TESTIMONI

Alan Budikusuma: Susy dan Pengantin Emas Olimpiade

Alan Budikusuma | CNN Indonesia
Rabu, 06 Jan 2021 19:02 WIB
Alan Budikusuma bercerita tentang perjalanan kariernya, tentang emas Olimpiade, dan tentunya tentang Susy Susanti.
Alan Budikusuma berhasil meraih emas Olimpiade dan juara Piala Dunia. (AFP/ALBERTO MARTIN)

Karena kondisi saya sedang tidak baik, Pak Indra lebih berharap ke Ardy untuk Olimpiade 1992. Saya sendiri hanya berpikir bagaimana bisa bermain dan memberikan yang terbaik.

Saya hanya ingin memperbaiki performa saya dari babak awal. Ternyata semakin hari, permainan saya di Barcelona semakin baik. Performa saya terus meningkat dan kepercayaan diri saya terus berubah karena saya makin yakin.

Saya hanya coba memikirkan strategi tiap poin. Saya lakukan itu karena saya takut terpengaruh lagi bila berpikir dalam skala lebih besar. Saya hanya berpikir strategi untuk dapat poin per poin. Pun begitu dengan lawan, saya fokus satu per satu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di babak perempat final keberhasilan Hermawan mengalahkan Zhao Jianhua merupakan sebuah hal yang luar biasa. Karena bila Zhao Jianhua yang masuk semifinal, Ardy juga bakal kesulitan lantaran rekor pertemuan mereka.

Dengan Hermawan bisa menaklukkan Zhao Jianhua, tentu jadi hal bagus lantaran menciptakan All Indonesian Semifinal antara Ardy lawan Hermawan. Tim Indonesia juga kemudian di atas angin karena bisa memiliki tiga wakil.

Saya harus melawan Thomas Stuer-Lauridsen di babak semifinal. Saya berusaha untuk tidak terbebani. Kembali, saya hanya fokus tanpa memikirkan hasil.

Trauma kekalahan di Piala Thomas sudah hilang seiring kemenangan yang saya dapat di babak sebelumnya. Akhirnya saya bisa menang dan memastikan Indonesia meraih emas.

Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno mengucapkan selamat kepada Presiden Joko Widodo yang unggul dalam Pilpres 2019 usia penghitungan suara oleh KPU, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (21/5).PBSI era Try Sutrisno menyusun program jangka panjang untuk meraih sukses di Olimpiade Barcelona 1992. Program itu sudah dimulai sejak Try Sutrisno jadi Ketua Umum PBSI pada 1986. ( CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)

Tim tentu sangat senang karena PBSI pasang target satu emas. Dengan keberhasilan saya dan Ardy masuk final, tentu emas sudah di tangan, bahkan perak dan perunggu. Sebuah sejarah yang tak bisa diulangi hingga saat ini.

PBSI juga gembira karena target terpenuhi dan tinggal berharap pada Susy. Tentu langkah Susy lebih berat karena dia sendirian di tunggal putri.

Melawan Ardy di final, saya tak punya beban. Beban di semifinal jelas lebih berat. Ketika saya menang lawan Thomas, Indonesia sudah pasti juara dan dapat emas. Di final tak peduli menang-kalah karena sama-sama Indonesia.

Sebelum lawan Ardy di final, saya justru lebih khawatir pada Susy. Saya berharap Susy bisa menang. Kalau saya lawan Ardy, siapapun yang menang kan tetap Indonesia.

Dari segi head-to-head sepertinya saya lebih unggul dari Ardy. Namun bila suasana lapangan panas, biasanya saya kalah. Saya ingat waktu duel lawan Ardy di Indonesia di Solo. Saat itu kami main di GOR yang panas dan akhirnya saya kalah.

Memainkan All Indonesian final di Olimpiade, saya dan Ardy tak lagi didampingi pelatih. Pak Indra tentunya sudah lepas dari beban berat karena misinya sudah berhasil yaitu membawa medali emas Olimpiade.

