Saya tujuh tahun bermain di timnas Indonesia. Sayangnya memang tidak ada gelar yang bisa saya persembahkan untuk tim Garuda.
Kisah saya bersama timnas bermula dari PSSI Baretti tahun 1996. Aksi saya dilihat Om Danurwindo saat berlangsungnya Pekan Olahraga Pelajar di Jawa Timur. Saya dipanggil ke Jakarta bersama Charis Yulianto dan Agung Prasetyo.
Seleksinya benar-benar susah untuk bisa masuk PSSI Baretti. Lewat proses ketat di Jakarta, saya, Charis Yulianto, Imran Nahumarury, Elie Aiboy, dan almarhum Ngadiono berangkat ke Italia menyusul teman-teman yang sudah ada di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai sekarang saya juga dekat dengan Imran karena dulu kami pernah satu kamar selama di Italia. Saya juga mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman selama menimba ilmu di sana.
![]() |
Cara bermain kita ketika itu sudah sangat ketinggalan. Kita bermain bola bisa balik badan saja sudah bagus. Di Italia organisasi permainannya rapih, pintar, cerdas, dan kuat. Kalau di sini kita main bola masih bisa sambil tengak-tengok tetapi jangan harap bisa seperti itu di sana ha..ha..ha
Sepulang dari Italia saya membela Persebaya. Penampilan bagus di Persebaya mengantar saya ke timnas Indonesia. Saya jadi salah satu pemain muda yang masuk dari 18 pemain untuk memperkuat timnas Indonesia di SEA Games 1997.
Secara pribadi saya juga cukup terkesan dengan coach Henk Wullems. Dia pelatih yang suka dengan pemain muda dan seorang yang disiplin. Saat latihan dia tidak pernah bercanda. Dia menganggap latihan itu sudah seperti pertandingan.
Di SEA Games 1997, jalan kami dari penyisihan sampai semifinal terbilang mulus. Di final, Thailand telah menanti, lawan terberat di kawasan Asia Tenggara. Sayang kami gagal saat tinggal selangkah lagi menyamai sukses di SEA Games 1991, di mana timnas Indonesia terakhir kali meraih medali emas.
Kami bermain imbang hingga pertandingan harus ditentukan melalui adu penalti dalam laga yang disaksikan 120 ribu penonton. Saya terpaksa jadi eksekutor penalti karena pemain-pemain senior banyak yang tidak berani.
![]() |
Saya percaya diri saja meski suasananya begitu tegang. Sejujurnya, saya belum pengalaman mengambil penalti karena di Persebaya juga belum dapat jatah jadi eksekutor. Maklum saya masih anak bawang.
Pertama ditunjuk Henk Wullems saya mencoba yakin saja. Anehnya begitu jalan dari tengah lapangan ke arah gawang, badan ini terasa ringan, seperti melayang. Rasanya sudah tidak enak.
Benar saja begitu bola saya tendang, arahnya justru jauh dari gawang. Ini persoalan demam panggung dan masalah mental. Setelah penalti nggak masuk dan kami gagal juara, dua hari saya sulit tidur. Benar-benar susah melupakannya karena saya jadi pemain yang gagal bersama Ronny Wabia.
Pelatih Henk Wullems sebenarnya sudah coba membesarkan hati saya. Dia katakan 'itu sudah biasa dan tidak usah terlalu dipikirkan'. Pemain-pemain senior juga bisa menerima kegagalan saya tetapi masih saja seperti ada yang terasa mengganjal dalam hati.
Momen adu penalti itu memang benar-benar mendebarkan. Padahal kiper sudah bergerak ke arah yang salah tetapi bola yang saya tendang malah naik.
Pertama saya sempat merasa syok tetapi begitu kembali ke klub segalanya bisa berjalan kembali normal. Namun, jujur saya katakan memori tidak menyenangkan di final SEA Games 1997 sulit hilang.
Pada 2000 kami kembali bertemu Thailand di Piala Tiger. Kali ini kami kalah telak dengan skor 1-4. Saya menjadi satu-satunya pencetak gol timnas Indonesia yang harus puas jadi runner up.
Selama berseragam timnas Indonesia, saya merasa yang paling berkesan justru saat memperkuat timnas Indonesia di Pra Piala Dunia. Di sana kami bisa merasakan bermain sepak bola di level tertinggi.
Saya merasa bangga bisa ikut memperkuat timnas Indonesia di ajang ini. Meskipun hasilnya kurang bagus, masih sangat jauh dari harapan.
Saya juga punya cerita lucu saat Timnas Indonesia tandang melawan China pada Pra Piala Dunia 2002 di Kunming. Babak pertama kami menang 1-0 berkat gol Charis Yulianto.
Memasuki babak kedua, China bisa mencetak lima gol ke gawang kami dan pertandingan berakhir dengan skor 1-5. Cuaca memang begitu dingin di sana dan kami juga kalah stamina.
Di laga itu juga terlihat jelas Timnas Indonesia masih belum sanggup bermain konsisten selama 2x45 menit. Pemain kita belum bisa bermain dengan sama baiknya selama 90 menit.
(har)