Salah satu kunci kami berhasil di Olimpiade 1988 itu juga mungkin karena saya berhasil bangkit dari keterpurukan pada 1985.
Pada 1985 saya merasa benar-benar terpuruk dalam hal prestasi. Ketika persiapan di SEA Games Bangkok saya menjadi orang keempat dalam tim.
Kalau untuk level Asia Tenggara satu tim itu berisikan empat orang, sedangkan di Olimpiade tiga orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya jadi orang keempat karena peringkat saya di posisi empat se-Indonesia. Saya tidak menginginkan itu. Dengan di posisi keempat saya merasa gagal.
![]() |
Sejak masuk Pelatnas pada 1981 saya bisa di posisi tiga besar, tetapi pada 1985 saya di posisi keempat. Bagi saya, saya ini harus di atas tiga besar.
Saya mengalami kejenuhan pada masa-masa itu. Ada sesuatu yang mengganjal saya, banyak masalah juga. Tetapi semua itu jadi pelajaran, jadi acuan bagi saya.
Setelah tahu hasil buruk itu saya konsultasi dengan pelatih. Pelatih pun akhirnya mengerti kalau saya tidak bisa jalan sendiri, saya masih harus dibimbing. Sampai akhirnya saya bangkit lagi.
Dari keterpurukan itu saya belajar, dari kegagalan itu saya belajar. Alhamdulillah, 1986, 1987 dilalui dengan baik, sampai akhirnya berhasil di Olimpiade 1988.
Secara menyeluruh perjalanan karier saya selama menjadi atlet sejak 1981 hingga 2000 di Pelatnas lancar-lancar saja. Prestasi juga cukup bagus.
Alhamdulillah, pada event pertama saya setelah masuk Pelatnas, saya bisa meraih medali di SEA Games 1981.
Di SEA Games 1981 itu saya dapat medali emas di jarak 60 meter. Di level Asia Tenggara tersebut saya dapat dua medali dari nomor perorangan, emas dan perak, lalu di beregu dapat emas.
Prestasi saya berlanjut ke 1982 waktu di Kejuaraan Asia Panahan di New Delhi, India. Dari kontingen Indonesia, saya satu-satunya pemanah putri yang berangkat, sedangkan di kategori putra 3 orang yang berangkat ke India.
Di New Delhi saya menempati peringkat sembilan se-Asia. Saya tidak berhenti berprestasi ketika itu. Dalam setiap tahun, dari 1982, 1983, 1984, 1985 selalu ada pencapaian yang saya raih. Kalau untuk level Asia Tenggara, di SEA Games, saya selalu bisa bawa pulang medali emas.
Kalau ada turun naik selama jadi atet itu dijadikan acuan saja, pasti ada masalah. Seperti 1992 ketika mau menghadapi Olimpiade di Barcelona. Waktu itu masih dengan almarhum Coach Donald Pandiangan.
Pada 1992 itu beliau juga masih keras karakternya, terutama dengan teman-teman junior. Ketika itu tim saya berubah, tidak lagi dengan Lilies dan Kusuma. Saya, waktu itu dengan Purnama Pandiangan dan Rosena Gelante.
Tujuan almarhum keras itu supaya atlet yang baru lebih kuat mentalnya daripada saya. Hanya saja, ternyata saya sudah tidak bisa mendengar almarhum bicara keras-keras. Jadi saya sempat pergi meninggalkan Pelatnas, pulang ke rumah.
Saya pulang kira-kira satu minggu. Lalu saya dipanggil KONI, ada konsultasi dengan psikolog. Kami mengobrol bertiga.
Dalam proses mediasi dan konsultasi itu semuanya terbuka. Jadi memang irama latihan untuk saya tidak bisa disamakan dengan atlet yang baru seperti Purnama dan Rosena.
Almarhum Bang Pandi itu orangnya juga keras. Kalau ngomong beliau itu keras. Dari situ juga saya belajar kalau menangani atlet baru dan senior tidak bisa sama.
Setelah pensiun, saya menjadi pelatih panahan sejak 2015, sekaligus menjadi karyawan di Bank DKI. Dari perusahaan juga dapat dispensasi. Maka dari itu perjalanan saya sebagai atlet dan pelatih juga lancar-lancar saja.
Saya tertarik jadi pelatih dengan tujuan meningkatkan prestasi adik-adik. Tentunya maunya lebih bagus daripada saya.
Jadi apa yang pernah saya alami akan saya bagi kepada junior-junior. Kondisi zaman dahulu dengan sekarang memang berbeda. Begitu juga dengan teknik. Fokus saya yang utama sebagai pelatih ke masalah teknik.
Teknik sekarang tidak bisa seperti dahulu. Kalau masalah mental kita lihat individunya. Ada yang fokus ke motivasi juara, mendapatkan ini, mendapatkan itu.
Masing-masing atlet punya target berbeda. Ada juga yang ingin membuktikan kepada orang tua. Dari pengalaman saya sejak jadi pelatih seperti itu motivasi para atlet.
Dengan begitu, masukan untuk setiap atlet juga berbeda-beda. Tidak bisa disamakan satu dengan yang lain.
Saya merasa bersyukur dengan segala pencapaian di dunia panahan hingga saat ini. Saya memulai karier dengan memiliki keluarga yang juga berasal dari panahan, kakak ipar saya Zefilia yang juga atlet panahan.
Bahkan, saya pernah satu tim dengan kakak ipar saya itu, kira-kira tahun 1982 atau 1983. Rasanya agak bagaimana bisa satu tim dengan keluarga. Yang pasti saya tidak pernah ingin kalah dari dia.
Keluarga pihak pertama yang selalu mendukung karier saya. Waktu memulai karier, saya sering di antar orang tua ketika baru-baru latihan. Saya berterima kasih kepada keluarga saya, keluarga besar Saiman, khususnya kakak ipar saya.
Terima kasih juga untuk tempat saya bekerja, tempat saya kuliah waktu tahun 1980-an, alhamdulillah semuanya lancar. Tidak lupa kepada pelatih-pelatih yang percaya dengan saya, yang pernah bekerja sama dengan saya.
(sry/har)