Di final Olimpiade saya hanya terus berusaha menjaga strategi di tiap poin. Begitu menang di set pertama, saya tak mau banyak berpikir macam-macam. Karea makin dipikirkan, nanti bisa makin kacau di lapangan.

Saya akhirnya bisa menang! Saya juara Olimpiade! Tentunya saya pasti senang karena seolah terbayar kekalahan sebelumnya di Thomas Cup. Saya bisa membuktikan bahwa saya mampu berprestasi dengan baik.

Tentunya saya bisa juara juga berkat dukungan Susy, keluarga, Pak Indra, Pak Rudy, dan juga Koh Eddy. Tanpa mereka, saya tak akan bisa.

Indonesian badminton player Ardy Wiranata returns the shuttlecock to England's C. Haughton during the third round of the Thomas Cup in Hong Kong 21 May. Wiranata won 12-15, 15-3, 15-6.  AFP PHOTO  Thomas CHENG (Photo by TOMMY CHENG / AFP)Alan Budikusuma dan Ardy B. Wiranata menciptakan All Indonesian Final di Olimpiade 1992. (AFP/TOMMY CHENG)

Saat Indonesia Raya berkumandang dan bendera Merah-Putih berkibar, ada rasa bangga dalam diri saya karena bisa menyumbangkan medali untuk negara saya.

Sedikit intermezzo, dalam penyelenggaraan Olimpiade tersebut, kami atlet Indonesia dibekali pin. Pin itu sering dibuat pertukaran dengan atlet lain. Ternyata atlet negara lain tidak ada yang mau ditukar dengan atlet Indonesia. Pin Indonesia tidak terlalu laku.

Mungkin mereka berpikir, "Indonesia mana ya?", Saking tidak dikenalnya Indonesia, mungkin terlalu jauh.

Saya ingat satu pin atlet Amerika Serikat itu mungkin baru bisa ditukar 20 atau 10 pin Indonesia. Ada juga yang benar-benar tidak mau. Saya juga mengalami sendiri. Mau coba tukar, ternyata tidak ada yang mau.

"Buset," ujar saya waktu itu.

Tetapi setelah Indonesia dapat dua medali emas, lalu Indonesia ada di peringkat ke-17, baru pin Indonesia laku untuk ditukar. Baru pin tersebut terasa ada nilainya setelah sempat kurang.

Memang persaingan anatarnegara sangat luar biasa di Olimpiade. Makanya saya berharap olahraga semakin hari semakin baik. Saya berharap pemerintah semakin memperhatikan olahraga, tidak hanya sekadar sambilan.

Saat pesta olahraga dunia, posisi atlet dan negara itu terasa. Kebanggaan atlet itu pada saat bertemu dan mendapat pujian seperti, "Wah dari Indonesia, bagus nih". Hal seperti itu tidak bisa dibeli.

Selain juara Olimpiade, saya juga pernah juara Piala Dunia juga jadi bagian tim juara Piala Thomas. Namun saya hanya jadi runner-up Kejuaraan Dunia dan hanya sempat masuk semifinal All England.

Bila ditanya puas atau tidak? Tentunya puas. Namun tentu saya sebagai atlet tetap merasa ada yang kurang karena pastinya saya juga ingin jadi juara All England dan juara dunia.

Berjumpa dan Jatuh Cinta pada Susy Susanti

Saya bertemu Susy pertama kali saat ditarik ke Jakarta oleh Jaya Raya pada 1983. Saat itu hanya sekadar ketemu karena saya di Jaya Raya hanya sebentar lantaran 1985 saya sudah masuk pelatnas.

Saat itu kami hanya kenal sepintas. Barulah pertemuan kami lebih intens pada 1986 saat Susy juga masuk pelatnas pratama karena setiap hari bertemu.

