Jakarta, CNN Indonesia --
Akrab dengan sepak bola sejak kecil, Adrian Mattheis justru meraih ketenaran sebagai petarung MMA. Ia bahkan hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk menaklukkan olahraga yang penuh baku hantam tersebut.
Petarung yang dijuluki Papua Badboy ini pun telah menjadi segelintir atlet Indonesia yang telah berlaga di luar negeri bersama ONE Championship.
Adrian mengaku ketartarikan awalnya pada ajang bela diri campuran berawal dari sakit hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebetulan saya sekolah tinggi kedinasan, biasanya senior suka usil. Dari situ muncul keinginan bisa bela diri supaya bisa jaga saya punya diri. Dari situ saya mengenal MMA," ujar Adrian ketika ditemui CNNIndonesia.com pada Maret 2020 lalu.
Kebetulan di sekolah tinggi tempat Adrian menimba ilmu ada seorang dosen dan instruktur yang merupakan salah satu mantan petarung MMA di era 2000-an, Zuli Silawanto. Ketika pengenalan siswa baru di aula, pihak kampus sempat memutarkan video pertarungan sosok yang dipanggil Adrian master Zuli.
"Saya lihat dan saya pikir, 'Wah pace ini ada di televisi. Besok kita tidak boleh melawan dia. Kalau melawan kita dapat tampar sampai rusak'," cerita Adrian sebagai anak baru di kampus pada 2013.
Dari video itu, keinginan Adrian untuk mengikuti jejak Zuli timbul. Namun ia tidak langsung menyatakan keinginannya untuk dilatih. Adrian yang berstatus sebagai mahasiswa baru tingkat pertama masih memilih menekuni sepak bola. Apalagi Adrian sudah mengenal olahraga yang populer di Indonesia itu sejak masih kecil di Sorong, Papua Barat.
"Semua anak-anak Papua ingin jadi kaka Boaz [Solossa]. Adrian main bola di Sorong, di kampus ini juga main di liga mahasiswa di Asmaja [Asosiasi Sepakbola Mahasiswa DKI Jakarta]. Puji Tuhan bisa top skor, saya memang posisi jadi striker."
Ingatannya kemudian terlempar pada masa kecil, ketika ia hanya bermain bola di pantai karena tak ada sekolah sepak bola di Sorong.
"Kalau mama tidak datang pukul, kita tidak berhenti. Biasa main di pantai dari SD, SMP, SMA. Bahkan dulu ada liga pendidikan SMP ikut turnamen SMA juga," kenang Adrian yang pernah bermain di tim junior Persiram Raja Ampat.
 Adrian Mattheis belum mengenal ilmu bela diri hingga 2014. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Menapaki tahun kedua di sekolah kedinasan adalah masa perkenalan Adrian dengan MMA dan sekaligus perpisahan dengan sepak bola. Kritikan para senior jadi pemicunya. Ada celetukan-celetukan yang menganggap Adrian tidak becus mengawasi adik-adik di kampus.
Ucapan-ucapan itu membuat Adrian gerah. Makin bulat tekad pemuda kelahiran Ambon, Maluku, itu berguru pada Zuli yang pada 2014 masih aktif bertarung.
Niat Adrian menekuni beladiri MMA awalnya diragukan Zuli. Maklum, Zuli sudah banyak menemui orang-orang yang ingin berlatih MMA, namun kemudian tidak tekun dalam berlatih dan menyerah dalam waktu singkat.
[Gambas:Video CNN]
Mengetahui ragu dari sang dosen, Adrian pun semakin tertantang menunjukkan keseriusan.
"Kebetulan saya punya kawan dari Kalimantan. Dia salat subuh kan. Saya bilang, 'Kalau kau salat subuh, kasih bangun saya biar saya juga cuci muka dan latihan fisik'. Jadi dia ambil air wudu, saya latihan biar dilihat pak Zuli, 'Oh anak ini niat'," kata pemuda kelahiran 1993 itu.
Adrian benar-benar baru berlatih MMA pada 2014 atau pada usia 20, tanpa dasar ilmu bela diri apapun. Peraih medali perunggu cabang olahraga kickboxing pada SEA Games 2019 itu pun kemudian berlatih di sasana yang berada di dalam kampus.
