Saya pernah kalah dari juara kelas bulu interim WBA, Celestino Caballero, di Florida, AS, pada 2010. Saya tidak mau beralasan, tapi faktor utama yang membuat saya kalah adalah persoalan non-teknis.
Kami tiba di Florida terlalu mepet dengan jadwal pertandingan karena lama mendapat visa. Tidur tidak berkualitas karena jetlag sehingga fisik dan mental tak siap saat bertarung.
Caballero sempat menjatuhkan saya di ronde kedua tapi saya coba bangkit dan bertahan hingga 12 ronde. Saya dinyatakan kalah angka secara mutlak di laga tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini menjadi pelajaran buat saya dan tim. Tak boleh ada kesalahan teknis dan persiapan mepet jelang menghadapi pertarungan di negeri orang.
Setahun kemudian, saya juga mendapat pelajaran berharga untuk kedua kali. Kali ini, saya kalah dari senior saya Chris John.
Saya akui saat itu banyak mendapat pelajaran berharga dari Chris John. Semula saya sangat yakin bisa menumbangkannya. Tapi dia ternyata petinju pintar. Terang saja, dia juga lebih dulu punya pengalaman bertanding di level internasional.
![]() |
Dia bisa mengatur ritme sehingga saya kehabisan tenaga. Boleh dibilang, saya bertarung seperti banteng dan Chris John adalah matadornya kala itu. Hehehe...
Setelah merasakan kekalahan melawan Chris John, saya mulai belajar jadi petinju yang lebih dewasa. Tidak harus mengumbar kekuatan di awal ronde dan lebih mengutamakan strategi.
Lawan Chris John adalah kekalahan kedua saya di ajang internasional tapi tidak membuat saya putus asa. Pada tahun yang sama saya mengalahkan petinju AS, Frankie Archuleta di Australia dengan kemenangan KO di ronde keempat.
Kemudian saya berhasil mempertahankan kelas bulu versi IBO melawan Lorenzo Villanueva dan Choi Tseveenpurev hingga 2012. Tapi, gelar tersebut hilang setelah kalah dari petinju Afrika Selatan Simpiwe Vetyeka pada 2013.
![]() |
Pada 2018 saya mampu merebut gelar juara dunia kelas ringan WBO pada 2018 dengan menumbangkan petinju Rusia, Pavel Malikov.
Pada 2019, gelar saya bertambah usai menang TKO lawan Michael Mokoena dalam perebutan gelar juara dunia versi Indonesian Boxing Association (IBA) di Malang. Itu menjadi pertarungan terakhir saya sebelum pandemi virus corona meluas.
Pandemi Virus Corona
Saat ini, karier saya mandek hampir setahun di masa pandemi virus corona. Rencana saya dan promotor Mahkota Promotions jadi berantakan.
Tetapi saya tetap bersyukur kepada Tuhan masih diberikan kecukupan. Tugas saya sebagai atlet adalah tetap berlatih dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan bertanding lagi.
Sekarang saya menginjak usia 33 tahun. Meski tak bisa dibilang muda lagi, saya masih yakin bisa eksis bertanding hingga 6-8 tahun ke depan.
Ada target yang masih belum kesampaian, yaitu melawan juara bertahan kelas ringan versi WBO dan WBC, Jose Ramirez. Jalan menuju ke sana tak mudah karena dia juara dunia, tapi semoga pertarungan itu bisa terwujud.
Virus corona memang jadi bencana internasional yang membuat seluruh agenda berantakan. Tapi, kita harus bertahan dengan keadaan. Jangan lengah, tetap menjaga diri dari kemungkinan penyebaran Covid-19.
![]() |
Di sisi lain, ada hikmah yang bisa saya ambil di masa pandemi ini. Ternyata pandemi bisa membuat saya lebih dekat dengan keluarga dan bisa rutin mengurus boxing gym saya pribadi di Kayong Utara.
Oh ya, saya juga mau cerita soal boxing gym milik saya bernama Daud Boxing Club. Mungkin saya satu-satunya atlet tinju yang punya boxing gym sendiri saat masih aktif.
Saya anggap boxing gym ini sebagai investasi. Artinya, mungkin saja saya tidak bisa mendapat untung secara materi tapi saya berharap bisa melahirkan 'Daud Yordan' lainnya.
Saya berusaha menerapkan standar internasional di boxing gym ini. Contohnya, ada mes menginap untuk petinju, dapur, kantor, serta perlengkapan berstandar internasional.
Sekarang mungkin belum bisa menghasilkan secara materi. Syukur-syukur bisa balik atau menguntungkan nantinya. Tapi, yang terpenting adalah mencetak generasi petinju yang punya mimpi berprestasi di level internasional.
![]() |
Sejauh ini, sasana tinju milik saya hanya menampung bakat-bakat dari wilayah Kalimantan Barat. Yang penting punya komitmen besar untuk jadi petinju profesional.
Saya ingin membagikan lagi pengalaman yang sudah saya dapat selama ini kepada anak-anak. Jadi, mereka juga harus punya mimpi yang besar sejak kecil.
Mungkin tak ada mantan petinju di Indonesia yang mau mendirikan sasana tinju sendiri karena memang modalnya lumayan besar. Sementara pemasukan dari tinju nasional belum mendapat banyak uang.
Bisa dibilang, jadi petinju Indonesia hanya nama saja yang besar tapi uangnya kecil. Hal itu juga saya alami kok. Hehehehe...
Tapi, saya bersyukur kepada Tuhan bisa dibawa ke posisi sekarang. Bisa bertarung di luar negeri dan mencoba mencapai prestasi internasional lebih bergengsi lagi.
Oleh karena itu, saya ingin membagi pengalaman serta menularkan mimpi jadi petinju internasional. Kalau bisa harus lebih hebat dari prestasi Daud 'Cino' Yordan!
(jun/ptr)