Saya dan Susy mulai pacaran 1987. Ketertarikan saya pada Susy bisa dibilang karena di keluarga, saya adalah anak paling besar, punya adik empat, dan biasanya sering ngobrol. Sedangkan di Jakarta saya tidak punya saudara.

Susy juga biasanya ada dan ngobrol dengan kakaknya, jadi kondisinya sama.

Legenda bulu tangkis Indonesia Susi Susanti (kanan) yang berpasangan dengan Alan Budikusuma (kiri) melakukan servis ke arah Menpora Imam Nahrawi yang berpasangan dengan Taufik Hidayat saat bermain bulu tangkis bersama para Olympian di Kantor Kemenpora, Jakarta, Jumat (30/12). Menpora bermain bulu tangkis bersama olympian di antaranya Taufik Hidayat, Tontowi Ahmad, Alan Budikusuma, Susi Susanti, dan Ricky Subagja, sebelum menyampaikan refleksi akhir tahun Kemenpora 2016 serta menyongsong 2017. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/kye/16Alan Budikusuma dan Susy Susanti adalah salah satu pasangan paling terkenal di Indonesia. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Karena tak ada saudara sulit bagi saya untuk curhat, kalau telepon orang tua tentu mahal karena saat itu telepon belum seperti sekarang. Akhirnya kami sering ngobrol dan jadilah makin dekat.

Status pacaran kami tentunya pasti ketahuan oleh pelatih dan pengurus di pelatnas. Tidak mungkin bisa ngumpet-ngumpet.

Kami berusaha saling mendukung. Meskipun dulu karena masih kolot, pacaran dianggap mengganggu. Hal itulah yang harus kami jaga.

Kami coba membuktikan bahwa pacaran bisa tetap berjalan dengan saling dukung dan tak mengganggu karier. Menurut saya pacaran sesama pemain lebih baik karena tujuan kami sama.

Kalau bukan sesama atlet, bisa berbeda tujuannya. Satu ke kiri, satu ke kanan. Kalau sama-sama atlet, pola pikir pasti sama. Pokoknya berangkat dan juara.

Saat masih latihan di Senayan, paling kami hanya jalan-jalan nonton bioskop ke Blok M atau Djakarta Theater. Begitu pindah ke Cipayung, jadi jauh ke mana-mana.

Namun menurut saya lokasi Cipayung itu sangat bagus. Karena waktu latihan mepet, akhirnya lebih banyak ngobrol di Cipayung.

Dalam hubungan kami tentu kalau marahan bakal berpengaruh pada pertandingan. Karena itu kami harus jaga. Hubungan kami terbilang tidak naik-turun. Mungkin karena satu profesi dan cara berpikirnya sama.

Tahun berlalu, akhirnya kami berangkat ke Olimpiade Barcelona. Jelang keberangkatan ke Olimpiade, Susy punya beban yang sangat besar. Karena setiap ketemu pengurus di luar badminton, Susy selalu mendapat sapaan 'Menang ya' atau 'Medali Emas ya!'. Seperti itu.

Karena itu Susy harus bisa menjaga konsentrasinya. Namun di Barcelona, kami justru bersikap biasa, tidak malah jadi kaku dan fokus pada masing-masing. Bila memang ingin ngobrol, ya kami ngobrol. Karena ngobrol menghilangkan ketegangan. Bila ingin istirahat, ya istirahat.

Situasi di Barcelona itu sebenarnya juga pelajaran dari situasi di Piala Thomas beberapa bulan sebelumnya. Di Malaysia, karena tiap pertandingan terlalu banyak didiskusikan dan dibicarakan, malah jadi pusing sendiri.

Di bulan Mei, saya merasa suasana tim terlalu banyak diskusi dan menaikkan ketegangan. Seharusnya situasi yang dibangun biasa saja.

Itulah kenapa saya dan Susy memilih santai. Bila ngobrol sama Susy, saya pun ngobrol topik lain. Istirahat, latihan. Tidak selalu tentang pertandingan. Bisa stress nanti.

