Momen meraih medali perak Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan, dan perunggu di Kejuaraan Dunia Panahan 1995 di Jakarta jadi prestasi terbaik saya dalam karier di panahan.
Kalau 1988 itu medali pertama Indonesia di Olimpiade sejak ikut kali pertama di Helsinki, Finlandia, pada 1952.
Saya meraihnya bersama Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani. Kami dikenal sebagai Tiga Srikandi itu. Jadi, setelah 36 tahun ikut Olimpiade, Indonesia baru bisa dapat medali pada 1988.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istilahnya waktu di Olimpiade 1988 kami membuka jalan medali untuk Indonesia. Karena setelah itu, Indonesia selalu dapat medali di Olimpiade.
![]() |
Sedangkan 1995 itu medali pertama Indonesia di Kejuaraan Dunia Panahan. Tetapi saya sudah tidak lagi bersama Lilies dan Kusuma. Tim saya berubah. Waktu perunggu Kejuaraan Dunia 1995 itu dengan Hamdiah dan Dahliana.
Meski sama-sama mencatatkan sejarah di dunia panahan Indonesia, tetapi momennya berbeda. Rasanya juga berbeda.
Olimpiade itu kan pesta olahraga, serta semua cabang olahraga, sifatnya multievent. Sedangkan Kejuaraan Dunia, ya hanya panahan itu saja.
Sudah tentu yang paling berkesan itu adalah Olimpiade, ketika meraih medali perak di Olimpiade 1988 itu. Karena pesta olahraga, semua atlet pasti sangat ingin sekali mengikuti pesta olahraga itu.
Keinginan tampil di Olimpiade itu dimulai ketika saya mengenal panahan pada 1979. Setahun kemudian, pada 1980 saya langsung mengikuti kejuaraan nasional, Kejurnas.
Dari Kejurnas itu diambil 10 orang terbaik untuk persiapan SEA Games 1981 di Manila, Filipina, dan saya termasuk 10 orang tersebut.
Pada momen perkenalan dengan panahan, saya diajak kakak ipar saya, Jeffilia Hambali, berlatih di lapangan Senayan.
Setiap sore saya diajak kakak ipar saya itu, sehabis pulang sekolah. Kami berlatih dan dulu saya belum memiliki teman.
Sudah begitu saya yang paling kecil sendiri di tempat latihan itu, usia saya pada waktu itu kira-kira 17 tahun.
Pada masa-masa tersebut kan olahraga panahan masih langka, dan orangnya yang berlatih juga sudah berumur semua.
Meski paling kecil, saya terus berlatih. Sampai akhirnya ada senior yang memperhatikan saya. Kemudian saya dipinjamkan beliau peralatan panahan.
Dalam kesempatan berlatih itu, ternyata fisik saya dianggap mampu, dianggap memadai. Saya dianggap punya bakat atlet. Dari situ akhirnya berlatih serius hingga akhirnya saya mengikuti Kejurnas 1980.
Berdasarkan hasil Kejurnas 1980 saya menempati ranking 10 dan masuk Pelatnas panahan. Di Pelatnas saya lagi-lagi yang paling junior. Pelatnasnya untuk persiapan Asia Tenggara, untuk SEA Games 1981.
Dari seleksi persiapan yang awalnya 10 orang itu kemudian diambil menjadi 6 besar. Kira-kira mendekati hari H atau satu bulan sebelum SEA Games 1981 ada pengurangan atlet lagi, dari 6 diseleksi menjadi 4 besar. Alhamdulillah, saya masuk 4 atlet itu.
Pada waktu persiapan SEA Games 1981 itu belum ada Tiga Srikandi. Jadi Lilies dan Kusuma belum masuk Pelatnas. Di antara kami bertiga, saya yang lebih dahulu masuk Pelatnas, saya yang paling senior.
Setelah masuk Pelatnas sejak 1980, saya bertemu Kusuma Wardhani pada 1983. Kusuma anggota Tiga Srikandi pertama yang bertemu saya di Pelatnas.
Dulu belum ada istilah senior dan junior seperti sekarang. Semuanya menyatu. Sedangkan dengan Lilies bertemu pada 1985 waktu persiapan SEA Games di Bangkok, Thailand.
Meski sama-sama di Pelatnas sejak 1985, tapi justru baru jadi satu tim pada awal 1988. Sebenarnya kami bertiga ini bukan disatukan, namun berdasarkan hasil seleksi.
Ketika persiapan Olimpiade 1988, sejak awal tahun ada 5 orang yang mengikuti seleksi: Saya, Kusuma Wardhani, Lilies Handayani, Fitrizal Iriani, dan Tanti.
Tetapi, dua bulan mendekati Olimpiade 1988, dua dari lima orang ini dicoret berdasarkan hasil seleksi. Dipilih tiga atlet untuk pemantapan ke Korea Selatan. Tiga orang itu ya kami ini: Saya, Lilies, dan Kusuma.
Tiga orang itu terpilih berdasarkan hasil seleksi, ada poin dan peringkatnya waktu seleksi. Sejak awal 1988 kami mengikuti beberapa tes, di situ jadi ajang seleksi, ada parameternya.
Bisa dibilang kami Tiga Srikandi ini yang menempati tiga besar, kami tiga yang terbaik. Jadi bukan terpilih karena ditunjuk.
Lagipula dalam persiapan Olimpiade tersebut kami bukan kali pertama bertemu di Pelatnas, tapi sudah lama. Kami bertiga sudah sering berhadapan di kejuaraan nasional, jadi memang sudah hapal karakter masing-masing. Ya dihitung saja. Saya dengan Kusuma bertemu pada 1983, dengan Lilies pada 1985.
Persiapan Olimpiade 1988 tidak saja digelar di Jakarta, tetapi juga di Sukabumi, Jawa Barat. Pertimbangannya karena faktor cuaca yang dingin di Korea.
Di Sukabumi kami berempat bersama almarhum Coach Donald Pandiangan satu pendopo. Di sana tidak bisa ke mana-mana, mau makan ada yang masakin.
Coach Donald itu pembawaannya keras. Saya sendiri cukup lama mengenal almarhum, sewaktu beliau menjadi atlet.
Saya tidak sebaya dengan beliau, karena Bang Pandi lebih tua 5 atau 6 tahun dari saya, tidak sampai 10 tahun. Almarhum itu lebih dahulu jadi atlet. Tapi begitu jadi pelatih, karakternya tambah keras.
Almarhum itu lepas busur (pensiun) sekitar 1987, lalu langsung pegang kami jadi pelatih tahun 1988. Pokoknya, waktu Pelatnas dengan beliau jelang Olimpiade 1988 itu kami tidak pernah dibilang benar-benar sempurna.
Tapi akhirnya saya berpikir, fungsinya dia seperti itu untuk apa? Ya, biar kita percaya diri, bahwa apa yang kita lakukan itu benar. Semacam mental training.
Anak ini kira-kira goyang tidak. Jadi kita harus berpikir keras juga, berpikir positif bahwa apa yang kita lakukan itu sudah benar.
Waktu bertanding di Olimpiade 1988 juga kami dilepas, tidak dituntun, tidak ada arahan. Beliau hanya mendampingi di belakang. Istilahnya beliau itu sudah percaya betul dengan kami.
Almarhum itu menjaga dari belakang, karena sudah hapal karakter kami. Jadi memang kita berempat sudah sehati. Dengan kekerasan itu fungsinya banyak, pada saat itu.
Sampai akhirnya kami meraih medali perak, yang jadi medali pertama bagi Indonesia di Olimpiade. Dari situ nama Tiga Srikandi muncul. Cukup banyak penghargaan dan apresiasi yang kami terima dari Tanah Air.
Satu bulan sebelum ke Olimpiade 1988 itu kami keliling Eropa, berlatih dan mengikuti kejuaraan di sana. Terakhir kami di Jerman. Di sana kami meraih peringkat ketiga untuk beregu, di nomor perorangan saya juga menempati peringkat ketiga.
Dengan modal di Eropa tersebut, kami cukup memiliki keyakinan di Olimpiade 1988. Istilahnya, saat di Eropa saja kami bisa, kenapa di Olimpiade tidak bisa?
Pertandingan di Olimpiade cukup menegangkan. Hanya saja, kami berpikir, lebih baik fokus dengan apa yang sering kami lakukan. Kami cukup memiliki keyakinan bisa meraih medali di Olimpiade 1988.
Peraturan di Olimpiade waktu itu, meski kategori beregu, tetapi penilaiannya seperti perorangan, jarak tembaknya juga masih berubah-ubah, dari 30 meter, 50, 60, 70 meter.
Waktu di jarak 30 meter, poin Indonesia sempat unggul atas tuan rumah Korea Selatan. Indonesia di peringkat pertama untuk jarak pendek. Indonesia baru ketinggalan dengan Korea Selatan di nomor jarak jauh.
Poin Indonesia dengan Amerika Serikat sama di jarak 70 meter. Akhirnya dua negara itu diadu kembali untuk memperebutkan medali perak. Korea Selatan sudah dipastikan dapat medali emas.
Pada momen menentukan itu ketiga pemanah dari masing-masing negara mendapat kesempatan menembak. Saya menjadi orang terakhir dari tim Indonesia yang menembak. Waktu itu saya meraih poin 9, dan Indonesia meraih medali perak.
Lihat juga:7 Bencana Barcelona dalam 6 Bulan Terakhir |
Setelah Olimpiade ada apresiasi dari perkumpulan dokter, kami juga diberangkatkan umroh. Tapi bukan dari pemerintah, umroh itu dari sponsor.
Dahulu ada beasiswa Supersemar untuk membantu kami. Semacam bantuan bulanan, karena kan masih ada yang kuliah.
Tahun 1988 itu saya masih kuliah di Perbanas. Kebetulan kampus saya juga mengerti kegiatan saya. Di sana juga kan banyak atlet-atlet dapat beasiswa juga dari sana.
Jadi kalau saya lagi off, ada dispensasi dari dosen, tapi tidak ada keringanan nilai. Waktu itu saya ikut Olimpiade 1988 dahulu baru menyelesaikan skripsi setelahnya.