Jakarta, CNN Indonesia --
Saya dibesarkan di keluarga yang mencintai olahraga dari pasangan Jantje Rudolf Mainaky dan Venna Mainaky. Papa adalah sosok yang gemar olahraga. Karena itu beliau juga menekankan pada anak-anak untuk berolahraga apa saja. Papa dan Mama mengarahkan kami untuk berolahraga agar kami tidak salah arah.
Di lingkungan kami, banyak anak muda suka minum minuman keras. Kalau sudah minum, mabuk, dan akhirnya ribut. Papa tak mau kami jadi seperti itu. Orang tua tidak mau kami kehilangan arah.
Di badminton kami sudah diajarkan memegang raket dengan benar dan cara memukul. Di antara kami, Richard dan Rionny adalah anak yang benar-benar lebih dulu serius menekuni badminton. Saat itu, saya masih lebih banyak menghabiskan waktu di luar lapangan badminton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jelas saat itu saya tidak terpikir impian ingin jadi seperti siapa, memiliki mimpi seperti apa. Meski saya nonton Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat, dan Christian Hadinata, saya hanya menonton saja. Tidak ada antusiasme di dalam diri.
Namun bila saya menonton Piala Dunia, antusiasme dalam diri saya justru terasa. Hal itu terbawa saat bermain, saya bisa membayangkan ingin jadi pemain level dunia.
Saya memang tetap menemani Richard dan Rionny latihan. Misalnya saya diminta untuk membantu latihan bertahan dengan cara melakukan smes. Saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Saya melompat tinggi dan melakukan smes. Tetapi saat diminta melakukan itu selama 10 menit, begitu 10 menit selesai, saya langsung pergi main sepak bola.
 Cinta pertama Rexy Mainaky bukan pada badminton melainkan sepak bola. Ia bisa sangat antusias bermain dan menonton laga Piala Dunia. (AFP/AMIN) |
Kalau malam tiba saya lebih suka melihat Rionny dan Richard bermain badminton bersama teman-teman di lapangan belakang rumah. Saya baru bermain kalau orangnya kurang. Kalau orangnya lengkap, saya hanya menonton mereka main. Bila saya main, saya bakal dibuat jadi bahan guyonan di lapangan.
Suatu waktu, Papa saya masuk kamar dan menjanjikan untuk memberikan hadiah bila saya berhasil masuk peringkat 10 besar.
Saya belajar dengan serius dan berhasil masuk 10 besar. Papa pikir saya akan meminta raket, ternyata saya meminta sepatu sepak bola dan kaos kaki. Dengan status sebagai pegawai negeri biasa, papa mewujudkan harapan saya dengan menelepon ke toko olahraga dan saya disuruh ambil hadiah tersebut. Papa saya mengutang dan baru dibayar ketika akhir bulan tiba.
Perkembangan di sepak bola juga sebenarnya tidak mengarah ke level yang serius. Saya memang ikut kompetisi antardaerah, namun kondisinya sulit. Papa saya tak mau saya terus berada di situasi seperti itu. Papa lalu berbicara pada saya.
"Di sepak bola, bila ada 11 pemain belum tentu juara. Kalau tim kompak bakal jadi bagus, tetapi bila tidak kompak bakal kacau balau."
"Sedangkan di badminton, sudah tercatat nama Rudy Hartono, Liem Swie King, Tan Joe Hok. Kalau kamu bisa jadi juara nasional di badminton, kamu punya kemungkinan untuk jadi juara dunia. Karena badminton Indonesia sudah dikenal dunia."
Begitu kata Papa saya. Papa saya juga tidak langsung menuntut saya untuk langsung memberi keputusan. Namun ternyata tak butuh waktu lama, saya kemudian lebih serius menekuni badminton dan sudah menyerah soal sepak bola. Momen itu terjadi di usia 14 tahun.
Saya lalu ikut seleksi se-Maluku untuk bisa jadi wakil di Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI). Saya berhasil terpilih jadi wakil Maluku untuk POPSI. Di POPSI, saya kalah dari atlet asal Yogyakarta, Surabaya dan akhirnya gagal lolos dari penyisihan grup.
Namun tanpa disangka, Maluku mengirim usulan agar saya bisa berlatih di Sekolah Atlet Ragunan. Mereka ingin saya dibimbing dan dipantau sedangkan soal biaya pembinaan bakal jadi tanggung jawab Maluku.
Dari Ternate, lalu saya terbang ke Ambon. Awalnya, saya disebut hanya perlu menunggu satu bulan sebelum ke Jakarta pada 1985. Namun saya baru berangkat ke Jakarta enam bulan kemudian. Saya merasa rugi karena sekolah saya sempat terlantar.
Saya akhirnya bisa berangkat ke Jakarta. Richard lalu menjemput saya dan kemudian membawa ke Ragunan. Saya berlatih, menunjukkan keseriusan sehingga akhirnya saya bisa menjadi penghuni tetap di Ragunan.
 Setelah serius menekuni badminton, Rexy Mainaky terpilih jadi wakil Maluku di POPSI dan akhirnya masuk Sekolah Atlet Ragunan. (CNN Indonesia/Putra Tegar) |
Di 1986 saya sempat bertemu dan mengalahkan Ricky Soebagdja di Kejurnas. Saat itu Ricky sudah disebut sebagai pemain masa depan. Namun saya tak berhasil jadi juara karena kalah dari Faris/Nunung yang saat itu memang juara di berbagai turnamen.
Setelah itu saya makin semangat latihan. Saya mewakili Indonesia di Kejuaraan Pelajar ASEAN di Singapura. Saya main di tunggal putra dan ganda putra dan berhasil jadi juara. Sayang, tak boleh main di tiga nomor. Kalau boleh, mungkin saya juara juga di ganda campuran hahaha..
Ditempa Keras Ibu Kota, Diabaikan Pelatnas PBSI
Sesudah tamat sekolah, seharusnya saya masuk PB Djarum. Om Darius Pongoh sudah telepon Richard dan meminta saya masuk Djarum. Saya dan Richard sudah hampir sampai di tempat latihan PB Djarum di Petamburan. Kami berdua sudah masuk ke belokan Petamburan lalu Richard ditelepon Om Justian Suhandinata,
"Saya tak mau tahu, adik kamu harus masuk Tangkas," begitu kata Om Justian di telepon.
Akhirnya Richard tak bisa kasih keputusan. Padahal saat itu saya sudah senang banget bisa masuk Djarum. Richard sempat berbicara dengan Om Darius untuk berunding dan di satu sisi Richard terus ditekan sama Om Justian. Ya sudah, saya masuk Tangkas.
Namun ternyata saat masuk Tangkas, tiga tahun saya tidak tinggal di asrama, jadi saya harus tinggal di Depok. Sedangkan latihan di Ancol. Padahal kalau di PB Djarum, saya sudah masuk asrama.
Bayangkan, zaman dulu saya harus naik bus dari Depok menuju tempat latihan di Ancol. Saya berangkat jam 05.00 pagi, dan baru pulang sampai Depok pukul 02.00 dini hari.
Latihan pagi dan sore, dan tiap hari saya harus cari jalan untuk bisa makan karena uang yang saya punya hanya cukup untuk ongkos transportasi. Jadi, makan tinggal menunggu belas kasihan orang.
Puji Tuhan, setiap hari ada saja jalannya. Ada saja pelatih yang bertanya dan mengajak makan.
Tentu kalau tidak makan, saya akan kesulitan di latihan sore. Sedangkan kalau tidak makan lalu lanjut tidak latihan sore, malah saya merasa jadi rugi dua kali karena sudah tidak makan ditambah lagi tidak latihan. Karena itu kalau kebetulan tidak makan, modal nekat saja untuk tetap latihan.
Sampai waktu pulang latihan, kadang saya dan Rionny makan di warung mie rebus pinggir jalan.
"Bang, utang dulu, kalau ada duit baru saya bayar."
Begitu kata saya. Karena sudah lama kenal, jadi saya boleh utang. Yang terpenting bagi saya saat itu adalah makan, tak apa tanpa makan nasi. Terkadang mie rebus itu yang jadi bekal tenaga untuk latihan esok pagi.
Di Depok saya tinggal di rumah saudara dari Papa. Karena menumpang, tentu saya juga harus bantu-bantu. Saya tentu tidak mau hanya numpang tidur, karena itu ikut bantu bersih-bersih. Jadi begitu sampai rumah, saya kadang cuci baju, cuci piring. Terkadang baru selesai jam 04.00 pagi.
 Richard Mainaky lebih dulu lolos jadi pemain pelatnas dan ikut memantau perkembangan Rexy Mainaky. (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama) |
Tidur sebentar lalu berangkat lagi. Mental saya makin terbentuk di momen itu. Saya terus ditempa untuk berjuang dan bisa survive di kondisi yang sulit.
Lucunya selama tiga tahun di luar saya dan Rionny banyak memberikan gelar untuk Tangkas. Sedangkan pemain-pemain yang menghuni asrama justru amburadul.
Kehidupan selama tiga tahun itu benar-benar sulit dan keras. Karena itu ketika saya jadi pemain nasional, lawan siapapun saya tak lagi takut. Latihan sesulit apapun saya jalankan. Saya beranggapan bahwa dalam kehidupan yang sulit pun saya bisa lewati, jadi pada kondisi lain tentu saya bisa bertahan dan tak boleh saya sia-siakan.
Meski berprestasi, saya sempat down dan mau berhenti dari badminton. Saya berkeinginan untuk sekolah lalu pulang kampung. Hal itu terjadi karena saya tidak dipanggil pelatnas, padahal saya sudah juara DKI Jakarta, juara seleksi nasional, tetapi tak juga dipanggil pelatnas.
Saya berpasangan dengan Rionny dan juara seleksi nasional. Tetapi yang dipanggil justru pemain yang hanya sampai delapan besar. Ada sistem like and dislike. Dominasi di PBSI saat itu Pelita Jaya. Pelita Jaya bisa disebut big rival Tangkas. Jadi tentu mana mau mereka bila orang Tangkas lebih banyak masuk pelatnas.
Sistem saat itu tidak adil karena banyak pemain bagus tidak diberi kesempatan. Jadilah Indonesia terpuruk. Cuma ada Eddy Hartono/Gunawan yang bagus di ganda putra.
Pernah di Indonesia Open saya menang atas Fung Permadi. Saat itu saya dijanjikan kalau saya menang lawan Fung, esoknya saya diberi surat masuk pelatnas. Saya menang, namun tidak dipanggil juga.
Suatu hari ada pertandingan di GOR Asia Afrika. Saya berhasil juara di nomor tunggal, ganda, dan ganda campuran. Setelah selesai saya duduk-duduk bersama teman-teman dari Tangkas. Saat itu sudah tak ada lagi pikiran untuk masuk pelatnas.
Dalam pikiran saya, saya hanya ingin menikmati permainan badminton sambil menunggu waktunya pulang kampung.
Sedang asyik ngobrol, Koh Chris lewat di belakang saya.
"Rexy kamu mau masuk pelatnas tidak?" kata Koh Chris saat itu.
Koh Chris adalah idola saya. Waktu beliau bertanya, saya kaget. Saya juga malu lalu berpikir apakah Koh Chris sedang bercanda. Saat itu, M.F Siregar baru menjabat sebagai Ketua Pembinaan dan beliau menunjuk Christian Hadinata sebagai pelatih ganda putra.
"Koh, jangan bercanda. Saya lagi down, dibecandain seperti itu malah tambah down." Begitu balas saya.
"Saya serius ini bertanya. Kamu mau masuk pelatnas tidak? Saya serius, tidak tertawa. Tetapi dengan catatan kamu harus berhenti main tunggal dan juga tidak boleh bermain di ganda campuran."
Itu kata Koh Chris.
 Christian Hadinata meminta Rexy Mainaky masuk pelatnas di saat Rexy sudah mulai melupakan mimpi untuk masuk pelatnas. (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama) |
Lalu dengan pengalaman beberapa kegagalan, saya masih memilih untuk bertahan dan tidak langsung percaya.
"Koh, sudah banyak pelatih yang janji mau bawa saya masuk pelatnas, bahkan saya juara seleknas juga tetap tidak masuk pelatnas. Saya tidak bisa percaya begitu saja. Kalau ada hitam di atas putih, ada surat yang ditandatangani, baru saya percaya."
"Bila surat itu datang, saya janji hanya akan main di ganda putra."
Kalimat itu yang akhirnya saya lontarkan sebagai jawaban. Sejujurnya saat itu saya memang sudah susah untuk percaya soal pelatnas. Ternyata satu minggu kemudian, datang surat ke Tangkas. Surat itu ditandatangani oleh M.F Siregar dan Christian Hadinata.
Apa yang terjadi pada saya sampai saat ini, tentu karena saat itu Christian Hadinata datang menghampiri saya. Kalau Koh Chris tidak datang, mungkin saya bukan juara dunia dan juara Olimpiade.
Saya masuk pelatnas di September 1990. Setahun awal, saya berpasangan dengan Thomas Indratjaya. Ricky saat itu masih berpasangan dengan Richard. Dalam pikiran saya, saya harus berlatih semangat dan tak boleh mengecewakan koh Chris.
Suatu hari saat sedang latihan angkat beban, Koh Chris tanya, "Rexy, kamu mau main Kejuaraan Dunia?"
Saya langsung jawab mau. Siapa yang tidak mau, itu impian semua pemain badminton. Kalau kalah, ya kalah, tinggal latihan lagi.
Ricky dan Richard kemudian pulang dari Polandia dan mereka berhasil jadi juara di sana. Saya dipanggil lagi oleh Koh Chris. Saya ditanya ingin pasangan dengan siapa. Ricky Soebagdja atau Gunawan.
Bersama Ricky, saya merasa lebih bebas, umur tidak beda jauh jadi tidak akan sungkan di lapangan. Sedangkan saat itu Gunawan sudah punya nama besar jadi saya bisa sungkan di lapangan. Dibanding Gunawan saat itu, saya tidak ada apa-apanya. Mungkin saya tidak akan bisa bebas di lapangan bila dipasangkan dengan Gunawan. Akhirnya, saya diputuskan untuk dipasangkan dengan Ricky.
Selama latihan bebas di pelatnas sebelum berpasangan, saya sering berduet dengan Ricky dan sulit dikalahkan. Kami terus menang bahkan bisa menang lawan Eddy Hartono/Gunawan. Begitu dipasangkan kami dikirim ke Amerika Serikat dan Kanada serta bisa masuk final di dua turnamen tersebut.
 Rexy memilih berpasangan dengan Ricky Soebagdja karena merasa seumuran dan tak akan sungkan di lapangan. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Sejak akhir 1992 kemampuan kami mulai terlihat. Kami bisa juara di empat turnamen beruntun, termasuk World Grand Prix Finals. Nama kami mulai dipandang dan diperhitungkan.
Di tengah kegembiraan itu salah satu penyesalan saya adalah tidak bisa ikut Kejuaraan Dunia 1993. Saya jatuh sakit dan tentu tak ada yang bisa dilakukan selain kecewa pada diri sendiri.
Saat itu saya terlalu menggebu-gebu saat latihan sampai lupa menjaga pola makan. Latihan sampai perut lapar, tetapi dipaksa terus. Akhirnya lebih banyak makan mie goreng. Tambah lagi saya senang minum soda tambah susu. Enak sekali rasanya.
Saya mulai merasakan keanehan tiga pekan sebelum berangkat. Badan rasanya kok tidak enak, tidak ada tenaga. Tiap makan selalu muntah. Saya benar-benar harus tiduran dan tak bisa bergerak. Kalau tidur, dalam kondisi mata terpejam, saya gerakan mata ke kanan-kiri pun muntah.
Orang tua saya sampai datang ke Jakarta dan saya dibawa ke dokter untuk dirawat. Namanya juga orang kampung, tidak tahu apa-apa. Saat itu tidak ada ahli gizi. Saya makan, ikut mulut doang. Mulut anak kampung maunya yang sedap saja. Hahahaha..
Desember 1993, Papa saya meninggal. Hal itu membuat saya, Richard, dan Rionny berpikir untuk pensiun dari badminton. Dalam pikiran kami, buat apa main badminton terus kalau Papa sudah tak bisa melihat kami jadi juara.
Selang tiga bulan setelah Papa meninggal, saya dan Ricky bisa masuk final All England. Saat itu saya sudah tak mau main. Susunan final nomor ganda putra ketika itu ditaruh di partai akhir, tanda bahwa laga itu yang paling banyak ditunggu meski final sesama Indonesia melawan Bambang Suprianto/Gunawan.
Orang-orang ingin lihat saya main, tetapi Papa saya sudah tak bisa melihat saya main. Jadi saya main buat siapa? Juara juga percuma karena impian Papa dulu adalah ingin melihat saja jadi juara All England. Di saat saya punya kesempatan, Papa saya malah tak bisa melihat.
All England berlangsung masih dalam rentang tiga bulan sejak Papa saya meninggal. Karena ini kejuaraan besar, saya masih ingin bermain untuk mengamankan gelar juara bagi Indonesia. Ketika final akhirnya mempertemukan sesama pemain Indonesia, saya berpikir, untuk apalagi saya bermain?
Saya merasa tak perlu lagi bermain karena Indonesia sudah aman merebut gelar juara. Kedua, bila saya juara, apa yang bisa saya banggakan. Sebangga-bangganya saya, Papa saya tak bisa lihat saya jadi juara. Jadi, untuk apa?
Akhirnya saya bermain. Tetapi saya sudah tak fokus, tak konsentrasi dan akhirnya kalah. Dalam situasi sulit itu, Mama saya terus memberikan semangat dan motivasi.
"Kalau kamu begini terus, padahal kamu sudah dekat dengan impian lalu kamu sia-siakan, perjuangan Papa bakal ikut sia-sia!'
Itu kata Mama saya. Akhirnya saya bisa bangkit lagi.
 Ricky/Rexy sudah mulai mencuri perhatian sejak akhir 1992 lewat kemenangan di beberapa seri grand prix. (AFP/ANDREW WINNING) |
Momen Emas Olimpiade Atlanta 1996
Dari titik itu saya seolah mendapat tenaga berkali-kali lipat. Ricky/Rexy meraih gelar juara, mendominasi, dan sulit dikalahkan.
Pada Kejuaraan Dunia 1995 pun, saya merasa Ricky/Rexy hanya kesulitan di babak perempat final melawan Par Axelsson/Par Gunnar Jonsson karena gaya main mereka campuran gaya main Asia dan Eropa. Selebihnya, tidak ada masalah.
Saya dan Ricky lolos ke Olimpiade Atlanta 1996 dengan status sebagai unggulan pertama. Saya tak merasa beban, justru merasakan semangat tinggi. Saya yakin permainan kami semakin hari semakin meningkat.
Saya yakin kami lebih matang di Olimpiade 1996 dibandingkan Olimpiade 1992 saat kami kalah dari Park Joo Bong/Kim Moon-soo.
Setiap habis juara, latihan tidak pernah menurun dan justru ditambah. Dengan demikian, saya merasa lebih unggul baik dari segi fisik dan kepercayaan diri. Saya merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan di Olimpiade. Saya benar-benar menikmati dan bisa tetap fokus.
Saya tak merasa Olimpiade berbeda. Bagi saya itu jadi pertandingan biasa. Terbukti dari babak awal hingga semifinal, bagi saya lawannya terbilang gampang.
Tekanan justru baru dirasakan jelang final. Setelah semifinal, ada jeda satu hari dan setiap saya pergi ke manapun di perkampungan atlet Indonesia, pesannya sama.
Orang-orang selalu ngomong, "Harus juara, ya! Selama ini kalian selalu juara jadi sia-sia kalau tidak juara di sini."
Sampai masuk lapangan, kami melewati Pak Bob Hasan. Beliau bilang, "Kamu berdua harus menang ya, yang kasih medali itu nanti saya."
Saya kemudian terpikir andai Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock yang menang, nanti dua bendera Indonesia mengapit bendera Malaysia yang berada di posisi atas.
Kan itu jadi lucu. Jadi beban banyak sekali jelang final. Sebenarnya bukan beban dari lawan, karena saya tidak takut dengan lawan. Kami memang mewaspadai mereka namun tidak takut karena sudah sering menang lawan mereka.
Suasana jelang final yang membuat kami mendapat beban karena kami terus diingatkan untuk tidak gagal. Akhirnya kami kalah di set pertama.
 Ricky/Rexy baru merasakan beban di Olimpiade jelang partai final. (Photo by Toshifumi KITAMURA / AFP) |
Sebelum set kedua, Koh Chris berkata:
"Kalian sudah sampai di final, apa lagi yang dipikirkan? Kalau kalah, kamu berdua sudah kalah di final Olimpiade. Kalau menang, tentu bakal lebih bagus lagi."
"Sudah tak perlu berpikir kalah-menang, berpikir poin per poin saja."
Koh Chris di belakang kami terus kasih semangat sambil berdoa. Saya juga bermain sambil terus berdoa, Ricky juga sambil berdoa. Sebelum servis, Ricky baca 'Bismillah', saya bilang 'Puji Tuhan'. Di dalam permainan, kami mendukung permainan dengan doa masing-masing.
Kami harus menunjukkan bahwa Indonesia negara yang kuat, tak goyah dalam suasana apapun. Dari situ, kami bisa main lepas. Kami unggul 9-1 dan meski tertinggal 9-12 lalu skor sama kuat 12-12, kami tidak goyah. Bola-bola mereka sudah tak lagi menakutkan dalam suasana itu.
Pada set penentuan, kami sudah tambah kuat dan tidak goyah. Akhirnya kami berhasil jadi juara Olimpiade!
Selepas juara Olimpiade, rasanya sudah plong! Kami sudah menjalankan tugas sebagai warga negara dengan baik, bertanggung jawab pada bangsa dan negara. Di ajang besar, Indonesia Raya bisa berkumandang dan saya bersama Ricky bisa membuat suporter di Georgia State University berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Setelah juara Olimpiade kami bersama Koh Chris bebas, belanja, makan-makan, jalan-jalan. Sudah lepas semuanya. Terserah kami mau tidur jam berapa di Atlanta.
Suasana selepas juara Olimpiade tentu berbeda dengan malam hari jelang final. Di malam itu, kami tak bisa tidur karena ada perasaan kesal dan tegang. Kami berharap bisa ditenangkan namun malah jadi terbebani.
Sebagai pemain, saya bisa merasakan gelar juara dunia, juara All England, juara Asian Games, juara Olimpiade, hingga juara Piala Thomas, namun tidak mendapat emas perorangan SEA Games.
Kalau bagi saya, saya melihatnya sebagai lelucon. Saya selalu berkata kalau saya dapat emas SEA Games, bagaimana Yap Kim Hock/Cheah Soon Kit bisa mendapat kebanggaan.
Saat saya melatih di Malaysia, saya bergurau ke mereka dengan bilang kalau saya dapat semua, mereka bakal dapat apa. Mendengar itu, mereka semua tertawa. Secara serius, saya melihat hal itu, tidak mendapat medali emas perorangan SEA Games, bukan sebagai kekurangan. Manusia tak ada yang sempurna.
 Rexy Mainaky pensiun dengan gelar juara Olimpiade, juara dunia, juara All England, juara Asian Games, namun tidak pernah meraih medali emas perorangan SEA Games. (Photo by AMIN / AFP) |
Tak Akrab dengan Ricky
Ricky adalah sosok yang benar-benar memberikan banyak pelajaran pada saya. Banyak masukan yang diberikan Ricky sejak saya fokus menjadi pemain ganda. Dia yang membuat saya mengerti cara bermain di ganda putra.
Secara personal, hubungan kami memang tidak akrab. Saya tipe orang yang lebih suka langsung kembali ke kamar setelah selesai latihan dan makan. Kalau Ricky, dia lebih cocok dengan Richard dalam hubungan pertemanan.
Mereka berdua cocok, sering bersama-sama keluar dari pelatnas untuk jalan-jalan, ngobrol dan lain-lain. Sedangkan bagi saya, ngobrol-ngobrol seperti itu hanya dilakukan saat latihan dan makan. Begitu selesai, saya memilih kembali ke kamar dan beristirahat.
 Ricky dan Rexy punya karakter yang berbeda jauh sehingga tidak akrab secara personal. (Photo by ROBYN BECK / AFP) |
Meski tidak akrab karena tak memiliki banyak kesamaan, tidak ada pertentangan dan pertikaian besar di antara kami. Paling hanya saling menegur bila melihat latihan agak mulai malas. Benar-benar tidak pernah ada adu argumentasi besar-besaran.
Perjalanan saya bisa dibilang seperti Mission Impossible. Dengan awalnya tak memiliki keinginan untuk jadi pemain badminton sampai akhirnya bisa mendapat gelar juara.
Dalam perjalanan saya untuk bisa mencapai posisi saat ini, perjalanan saya sepertinya terlihat mustahil. Karena itu saya bilang Mission Impossible.
Saya harus berterima kasih pada Maha Kuasa yang memberikan saya talenta. Saya diberikan banyak pelajaran dan pengalaman sebagai pemain sehingga akhirnya bisa melalui perjalanan yang berliku dan sulit. Kesulitan-kesulitan itu seperti sudah dipersiapkan agar membentuk saya menjadi pemain dengan mental yang tangguh.