Dalam perjalanannya, Adrian tak hanya ditangani satu pelatih saja. Ada sekitar empat orang yang membimbing Adrian menempuh proses kehidupan baru.
Latihan yang dijalani Adrian tidak mudah. Jika boleh, Adrian pun ingin memilih tidak latihan pagi yang ia sebut sebagai siksaan karena begitu menguras fisik.
Selain latihan fisik, Adrian pun harus menjalani latihan teknik serta sparring. Semua harus dijalani selama tujuh hari dalam seminggu. Kadang saja Adrian berlatih empat sampai lima kali satu pekan.
"Sebenarnya dari kita punya pola pikir. Kalau hidup selalu bersyukur ya tidak ada yang berat, semua saya nikmati. Istilahnya hati yang gembira itu obat, jadi kalau latihan senang-senang saja pasti tidak capek. Sebenarnya capek, tapi karena kita sudah di sini ya sudah kita jalani," jawab Adrian soal kesehariannya.
"Latihan pagi itu memang paling menguras tenaga. Itu keringat jagung. Tapi ya saya nikmati, syukuri karena itu harus disyukuri, karena saya sudah jalani ini, ya harus dijalani. Jadi hidup ini adalah pilihan," tambah pria yang pernah bekerja menjadi pengawas scuba diving di Raja Ampat selama tiga bulan sebelum kembali ke Jakarta dan benar-benar menjadi petarung profesional.
Sempat menjalani pertarungan amatir dan profesional di kawasan domestik, pintu berlaga di kancah internasional terbuka pada 2016. Sebuah ajang MMA mengadakan turnamen untuk menjaring bakat-bakat asal Indonesia.
Adrian sukses menjadi juara dan kemudian mendapat kontrak dari ONE Championship.
Namun tekad tampil sebagai atlet MMA profesional ternyata tidak dibarengi restu orang tua. Pasalnya, Adrian tidak memberitahu keluarga mengenai karier sebagai petarung.
"Waktu main pertama disiarkan di televisi. Mama telepon, mama tanya, 'Kamu di sana kuliah atau bermain?'. Saya bilang saya kuliah mama. 'Itu kemarin om-om nonton kau punya video katanya di televisi kau tanding tinju'. Saya balas, 'Ah mama salah, itu nama Adrian banyak'. Tapi kan kita orang timur pakai marga jadi mama bilang, 'Ya, nama Adrian banyak, tapi marga Mattheis itu cuma satu saja'."
"Langsung saya bilang, 'Astaga mama su tahu'. Ya dari situ saya pelan-pelan kasih tahu," jelas Adrian sambil tertawa menceritakan awal mula orang tua mengetahui ia menjadi atlet tarung profesional.
Anak kedua dari tiga bersaudara itu menyatakan sang ibu sampai saat ini tidak mau melihat dia bertarung. Adrian menilai wajar karena seorang ibu yang sudah mengandung selama sembilan bulan tidak mau melihat anaknya dipukul orang lain. Sementara sang ayah mendukung apa yang membuat anak laki satu-satunya bisa senang.
Adrian bersyukur dengan tampil sebagai petarung MMA bisa banyak membantu orang tua dan keluarga.
"Sekarang meski saya tarung, mama tidak nonton, mama cuma di kamar, saya mau coba angkat derajat mama dan bapak lebih baik dari MMA ini," ujar Adrian.
"Orang-orang juga lihat Adrian punya mama dan bapak itu bukan kaleng-kaleng. Maksudnya mereka itu dipandang di kampung. Waktu Adrian jadi pemain MMA orang-orang bikin penerangan, bikin jalan baik-baik di kampung. Mama dan bapak juga terpandang di sana," sambungnya.
Jalan Karier yang Tak Mudah
Jalan Adrian jadi petarung jagoan di pentas MMA sendiri tak mudah. Di awal kariernya di ONE Championship, Adrian sempat kalah tiga kali beruntun ketika berhadapan dengan lawan-lawan dari luar negeri.
Sebagai pendatang baru, Adrian ketika itu harus melawan petarung-petarung senior yang sudah memiliki ranking 10 besar di kelas straw atau bobot antara 52,3 kg-56,7 kg. Adrian pun mengakui lawan yang dihadapi bukan sembarangan.
Rentetan kekalahan tidak membuat Adrian kecewa dan menyerah. Alih-alih melempar handuk, petarung yang mempelajari muaythai, kickboxing dan gulat itu malah penasaran.
Setelah itu Adrian lebih sering menang ketimbang kalah. Total kini catatan sembilan menang dan lima kali kalah menjadi rekor Adrian di atas ring.
Belasan pertarungan sejak 2014 hingga 2019 tak cuma menghasilkan rekor menang kalah. Adrian menghasilkan uang yang tidak sedikit. Dalam kontrak disebutkan Adrian bisa bertarung enam kali dalam satu tahun dan sudah meraup Rp700-800 juta selama lima tahun berkarier sebagai petarung profesional.
"Uang sudah lari ke rumah, bantu orang tua. Wujudnya tidak kelihatan, tapi ada bentuknya. Puji Tuhan kalau ada fight lagi rencana mau beli mobil buat hadiah ulang tahun bapak, tapi lagi corona ya, saya tahu ini Tuhan sudah atur. Pernah mama bilang ke saya kalau rezeki tidak ke mana, kalau memang buat kita tidak lari ke orang lain," ucapnya.
Selain membantu keluarga di kampung, Adrian juga mendapat apresiasi dari sang guru. Zuli menyebut Adrian punya kepedulian tinggi terhadap sesama.
Sebagai pemeluk agama Kristen, Adrian tak jarang menyumbang untuk rumah ibadah agama lain seperti wihara dan masjid.
Bagi Adrian kebiasaan itu dibangun atas dasar toleransi dalam kehidupan yang diajarkan orang tua, serta dimantapkan oleh lingkungan kampus dan pengalamannya bertarung sebagai atlet MMA. Adrian merasa hidupnya bisa seperti sekarang tidak lepas dari doa kawan-kawan dari berbagai agama.
Menurut Adrian, perbedaan agama bukan jadi penghalang orang-orang saling berbuat baik. Adrian pun tak ingin kembali dihadapkan pada kerusuhan yang melibatkan agama seperti yang dialaminya waktu kecil di Ambon.
"Jadi saya memang salah satu korban Ambon-Ternate tahun 1999, tapi mama dan bapak kasih mindset kita orang hidup bersaudara. Kita mati ya itu urusan kita dengan Tuhan. Tetapi kita di dunia hidup berbaur," tutur Adrian yang baru pindah ke Sorong saat masih enam tahun setelah dijemput sang ayah dari Papua.
 Rasa lelah dalam berlatih tak membuat Adrian Mattheis menyerah menjadi petarung profesional. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Julukan Papua Badboy yang didapat lantaran tidak mau mendengar instruksi pelatih saat bertarung, seolah tak tampak dari perilaku Adrian sehari-hari.
Bagi petarung yang berada di bawah naungan sasana Tiger Shark Fighting Academy tersebut, beda kehidupan di atas ring, beda pula di luar ring.
Pengoleksi empat kemenangan KO, 4 submission, dan 1 angka itu selalu ingat ajaran orang tua dan pelatih yang mengutamakan persaudaraan dan tidak mencari musuh. Adrian pun kian memahami baku pukul di dalam ring tak elok dibawa ke luar ring.
Pernah menjadi biang keributan sewaktu SMP, Adrian kini ingin memberi sesuatu berkat kemampuan bertarung di MMA.
"SMP dulu saya hampir setiap hari [berkelahi]. Istilahnya kalau berantem tidak ada saya, roti rasa tawar. Harus ada Adrian. Memang dulu saya ini kepala angin, paling nakal, kalau berkelahi paling depan," ceritanya.
"Tapi saya tidak seperti itu lagi. Sejak SMA sudah berubah karena tinggal di asrama biasa hidup sama-sama susah. Sekarang Adrian juga mau ubah pola pikir orang-orang soal anak-anak Indonesia Timur yang katanya suka berkelahi di jalan."
"Saya mau kasih lihat anak-anak timur itu bisa bersaing di internasional juga."