Jakarta, CNN Indonesia --
Angga Yudha Trisnamers menangis seketika ketika kuncian rear naked choke miliknya membuat lawan terkapar. Jurus itu mengantarkan Angga menjadi juara baru dalam duel perebutan gelar juara kelas ringan One Pride.
Selain mendapat perih dan linu di badan lantaran sempat mendapat gebukan dan kuncian lawan, rasa campur aduk berkecamuk dalam hatinya.
Pria asal Solo, Jawa Tengah, itu senang bisa meraih sabuk juara tanpa didampingi pelatih. Terlebih Angga bisa membalikkan prediksi orang-orang karena dianggap underdog.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu lagi, Angga merasa kemenangan itu penegasan atas impian yang didambakan sejak lama.
"Saya sangat menyukai bela diri dari kecil. Saya ingin membuktikan diri kalau saya bisa menekuni bela diri dan bisa menjadi seperti pegangan hidup. Ya, kemenangan itu bikin saya makin mantap menjadikan MMA sebagai pegangan hidup," ujar Angga.
 Petarung MMA di level nasional masih banyak yang harus menjalani profesi ganda. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kemenangan membawa Angga ke kesuksesan baru dalam hal ekonomi. Sebelum menundukkan juara bertahan Jeka Saragih, yang merupakan kawan di luar ring, Angga mengaku tidak punya sponsor dan lebih sering mendapat uang dari menjadi pelatih.
"Karena kalau hanya mengandalkan uang dari pertarungan di Indonesia masih belum bisa. Kami dapat nilai plus dari melatih. Setelah lawan Jeka ya sedikit-sedikit ada. Kita mencari-cari. Ya ada satu-dua sponsor," aku Angga.
"Makanya saya berterima kasih atas acara-acara seperti ini [pertarungan MMA level nasional] karena banyak membantu insan-insan muda seperti saya untuk mengembangkan bakat dan mata pencaharian dari MMA ini," sambung pria yang juga memiliki sasana MMA tersebut.
Prihatin Bertarung di Dalam Negeri
Pengakuan Angga soal materi dari dunia MMA di Indonesia juga diakui banyak petarung level nasional lain, yang harus menjalani pekerjaan sampingan guna menjaga agar dapur tetap ngebul.
Memang, sulit bagi petarung profesional jika hanya mengandalkan pendapatan adu ilmu di dalam negeri.
Kendati sudah ada wadah yang juga kembali menggairahkan MMA di level nasional dan ditayangkan di televisi, seorang petarung tidak bisa sering tampil.
[Gambas:Video CNN]
Selain aturan kesehatan dan keselamatan yang tidak mengizinkan petarung tampil dalam waktu berdekatan, mereka juga harus menunggu giliran bertanding.
"Mereka [petarung] dibayar per pertandingan. Jadi mereka tidak dibayar lewat kontrak setahun. Biasanya mereka yang punya kualitas bisa bertarung tiga kali, jadi per empat bulan. Tetapi kalau menurun atau cedera, ya hanya dua kali dalam satu tahun. Semakin baik performanya semakin sering kita panggil," ujar Ketua Dewan Juri PT Merah Putih Berkibar promotor One Pride, Max Metino.
Para petarung pemula bisa dibayar di kisaran dua setengah juta rupiah untuk satu pertandingan. Nilainya bertambah dua kali lipat jika meraih kemenangan.
"Kalau dia menang submission ditambah bonus satu juta, menang KO dua juta. Ada lagi KO fight of the night mendapat bonus empat juta. Setiap menang uang tampilnya juga akan ditambah lagi, ditambah lagi sampai ada limitnya," sambungnya dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com pada awal 2020.
Seperti dikatakan Max, untuk bisa mendapat uang banyak dari dalam octagon, seorang petarung harus membuktikan kualitas dan meraih kemenangan demi kemenangan hingga berbuah cuan.
Fakta mengenai bayaran petarung lokal yang masih rendah tidak ditampik Ketua Komite Olahraga Bela Diri Indonesia (KOBI) Ardi Bakrie. Dia menyebutnya sebagai pembelajaran industri MMA di Indonesia yang baru semarak dalam beberapa tahun belakangan.
"Kesejahteraan, terus terang kalau misalkan kita bandingkan dengan promotor luar, Indonesia masih jauh di bawah. Itu bukan karena promotornya pelit atau bagaimana," ujar Ardi.
"Saya tidak menyalahkan mereka, tetapi apresiasi orang untuk memasang iklan [belum besar] atau olahraganya sendiri belum well develop, meski saya mempunyai keyakinan dan kepercayaan ini akan berkembang dengan pesat seperti halnya kita mulai 2016 sampai 2019," ucap Ardi.
Sementara itu CEO PT Merah Putih Berkibar, Fransino Tirta, menekankan MMA bukan tempat mencari uang banyak dalam waktu singkat. Menurutnya sebuah kesalahan besar jika orang mau menjadi petarung MMA hanya karena melihat kesuksesan segelintir orang.
"Buat yang baru mau tarung, bayarannya masih sangat rendah. Ini bahkan bisa dibilang tidak bisa jadi pekerjaan utama. Dia harus terus membuktikan dia adalah fighter yang bagus, dengan cara latihan, tanding, menang, dan kembali latihan, tanding, menang. Sehingga dia diakui sebagai fighter yang jago dan lihai, jadi bayaran semakin tinggi," ucap Fransino.
"Jangan Anda melihat Conor McGregor sukses dapat duit jutaan dolar terus mau jadi seperti itu. Pasti akan sangat berat," imbuh Fransino lagi.
Kendati guyuran uangnya tak terlalu banyak, para petarung menganggap arena MMA tetap memberi dampak ekonomi.
Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ketika MMA tidak memiliki event skala nasional yang menjangkau masyarakat luas, kondisi saat ini dianggap lebih baik.
Suwardi, mantan juara MMA, yang sudah lama malang melintang di pelbagai ajang nasional sejak 2000-an merasakan betul kesulitan ekonomi ketika MMA belum populer di Indonesia. Ada berbagai kebutuhan keluarga yang juga harus ia penuhi di saat fokus merintis karier di MMA.
"Kayak punya ambisi besar, tapi enggak lihat bensin. Akhirnya enggak seimbang. Ada kalanya saya enggak terlalu fokus mengembangkan MMA. Saya jualan bakso, saya kuli pasar, ya pekerjaan kasar," ucap Suwardi.
Kisah Theodorus Ginting pun serupa. Pahit getir ia rasakan ketika MMA masih dilirik sebelah mata oleh sponsor-sponsor berkantung tebal. Sebuah kondisi yang tak mudah dipahami keluarganya yang tidak memiliki latar sebagai atlet.
"My family has no idea what can you do as an athlete to survive living. Pembuktian saya berat banget karena kesejahteraan atlet bukan sesuatu yang diperhatikan. Sekarang ada One Pride, okelah bisa jualan ke brand A brand B. Dulu tidak ada yang peduli," sambung Theo yang dijuluki Singa Karo.
Saat ini petarung sebenarnya belum bisa 100 persen mengandalkan uang dari bertanding. Tak ayal kebanyakan dari mereka pun harus mendapat pemasukan dari melatih. Ada banyak opsi yang bisa diambil, mulai dari menjadi pelatih privat, muaythai, tinju, hingga pelatih bagi mereka yang ingin menaikkan/menurunkan berat badan.
"Zaman dulu tidak ada. Saya mulai pelan-pelan karier saya jadi pelatih dari 2010 sampai detik ini. Saya melatih profesional dalam arti itu mata pencaharian saya. Saya melatih untuk membiayai latihan saya sendiri karena harus bayar si A, si B harus beli suplemen," ungkap Theo yang memiliki sasana di daerah Pluit, Jakarta Utara.
 Membangun sasana menjadi salah satu alternatif atlet MMA mendapat penghasilan. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Seperti diungkap Theo, hal lain yang bisa dilakukan seorang atlet MMA untuk mendapat uang selain dari pertandingan adalah sponsor.
Dengan keberadaan ajang rutin dan eksposur media televisi, pihak sponsor perlahan membuka diri terhadap proposal-proposal yang masuk dari para atlet. Namun lantaran MMA masih belum semasif sepak bola atau badminton, pihak pemodal baru mau mengucurkan dana apabila atlet tersebut sudah memiliki nama.
Di era sekarang, popularitas atlet MMA bukan cuma perihal catatan rekor tarung dan sabuk juara. Media sosial menjadi salah satu nilai plus bagi seorang atlet jika ingin mendapat sponsor.
"Bukan hanya faktor kemenangan, tapi proposal jualan diri istilah kata. Yang pasti follower banyak itu enggak bisa dibohongin. Orang Indonesia itu masih menjunjung budaya timur. Attitude, kesopanan, humble, itu dihargai dan bagaimana masyarakat lihat fighter dan itu bisa jadi nilai jual," ucap Suwardi yang pernah menyandang status juara One Pride.
Bisnis di luar bidang pertarungan juga menjadi opsi beberapa atlet yang sudah berhasil mengumpulkan uang. Salah satunya Billy Pasulatan, yang sukses berbisnis penyewaan mobil, sound system, dan kos-kosan.
"Semenjak di MMA ada banyak rezeki yang masuk ya kita putar di tempat usaha. Karena sudah berkeluarga ya harus pikir masa depan jangan sampai habis," ujar petarung asal Minahasa, Sulawesi Utara.
"Bukan cuma dari bertarung saja, kita enggak harus berpatokan di satu tempat. Kita harus cari yang lain juga, kalau yang kita usahakan macet kan agak susah juga, jadi harus ada sampingannya," tambah Billy.
Satu cara lagi untuk mendapatkan uang banyak di ajang MMA adalah dengan bertarung di level internasional. Sudah banyak atlet Indonesia yang merasakan bayaran berkali-kali lipat dibanding ajang lokal, meski tak menjadi juara.
Namun, untuk bertarung di octagon atau ring internasional tidak sembarangan. Seorang petarung harus menjadi juara dalam turnamen pencarian bakat yang diselenggarakan sebuah promotor asing.
Biasanya promotor asing tersebut hanya membuka kesempatan bagi atlet-atlet dari sasana tertentu yang sudah memiliki nama dan reputasi baik. Di Indonesia, hanya beberapa sasana yang sudah langganan mengirimkan atlet MMA.
Belakangan promotor MMA internasional yang berbasis di Singapura, ONE Championship, juga menjalin kerja sama dengan sebuah promotor MMA Indonesia untuk menggaet talenta lokal agar bisa bersaing di level global.
Setelah mendapat kesempatan masuk ajang internasional tak jarang atlet-atlet Indonesia harus berhadapan dengan petarung-petarung top berstatus juara atau mantan juara dan berakhir dengan kekalahan di laga debut.
 Adrian Mattheis, salah satu petarung Indonesia yang berlaga di ajang MMA luar negeri. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
"Ada kalanya fighter kita main untuk menaikkan fighter lawan. Misal ada si A dari Filipina mau naik, dia perlu rekor dikasih [lawannya] orang kita. Tati dulu awal-awal main begitu, tetapi itu tiket buat kita," ujar Yoko Arthi Budiman pemilik sasana Siam mengisahkan awal mula Priscilla Hertati Lumban Gaol masuk octagon di pentas Asia.
Tati kini menjadi salah satu petarung asal Indonesia yang memiliki peringkat di kelas atom putri ONE Championship.
"Kalau sudah besar kayak Tati, iklannya sudah besar, berapa duit tuh. Gede sudah, bisa buat pendapat dia sendiri gede banget," sebut Yoko mengenai pendapatan Tati dari sisi iklan.
 Selain menjadi atlet wushu, Priscilla Hertati Lumban Gaol juga tampil di ajang MMA internasional. (Arsip Pribadi) |
Dengan pendapatan besar yang bisa mencapai ratusan juta rupiah, khusus dari pertarungan saja, atlet-atlet MMA di level internasional dituntut serius pada pekerjaan sebagai petarung.
Istilah petarung profesional yang berarti benar-benar mengandalkan pertarungan sebagai mata pencarian atau cara mencari uang, lebih pas jika disematkan pada atlet yang berlaga di luar negeri.
Para petarung benar-benar hanya berlatih tanpa menjalani profesi lain, kecuali mungkin menjadi bintang iklan serta menjadi personal trainer bagi satu-dua orang tertentu saja.
Jika sudah sampai pada tahap ini maka keseriusan dan komitmen sebagai fighter dituntut lebih dan tidak ada kata setengah-setengah lagi.
"Jadi fighter yang sukses itu enggak bisa jadi pekerjaan sampingan apabila mau sukses. Fighter sukses kalau berlatih. Idealnya fighter harus berlatih tiap hari dan itu dua tiga kali dalam sehari."
"Untuk jadi fighter yang sukses, ya MMA ini jadi pekerjaan. Enggak bisa sampingan, pagi ke kantor, malam latihan. Saya rasa itu sulit untuk bertanding di level tertinggi, yang lawannya latihan pagi siang malam. Itu sulit bagi orang yang menganggap MMA jadi sampingan," ucap Fransino yang pernah bertarung di China dan Hong Kong.