Jakarta, CNN Indonesia --
Dunia pertarungan mixed martial arts (MMA) bukan hanya milik pria. Petarung perempuan juga turut mengacungkan tinju di arena olahraga baku hantam ini, baik di level internasional dan nasional.
Memilih menjadi atlet profesional di ajang MMA, setidaknya di Indonesia, acap kali dipandang kurang lazim bagi seorang perempuan. Banyak label yang kemudian dilekatkan pada mereka, mulai dari kesan tomboy, galak, sampai kesan sulit didekati.
Namun, nyatanya menjadi seorang petarung perempuan bukan persoalan mengubah jati diri. Namun, hobi yang menyenangkan dan dapat membuka peluang meraih penghasilan secara mandiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya saja yang dialami Priscilla Hertati Lumban Gaol atau yang akrab disapa Tati, seorang atlet wushu yang saat ini menjelma menjadi atlet MMA. Di balik deretan prestasi membanggakan mewakili Indonesia di Asian Games 2014, SEA Games 2019, Tati tertarik menjadi petarung MMA karena iming-iming uang besar bisnis olahraga berisiko tinggi tersebut.
 Priscilla Hertati Lumban Gaol merupakan salah satu atlet MMA wanita Indonesia yang tampil di luar negeri. (Arsip Pribadi) |
"Saya dulu seorang wanita yang feminin dan pendiam. Saya lebih sering bergaul dengan teman perempuan dibanding laki-laki. Tidak pernah ada niat menjadi seorang petarung. Sampai suatu saat kakak kandung saya menawarkan saya masuk wushu. Saya sempat menolak sampai akhirnya tertarik karena kakak saya bilang, 'Ada hadiah uang yang lumayan buat bangun rumah'," kata Tati kepada CNNIndonesia.com.
Memulai karier sebagai seorang atlet wushu dilakoni Tati dengan kucing-kucingan dari orang tuanya. Bahkan, ia sempat berbohong ke sekolah supaya bisa tampil di sebuah turnamen saat duduk di bangku kelas 3 SMA.
Sejak saat itu Tati fokus membangun karier sambil menyelesaikan sekolah. Prestasi Tati kian menanjak dan mulai membuktikan diri ke orang tuanya bahwa menjadi seorang petarung bukan pilihan salah.
[Gambas:Video CNN]
"Saya tidak mengubah citra saya jadi tomboy karena saya petarung. Tapi memang seiring waktu orang lain bilang ke saya kalau gaya jalan saya berubah. Padahal saya sendiri tidak maksud begitu. Saya sama dengan saya yang dulu. Hanya saja kalau di atas ring atau saat latihan harus fokus," ujar Tati.
Tati sadar menjadi seorang petarung membuat pandangan orang berubah. Termasuk orang tua yang protes ketika ia memotong rambut panjangnya dengan maksud supaya tidak gerah dan mengganggu saat latihan maupun pertarungan.
"Padahal dulu orang tua saya sering memotong rambut bondol. Tapi sekarang kalau saya potong bondol mereka protes," ucap Tati.
Saat ini Tati sudah mampu mengubah stigma orang yang menyebut jika seorang petarung yang terkesan tomboy sulit didekati laki-laki. Ia meruntuhkan stigma itu pada Agustus 2020, ketika ia menikah dengan seorang bernama Teguh Wartana yang saat ini menjadi pelatihnya.
"Memutus stigma petarung susah dapat pacar. Sebelum pacaran sama petarung yang sekarang jadi suami, saya pernah punya pacar di luar dunia bela diri. Mereka tidak takut karena saya juga tidak menunjukkan saya lebih jantan dari laki-laki, cuma profesional di atas lapangan dan pas tanding ya seperti itu," ujar petarung 32 tahun itu.
Pilihan menjadi seorang atlet bela diri juga diambil Linda Darrow yang saat ini mengambil peran ganda sebagai petarung sekaligus seorang ibu. Berkenalan dengan olahraga bela diri dari usia 6, Linda justru mendapat dukungan penuh dari keluarga.
Diarahkan langsung oleh keluarga yang juga menekuni olahraga bela diri, tidak ada penolakan dari Linda. Menurut wanita yang kini menetap di Solo, Jawa Tengah, terlihat gahar dan seram saat menghadapi musuh di atas ring latihan maupun pertarungan adalah naluri seorang fighter.
"Itu adalah karakter dasar kalau di pertandingan begitu. Naluri fighter harus mengekspresikan apa yang kita latih. Tapi mungkin karena saya perempuan, di mata orang Indonesia khususnya, yang seperti itu masih belum bisa diterima," kata Linda.
Lahir di Jambi, 5 Februari 1989, Linda pernah menjadi juara fighter MMA dan mendapatkan gelar women strawweight champion One Pride MMA. Bahkan ia juga menjadi petarung MMA pertama Indonesia yang mendapatkan beasiswa UFC Performance di Las Vegas 2018 lalu.
Linda sadar ada pola hidup yang berbeda lantaran kini berstatus sebagai atlet bela diri yang berprestasi.
 Linda Darrow (kanan) dan sang suami, Yohan Mulia Legowo (kiri), bersama presiden UFC Dana White. (Arsip Pribadi) |
Ia harus rajin menjaga pola makan dan pola hidup sehat dan teratur demi menghindari stres dan menjaga kondisi fisik. Termasuk menyesuaikan kebutuhan latihan ketika harus mengalami periode bulanan seorang perempuan.
"Saya hanya seorang perempuan biasa, tapi punya prestasi dan karier yang berbeda dengan perempuan lain. Tapi justru dengan seperti ini saya jadi jauh lebih percaya diri dengan diri sendiri," jelas Linda.
