dan hal itu yang kemudian saya manfaatkan. Saat itu sudah ada proyek untuk Olimpiade 1992.
Di pelatnas saya masuk pratama. Meski saya anggota baru, umur saya terbilang sudah agak telat karena menjelang 20 tahun. Pemain lain seperti Ricky Soebagdja yang lebih dulu masuk saat itu masih 16 tahun.
Awalnya, saya masih ada di lapis dua. Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, Hermawan Susanto, Fung Permadi, dan Richard Mainaky masih jadi pemain yang diprioritaskan untuk Olimpiade 1992.
Setelah digembleng tiga bulan, Rudy Hartono yang waktu itu jadi pelatih melihat potensi saya. Akhirnya saya bergabung dengan pemain-pemain lain dan masuk proyeksi untuk Olimpiade 1992.
Menjadi pemain pelatnas tidak berarti segalanya menjadi mudah. Sejak 1985 hingga 1991, saya tidak pernah jadi juara. Bahkan saya sempat dijuluki Mr. Runner Up.
Saya beberapa kali masuk final namun selalu kalah. Benar-benar tidak pernah juara. Tidak ada gelar sama sekali, termasuk dari turnamen kecil.
Akhirnya kebuntuan itu pecah di tahun 1992, tepatnya di turnamen Swiss Open. Saya masuk final bertemu Hariyanto Arbi. Saya pecah telur di turnamen itu dan akhirnya bisa jadi juara.
Dalam kegagalan demi kegagalan itu, saya merasa terlalu memikirkan hasil. Saya terlalu berambisi untuk jadi yang terbaik. Hal itu justru membuat saya tak bisa mengontrol permainan sehingga akhirnya fisik terkuras. Kegagalan demi kegagalan juga membuat trauma kekalahan sering muncul.
Di final Swiss Open, saya mencoba lebih tenang. Saya coba menikmati pertarungan. Saya coba menampilkan hal yang berbeda setelah di turnamen terdahulu saya lebih sering tegang di kamar sebelum final.
Meski tak pernah juara dalam rentang waktu yang lama, peringkat dunia saya bagus dan berada di 10 besar. Saat itu Indonesia diyakini bisa meloloskan tiga wakil ke Olimpiade Barcelona 1992.
Beberapa bulan sebelum Olimpiade, peringkat saya ada di bawah Ardy dan Alan. Sebelum kejuaraan di Jerman dan Belanda, saya nomor tiga.
Kondisi saat itu berbeda dengan sekarang. Peringkat dunia tidak bisa dicek setiap saat seperti saat ini, yang bisa dengan mudah dilihat lewat handphone setiap saat. Saya pikir saat itu sudah lolos ke Olimpiade dan tidak berangkat ke Jerman dan Belanda.
Hermawan berangkat ke turnamen itu dan mendapat hasil bagus. Posisi saya akhirnya tergeser oleh Hermawan.
Tentu sedih juga karena tiap pemain ingin tampil di Olimpiade. Saya mendapat masukan dan semangat dari orang tua, pelatih, dan mantan pelatih. Intinya, saya tidak boleh kehilangan motivasi hanya karena kejadian ini.
Saya lalu berpikir bahwa hal ini sudah terjadi. Saya tak berpikir untuk menyerah dan pensiun karena saya sudah merasakan nikmat berdiri di podium tertinggi. Saya ingin mengulangi hal itu.
Setelah gagal lolos ke Olimpiade, saya berlatih lebih keras. Setelah Subuh saya mulai latihan, entah itu latihan lari atau footwork. Hari Kamis dan Minggu saat latihan libur saya pergunakan untuk memperkuat otot kaki dan otot perut. Bagi saya yang terpenting menambah jam latihan dari latihan reguler yang didapat.
Saya bisa jadi juara Badminton World Cup 1992. Di final saya mengalahkan Hermawan. Saya ingin menunjukkan bahwa saya juga bisa berprestasi di turnamen besar seperti Badminton World Cup.
Jangan lewatkan cerita Joko Supriyanto merasa telat matang di badminton pada halaman kedua.