Seperti yang telah saya tuliskan, jelang final saya lebih mengkhawatirkan Susy. Kalau di final tunggal putra, saya sudah lepas beban karena Indonesia sudah pasti juara.

Meski khawatir pada Susy, saya tidak menonton langsung laga final antara Susy lawan Bang Soo Hyun. Bila mau saya sebenarnya masih punya waktu untuk menonton.

Namun saya adalah tipe orang yang tegang dan bisa terbawa suasana bila menonton pertandingan orang. Karena itu saya pilih tidak nonton dan pergi ke warming up hall.

Ada di warming up hall, saya tetap dapat kabar pertandingan Susy. Saya juga dengar bahwa Susy kalah di set pertama. Saya berharap 'Mudah-mudahan Susy bisa menang di set kedua'.

Ternyata Susy menang! Setelah menang di set kedua, saya yakin dan bisa lebih tenang di rubber set. Karena saya tahu Susy memang tipe pemain yang seperti itu, lambat panas. Akhirnya Susy bisa juara, saya juga bisa juara.

Pasangan emas bulutangkis Indonesia, Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Kedua pebulutangkis ini yang merebut emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade.Alan Budikusuma dan Susy Susanti masih banyak dikenal orang ketika mereka berpergian. ( Dokumen Pribadi)

Setelah selesai, kami lebih rileks karena selama Olimpiade, jadwal lebih ketat. Ada waktu 2-3 hari sebelum pulang tetapi kami hanya santai di sekitaran kompleks Olimpiade saja.

Usai menang di Olimpiade, suasana menurut saya masih biasa di Barcelona. Barulah ketika sampai Jakarta, suasananya terasa. Kami langsung diarak keliling kota hingga sampai di Ancol. Kami kemudian dipanggil Menpora dan mendapat Bintang Jasa Utama.

Sebelum Olimpiade, saya rasa hubungan saya dan Susy tidak terlalu banyak diketahui orang. Sesudah Olimpiade, semua seolah jadi tahu hubungan saya. Saya tak menyangka dan kami semakin dikenal setelah itu.

Memang setelah jadi juara, banyak yang komentar, "Ya sudah, berdua menikah saja, jadi pengantin saja". Makanya disebut Pengantin Olimpiade.

Dari keluarga juga senang dengan keberhasilan kami. Kami mampu membuktikan bahwa bisa tetap berprestasi dan pacaran tidak mengganggu kami. Karena sebelumnya orang tua memang selalu mewanti-wanti kami agar jangan sampai terganggu dan berlatih dengan benar.

Olimpiade adalah ajang terbesar. Dengan juara Olimpiade, hal yang kami cita-citakan sudah tercapai. Secara hubungan, kami jadi lebih baik. Namun bukan berarti kalau tidak juara, hubungan jadi tidak baik hehehe.. Yang pasti hubungan kami jadi lebih baik.

Kami menikah di 1997, banyak sekali yang datang. Waktu itu saya banyak dibantu Pak Hadibowo, senior saya di PB Djarum yang kini sudah almarhum. Pak Try Sutrisno yang saat itu sudah jadi Wakil Presiden datang. Penjagaan luar biasa. Saya benar-benar kebingungan di ruang tunggu. Pak Hadibowo lalu yang kemudian mengurus segala macam tentang persiapan protokoler dan lainnya.

Sampai saat ini, bila saya dan Susy pergi ke suatu tempat, masih banyak yang mengenali kami. Tentu saya bersyukur kami bisa dikenal sampai saat ini.

Saya berpendapat bahwa Tuhan sudah mengatur semua hingga saya sampai menjadi sosok seperti saat ini. Saya bersyukur bisa memberikan arti untuk Indonesia. Bisa membanggakan Indonesia. Dan tentunya membanggakan orang tua yang ikut senang dengan keberhasilan saya.

(ptr)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER