TESTIMONI

Mission Impossible Rexy Mainaky

Rexy Mainaky | CNN Indonesia
Rabu, 19 Agu 2020 19:11 WIB
Rexy Mainaky tak berminat jadi pemain badminton namun akhirnya pensiun dengan status juara dunia, juara Olimpiade, juara All England.
Ricky/Rexy jadi ganda putra nomor satu dunia plus juara dunia, juara All England, dan juara Olimpiade. (Toshifumi KITAMURA / AFP)

Suatu hari ada pertandingan di GOR Asia Afrika. Saya berhasil juara di nomor tunggal, ganda, dan ganda campuran. Setelah selesai saya duduk-duduk bersama teman-teman dari Tangkas. Saat itu sudah tak ada lagi pikiran untuk masuk pelatnas.

Dalam pikiran saya, saya hanya ingin menikmati permainan badminton sambil menunggu waktunya pulang kampung.

Sedang asyik ngobrol, Koh Chris lewat di belakang saya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Rexy kamu mau masuk pelatnas tidak?" kata Koh Chris saat itu.

Koh Chris adalah idola saya. Waktu beliau bertanya, saya kaget. Saya juga malu lalu berpikir apakah Koh Chris sedang bercanda. Saat itu, M.F Siregar baru menjabat sebagai Ketua Pembinaan dan beliau menunjuk Christian Hadinata sebagai pelatih ganda putra.

"Koh, jangan bercanda. Saya lagi down, dibecandain seperti itu malah tambah down." Begitu balas saya.

"Saya serius ini bertanya. Kamu mau masuk pelatnas tidak? Saya serius, tidak tertawa. Tetapi dengan catatan kamu harus berhenti main tunggal dan juga tidak boleh bermain di ganda campuran."

Itu kata Koh Chris.

Mantan atlet bulutangkis, Christian Hadinata. (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama)Christian Hadinata meminta Rexy Mainaky masuk pelatnas di saat Rexy sudah mulai melupakan mimpi untuk masuk pelatnas. (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama)

Lalu dengan pengalaman beberapa kegagalan, saya masih memilih untuk bertahan dan tidak langsung percaya.

"Koh, sudah banyak pelatih yang janji mau bawa saya masuk pelatnas, bahkan saya juara seleknas juga tetap tidak masuk pelatnas. Saya tidak bisa percaya begitu saja. Kalau ada hitam di atas putih, ada surat yang ditandatangani, baru saya percaya."

"Bila surat itu datang, saya janji hanya akan main di ganda putra."

Kalimat itu yang akhirnya saya lontarkan sebagai jawaban. Sejujurnya saat itu saya memang sudah susah untuk percaya soal pelatnas. Ternyata satu minggu kemudian, datang surat ke Tangkas. Surat itu ditandatangani oleh M.F Siregar dan Christian Hadinata.

Apa yang terjadi pada saya sampai saat ini, tentu karena saat itu Christian Hadinata datang menghampiri saya. Kalau Koh Chris tidak datang, mungkin saya bukan juara dunia dan juara Olimpiade.

Saya masuk pelatnas di September 1990. Setahun awal, saya berpasangan dengan Thomas Indratjaya. Ricky saat itu masih berpasangan dengan Richard. Dalam pikiran saya, saya harus berlatih semangat dan tak boleh mengecewakan koh Chris.

Suatu hari saat sedang latihan angkat beban, Koh Chris tanya, "Rexy, kamu mau main Kejuaraan Dunia?"

Saya langsung jawab mau. Siapa yang tidak mau, itu impian semua pemain badminton. Kalau kalah, ya kalah, tinggal latihan lagi.

Ricky dan Richard  kemudian pulang dari Polandia dan mereka berhasil jadi juara di sana. Saya dipanggil lagi oleh Koh Chris. Saya ditanya ingin pasangan dengan siapa. Ricky Soebagdja atau Gunawan.

Bersama Ricky, saya merasa lebih bebas, umur tidak beda jauh jadi tidak akan sungkan di lapangan. Sedangkan saat itu Gunawan sudah punya nama besar jadi saya bisa sungkan di lapangan. Dibanding Gunawan saat itu, saya tidak ada apa-apanya. Mungkin saya tidak akan bisa bebas di lapangan bila dipasangkan dengan Gunawan. Akhirnya, saya diputuskan untuk dipasangkan dengan Ricky.