Di usianya yang masuk 32, Linda belum pernah berpikir untuk pensiun. Suaminya, Yohan Mulia Legowo, sekaligus pemilik HAN Academy tempat Linda latihan, justru malah melarang Linda pensiun.
Bahkan saat ini sang anak yang usianya sudah 13 tahun, Gibran Darrow, mulai tergerak untuk diarahkan menjadi seorang petarung seperti Linda dan sang suami.
Kisah petarung perempuan MMA lainnya juga datang dari Inandya Citra.
Positifnya, menjadi perempuan yang berprofesi sebagai petarung justru bisa jadi pelindung diri dari para hidung belang. Namun, di sisi lainnya ia harus bergelut dengan masa-masa Pra Menstruasi Syndrom (PMS).
Ia mengaku sampai saat ini masih kesulitan mengontrol mood jelek yang datang saat PMS. Terutama ketika harus naik ke atas ring. Padahal, dalam keseharian ia mengaku bukan orang yang moody.
Secara fisik memang tidak ada yang berubah ketika Citra sedang mengalami masa-masa datang bulan. Tapi tak dapat dipungkiri, peningkatan hormon secara alamiah membuat psikologis cepat berubah.
"Bukan ketika menstruasinya yang mengganggu, tapi hormonalnya yang sangat pengaruh ke psikologis," ujar Citra.
"Kalau lagi PMS moody banget, tricky banget, berat banget. Saya merasa kalau PMS agak susah, tidak tahu kenapa. Pasti semua perempuan begitu kali ya. Jujur susah mengatasinya, saya sampai sekarang masih belajar cara kontrolnya," ujar wanita yang memiliki gelar sarjana biomedical engineering itu.
Pengalaman tidak menyenangkan pernah dialami Citra ketika ia sedang PMS dan harus naik ring di waktu yang bersamaan. Itu terjadi pada perebutan gelar One Pride MMA 2017. Sudah jatuh tertimpa tangga, sudah kalah, tapi ia harus tetap menerima omelan dari pelatih di saat hari pertama datang bulan.
"Rasanya emosional banget. Saya menangis hampir dua hari. Saya menangis karena saat itu rasanya tidak ingin diganggu orang, sedangkan saya saat itu diomelin terus sama pelatih. Saya terima dimarahin, tapi karena lagi period jadi pengennya saya menangis terus, lebih baper."
"Saya sebenarnya jarang banget menangis. Tapi ini tuh rasanya beda. Bahkan saya ingin bicara sama pelatih 'Aduh gua lagi period nih', tapi enggak enak dan enggak peduli juga dia pasti. Kalau dikasih tahu pun saat itu dia tidak akan mau dengar dan dianggap cuma jadi alasan saja. Mungkin suatu saat dia akan mengerti," kata Citra.
Meski begitu, sebagai profesional Citra tidak pernah mangkir latihan atau minta libur sekalipun sedang datang bulan. Lewat pola makan dan pola hidup sehat dan teratur yang dijalaninya, Citra mengaku urusan datang bulan ini tak mengganggunya.
Tidak sengaja payudara kena pukul lawan saat latihan atau tanding pun pernah dirasakan Citra. Tapi hal itu tidak dipermasalahkan, karena tidak terasa sakit sekalipun tidak menggunakan pelindung khusus di bagian dada.
Meski mendapat sejumlah rintangan, baik Citra, Tati, maupun Linda sama-sama berambisi melanjutkan karier di dunia MMA yang mereka geluti saat ini.
Sekalipun buat Citra, sang ibu secara terang-terangan telah memintanya untuk membantunya bekerja di perusahaan kontraktor yang telah lama dibangun bersama sang ayah. Terlebih sang ayah telah berpulang menghadap Tuhan pada 2020 lalu.
"Mereka [orang tua] ingin saya kerja sama mereka. Papaku meninggal tahun lalu dan mama nawarin 'Kamu enggak mau ya kerja sama mama saja?'. Tapi saya malas dan tidak suka menggantungkan hidup sama orang lain walaupun orang tua sendiri."
"Sampai suatu hari setelah saya cedera lama, terus saya posting di medsos mau balik lagi, terus mama bilang 'Oh ternyata kamu mau fight lagi? Tidak usahlah, mending kerja bareng sama kita saja'. Tapi saya bilang tidak mau. Lama-lama mama pasrah kalau anak-anaknya punya pilihan masing-masing," ucap Citra.
 Inandya Citra mendalami ilmu MMA di Jakarta dan Bali. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Para petarung wanita juga tidak menemukan perbedaan perlakuan selama menjalani karier sebagai petarung. Saat latihan maupun di atas octagon, mereka mengaku diperlakukan sama dengan atlet pria. Bahkan tak jarang mereka berlatih bersama.
Hanya saja di Indonesia terdapat perbedaan signifikan mengenai jumlah pertarungan lantaran keberadaan atlet wanita yang bisa dihitung dengan jari.
"Yang beda itu kesempatannya. Karena [petarung] cowok lebih banyak dibanding cewek. Antara kita akan ketemu lawan yang itu-itu lagi, atau kita akan dipanggilnya jarang karena lawannya enggak banyak. Bayaran sama, tapi kesempatan yang jarang. Kalau misalnya di luar ya kesempatan banyak, fighter ada di mana-mana," jelas Citra.
Linda dan Citra yang bertarung di dalam negeri sama-sama terakhir naik ring pada 2018. Citra sendiri absen lama karena cedera mata yang didapat pada pertarungan terakhir. Sementara Tati sempat mendapat panggilan bertarung di Singapura pada 2020.
Tati, Linda dan Citra kini berjalan di jalur terjal yang tidak semua orang punya nyali memilih opsi tersebut. Punya nyali untuk bertarung di ajang MMA.