Selama latihan bebas di pelatnas sebelum berpasangan, saya sering berduet dengan Ricky dan sulit dikalahkan. Kami terus menang bahkan bisa menang lawan Eddy Hartono/Gunawan. Begitu dipasangkan kami dikirim ke Amerika Serikat dan Kanada serta bisa masuk final di dua turnamen tersebut.

mantan pemain bulutangkis Indonesia, peraih medali emas Olimpiade Atlanta 1996 nomor ganda putra bersama Rexy Mainaky, Kepala Subidang Pelatnas Pelatnas PBSI.Rexy memilih berpasangan dengan Ricky Soebagdja karena merasa seumuran dan tak akan sungkan di lapangan. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)

Sejak akhir 1992 kemampuan kami mulai terlihat. Kami bisa juara di empat turnamen beruntun, termasuk World Grand Prix Finals. Nama kami mulai dipandang dan diperhitungkan.

Di tengah kegembiraan itu salah satu penyesalan saya adalah tidak bisa ikut Kejuaraan Dunia 1993. Saya jatuh sakit dan tentu tak ada yang bisa dilakukan selain kecewa pada diri sendiri.

Saat itu saya terlalu menggebu-gebu saat latihan sampai lupa menjaga pola makan. Latihan sampai perut lapar, tetapi dipaksa terus. Akhirnya lebih banyak makan mie goreng. Tambah lagi saya senang minum soda tambah susu. Enak sekali rasanya.

Saya mulai merasakan keanehan tiga pekan sebelum berangkat. Badan rasanya kok tidak enak, tidak ada tenaga. Tiap makan selalu muntah. Saya benar-benar harus tiduran dan tak bisa bergerak. Kalau tidur, dalam kondisi mata terpejam, saya gerakan mata ke kanan-kiri pun muntah.

Orang tua saya sampai datang ke Jakarta dan saya dibawa ke dokter untuk dirawat. Namanya juga orang kampung, tidak tahu apa-apa. Saat itu tidak ada ahli gizi. Saya makan, ikut mulut doang. Mulut anak kampung maunya yang sedap saja. Hahahaha..

Desember 1993, Papa saya meninggal. Hal itu membuat saya, Richard, dan Rionny berpikir untuk pensiun dari badminton. Dalam pikiran kami, buat apa main badminton terus kalau Papa sudah tak bisa melihat kami jadi juara.

Selang tiga bulan setelah Papa meninggal, saya dan Ricky bisa masuk final All England. Saat itu saya sudah tak mau main. Susunan final nomor ganda putra ketika itu ditaruh di partai akhir, tanda bahwa laga itu yang paling banyak ditunggu meski final sesama Indonesia melawan Bambang Suprianto/Gunawan.

Orang-orang ingin lihat saya main, tetapi Papa saya sudah tak bisa melihat saya main. Jadi saya main buat siapa? Juara juga percuma karena impian Papa dulu adalah ingin melihat saja jadi juara All England. Di saat saya punya kesempatan, Papa saya malah tak bisa melihat.

All England berlangsung masih dalam rentang tiga bulan sejak Papa saya meninggal. Karena ini kejuaraan besar, saya masih ingin bermain untuk mengamankan gelar juara bagi Indonesia. Ketika final akhirnya mempertemukan sesama pemain Indonesia, saya berpikir, untuk apalagi saya bermain?

Saya merasa tak perlu lagi bermain karena Indonesia sudah aman merebut gelar juara. Kedua, bila saya juara, apa yang bisa saya banggakan. Sebangga-bangganya saya, Papa saya tak bisa lihat saya jadi juara. Jadi, untuk apa?

Akhirnya saya bermain. Tetapi saya sudah tak fokus, tak konsentrasi dan akhirnya kalah. Dalam situasi sulit itu, Mama saya terus memberikan semangat dan motivasi.

"Kalau kamu begini terus, padahal kamu sudah dekat dengan impian lalu kamu sia-siakan, perjuangan Papa bakal ikut sia-sia!'

Itu kata Mama saya. Akhirnya saya bisa bangkit lagi.

Indonesian men's doubles partnership Ricky Subagdja (L) and Rexy Mainaky celebrate after winning their final against Malaysia's Chaeh Soon Kit and Yap Kim Hock at the All England Yonex Open Badminton Championchips at Birmingham's National Indoor Arena 16 March. AFP PHOTO by Andrew WINNING (Photo by ANDREW WINNING / AFP)Ricky/Rexy sudah mulai mencuri perhatian sejak akhir 1992 lewat kemenangan di beberapa seri grand prix. (AFP/ANDREW WINNING)

Momen Emas Olimpiade Atlanta 1996

Dari titik itu saya seolah mendapat tenaga berkali-kali lipat. Ricky/Rexy meraih gelar juara, mendominasi, dan sulit dikalahkan.

Pada Kejuaraan Dunia 1995 pun, saya merasa Ricky/Rexy hanya kesulitan di babak perempat final melawan Par Axelsson/Par Gunnar Jonsson karena gaya main mereka campuran gaya main Asia dan Eropa. Selebihnya, tidak ada masalah.

Saya dan Ricky lolos ke Olimpiade Atlanta 1996 dengan status sebagai unggulan pertama. Saya tak merasa beban, justru merasakan semangat tinggi. Saya yakin permainan kami semakin hari semakin meningkat.

Saya yakin kami lebih matang di Olimpiade 1996 dibandingkan Olimpiade 1992 saat kami kalah dari Park Joo Bong/Kim Moon-soo.

Setiap habis juara, latihan tidak pernah menurun dan justru ditambah. Dengan demikian, saya merasa lebih unggul baik dari segi fisik dan kepercayaan diri. Saya merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan di Olimpiade. Saya benar-benar menikmati dan bisa tetap fokus.

Saya tak merasa Olimpiade berbeda. Bagi saya itu jadi pertandingan biasa. Terbukti dari babak awal hingga semifinal, bagi saya lawannya terbilang gampang.

Tekanan justru baru dirasakan jelang final. Setelah semifinal, ada jeda satu hari dan setiap saya pergi ke manapun di perkampungan atlet Indonesia, pesannya sama.

Orang-orang selalu ngomong, "Harus juara, ya! Selama ini kalian selalu juara jadi sia-sia kalau tidak juara di sini."

Sampai masuk lapangan, kami melewati Pak Bob Hasan. Beliau bilang, "Kamu berdua harus menang ya, yang kasih medali itu nanti saya."

Saya kemudian terpikir andai Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock yang menang, nanti dua bendera Indonesia mengapit bendera Malaysia yang berada di posisi atas.

Kan itu jadi lucu. Jadi beban banyak sekali jelang final. Sebenarnya bukan beban dari lawan, karena saya tidak takut dengan lawan. Kami memang mewaspadai mereka namun tidak takut karena sudah sering menang lawan mereka.

Suasana jelang final yang membuat kami mendapat beban karena kami terus diingatkan untuk tidak gagal. Akhirnya kami kalah di set pertama.

Men's doubles gold medaliss Ricky Subagdja (L) and Rexy Mainaky (R) show off their medals 17 December on a podium after their men's doubles final match in the 13th Asian Games agaisnt Pramote Teerawiwatana and Siripong Siripool of Thailand at the Thammasat University Sports Complex. Subagdja and Mainaky beat Teerawiwatana and Siripool by 2-0 (15-5, 15-10) to get gold medals.  (ELECTRONIC IMAGE) AFP PHOTO/TOSHIFUMI KITAMURA (Photo by Toshifumi KITAMURA / AFP)Ricky/Rexy baru merasakan beban di Olimpiade jelang partai final. (Photo by Toshifumi KITAMURA / AFP)

Sebelum set kedua, Koh Chris berkata:

"Kalian sudah sampai di final, apa lagi yang dipikirkan? Kalau kalah, kamu berdua sudah kalah di final Olimpiade. Kalau menang, tentu bakal lebih bagus lagi."

"Sudah tak perlu berpikir kalah-menang, berpikir poin per poin saja."

Koh Chris di belakang kami terus kasih semangat sambil berdoa. Saya juga bermain sambil terus berdoa, Ricky juga sambil berdoa. Sebelum servis, Ricky baca 'Bismillah', saya bilang 'Puji Tuhan'. Di dalam permainan, kami mendukung permainan dengan doa masing-masing.

Kami harus menunjukkan bahwa Indonesia negara yang kuat, tak goyah dalam suasana apapun. Dari situ, kami bisa main lepas. Kami unggul 9-1 dan meski tertinggal 9-12 lalu skor sama kuat 12-12, kami tidak goyah. Bola-bola mereka sudah tak lagi menakutkan dalam suasana itu.

Pada set penentuan, kami sudah tambah kuat dan tidak goyah. Akhirnya kami berhasil jadi juara Olimpiade!

Selepas juara Olimpiade, rasanya sudah plong! Kami sudah menjalankan tugas sebagai warga negara dengan baik, bertanggung jawab pada bangsa dan negara. Di ajang besar, Indonesia Raya bisa berkumandang dan saya bersama Ricky bisa membuat suporter di Georgia State University berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Setelah juara Olimpiade kami bersama Koh Chris bebas, belanja, makan-makan, jalan-jalan. Sudah lepas semuanya. Terserah kami mau tidur jam berapa di Atlanta.

Suasana selepas juara Olimpiade tentu berbeda dengan malam hari jelang final. Di malam itu, kami tak bisa tidur karena ada perasaan kesal dan tegang. Kami berharap bisa ditenangkan namun malah jadi terbebani.

Sebagai pemain, saya bisa merasakan gelar juara dunia, juara All England, juara Asian Games, juara Olimpiade, hingga juara Piala Thomas, namun tidak mendapat emas perorangan SEA Games.

Kalau bagi saya, saya melihatnya sebagai lelucon. Saya selalu berkata kalau saya dapat emas SEA Games, bagaimana Yap Kim Hock/Cheah Soon Kit bisa mendapat kebanggaan.

Saat saya melatih di Malaysia, saya bergurau ke mereka dengan bilang kalau saya dapat semua, mereka bakal dapat apa. Mendengar itu, mereka semua tertawa. Secara serius, saya melihat hal itu, tidak mendapat medali emas perorangan SEA Games, bukan sebagai kekurangan. Manusia tak ada yang sempurna.

Indonesia's ace double shuttler Rexy Mainaky shakes hand with his fans at the Istora covered sport stadium in Jakarta, shortly after a ceremony to bid him farewell at the closing of the Asian Badminton Championship on 05 November 2000.  Mainaky, who with Tony Gunawan, clinched the championship's mens' doubles title after defeating Malaysian duo Chong Tan Fook and Lee Wan Wah, has officially announced his intention to resign as a badminton player, without giving any reason.    AFP PHOTO/Amin (Photo by AMIN / AFP)Rexy Mainaky pensiun dengan gelar juara Olimpiade, juara dunia, juara All England, juara Asian Games, namun tidak pernah meraih medali emas perorangan SEA Games. (Photo by AMIN / AFP)

Tak Akrab dengan Ricky

Ricky adalah sosok yang benar-benar memberikan banyak pelajaran pada saya. Banyak masukan yang diberikan Ricky sejak saya fokus menjadi pemain ganda. Dia yang membuat saya mengerti cara bermain di ganda putra.

Secara personal, hubungan kami memang tidak akrab. Saya tipe orang yang lebih suka langsung kembali ke kamar setelah selesai latihan dan makan. Kalau Ricky, dia lebih cocok dengan Richard dalam hubungan pertemanan.

Mereka berdua cocok, sering bersama-sama keluar dari pelatnas untuk jalan-jalan, ngobrol dan lain-lain. Sedangkan bagi saya, ngobrol-ngobrol seperti itu hanya dilakukan saat latihan dan makan. Begitu selesai, saya memilih kembali ke kamar dan beristirahat.

Sixth seed men's double badminton team Rexy Mainaky (L) and partner Ricky Ahmad Subagdja (R) of Indonesia collide as they return a shot to opponents Martin Lundgaard Hansen and Lars Paaske of Denmark 17 September 2000 at the Sydney Olympics.  The Indonesian pair won the preliminary round match 15-9, 13-15, 15-7. AFP PHOTO/Robyn BECK (Photo by ROBYN BECK / AFP)Ricky dan Rexy punya karakter yang berbeda jauh sehingga tidak akrab secara personal. (Photo by ROBYN BECK / AFP)

Meski tidak akrab karena tak memiliki banyak kesamaan, tidak ada pertentangan dan pertikaian besar di antara kami. Paling hanya saling menegur bila melihat latihan agak mulai malas. Benar-benar tidak pernah ada adu argumentasi besar-besaran.

Perjalanan saya bisa dibilang seperti Mission Impossible. Dengan awalnya tak memiliki keinginan untuk jadi pemain badminton sampai akhirnya bisa mendapat gelar juara.

Dalam perjalanan saya untuk bisa mencapai posisi saat ini, perjalanan saya sepertinya terlihat mustahil. Karena itu saya bilang Mission Impossible.

Saya harus berterima kasih pada Maha Kuasa yang memberikan saya talenta. Saya diberikan banyak pelajaran dan pengalaman sebagai pemain sehingga akhirnya bisa melalui perjalanan yang berliku dan sulit. Kesulitan-kesulitan itu seperti sudah dipersiapkan agar membentuk saya menjadi pemain dengan mental yang tangguh.

(ptr/jun)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER