Charis Yulianto: RD dan Kisah Pilu Piala Asia 2007
Kisah jatuh cinta saya terhadap sepak bola dimulai di usia 12. Saya mengenal sepak bola sejak masih kanak-kanak di Kesamben, Blitar, Jawa Timur.
Kecintaan saya pada sepak bola bukan datang karena dorongan keluarga. Dari sembilan bersaudara, hanya saya satu-satunya yang menggeluti sepak bola sampai bisa berkarier sebagai pemain profesional.
Sebenarnya ada juga kakak yang menyukai olahraga badminton. Bedanya, kesukaan kakak saya itu tidak sampai membawa dia berkecimpung di level nasional.
Bakat yang saya kali pertama tercium saat bermain di Pekan Olahraga Pelajar Nasional. Dari sana pintu untuk bisa berkarier sebagai pemain profesional perlahan terbuka saat masuk Persebaya Surabaya junior tahun 1994.
Saya seangkatan dengan Uston Nawawi dan sempat berstatus pemain magang di tim utama Persebaya. Pada 1995 saya bersama Uston terpilih masuk skuad PSSI Baretti untuk menimba ilmu di Italia selama satu tahun.
Bisa berangkat ke Italia ibarat mimpi yang jadi kenyataan. Jujur, saya pernah berangan-angan untuk bisa menimba ilmu di sana setelah melihat PSSI Primavera berangkat ke Italia.
Tetapi angan-angan itu tidak seindah di kenyataan. Saya yang waktu itu belum genap 20 tahun sudah harus pergi jauh dari orang tua. Suatu tantangan yang berat apalagi ada begitu banyak hal baru yang tidak pernah saya tahu sebelumnya.
Proses adaptasi di sana berat. Bukan hanya untuk saya saja, tetapi semua pemain. Mulai dari cuaca, makanan, bahasa, dan lingkungan di sana benar-benar berbeda.
Saya baru lumayan bisa beradaptasi setelah dua minggu meski tetap belum terbiasa dengan makanannya. Alhasil, kami pemain-pemain PSSI Baretti yang baru datang dari Indonesia suka beli beras sendiri.
Kami masak sendiri karena lidah belum terbiasa dengan makanan di sana. Dulu Ellie Aiboy jadi juru masak makanan andalan kami semua, he..he.he
Seingat saya kami juga dapat gaji US$250 setiap bulannya. Uang yang kami dapat itu sebenarnya dicukup-cukupkan saja untuk kebutuhan selama di sana. Terkadang kami ditertawakan penduduk di sana yang tahu dengan gaji yang kami dapat. Mereka bilang uang sejumlah itu hanya bisa beli untuk beli cokelat di Italia.
Terlepas dari tantangan itu, banyak ilmu yang saya dapat selama satu berada di Italia. Mental, disiplin, dan etos kerja kami terasah selama memperkuat PSSI Baretti. Begitu juga dengan kemampuan teknik dan taktik juga kami dapat berkat kesempatan tersebut. Kami juga jadi tahu kemampuan orang luar negeri itu seperti apa dan bisa menimba banyak ilmu dari sana.
Modal pengalaman berlatih di Italia itu saya bawa saat pulang ke Indonesia. Namun, karier saya sempat terganjal saat memperkuat Arema, ketika saya sedang menapaki karier di sepak bola Tanah Air.
Momen pahit itu terjadi, kalau tidak salah pada 1999. Arema saat itu melakoni laga tandang ke markas Persma Manado yang diasuh Om Benny Dolo di Stadion Klabat.
Pertandingan berjalan sengit sekali saat itu. Dalam sebuah momen di pertandingan itu, striker Persma Stanley Mamuaya melakukan sikutan ke rekan duet saya di lini belakang sampai terkapar.
Karena atmosfer pertandingan begitu panas, saya reflek menonjok dia yang langsung membuat emosi suporter tuan rumah. Suporter Persema langsung turun ke lapangan. Pertandingan terhenti dan waktu itu kami sampai tidak bisa kembali ke hotel tim.
Aksi saya itu lantas masuk ranah Komisi Disiplin PSSI yang dipimpin Andi Darussalam Tabusalla. Saya kaget karena Komdis kemudian memutuskan saya dijatuhi larangan bermain selama dua bulan.
Arema sempat melakukan banding tetapi ditolak. Selama masa skorsing, saya tetap rutin berlatih dengan tim, tetapi rasa bersalah terus muncul, karena insiden yang tidak perlu terjadi itu sulit hilang.
Saya akui pada awal karier saya agak nakal saat bermain, tetapi itu juga karena tuntutan karakter permainan di Arema. Di Arema, pemain dituntut ngeyel saat berada di lapangan.
Cara bermain saya terus seperti itu saat berpindah-pindah klub dari Arema, PSM Makassar, Persija Jakarta, dan Persib Bandung hingga akhirnya saya bertemu Rahmad Darmawan di Sriwijaya FC.
Coach RD jadi pelatih yang bisa mengubah karakter saya. Saya semakin mengerti cara bermain bola yang benar di Sriwijaya FC dan itu berkat tangan dingin coach RD.
Sebelum bergabung dengan Sriwijaya FC, saya sempat dipanggil untuk bertemu tatap muka dengan coach RD. Saya diberikan banyak masukan oleh dia. Saat itu coach RD bilang "Kamu harus bisa ikut saya, ubah cara bermain kamu tetapi tanpa menghilangkan karakter. Main bola itu harus pintar."
Perkataan coach RD waktu itu terbukti benar. Saya bisa mengubah semuanya dan apa yang saya inginkan semua tercapai, mulai dari meraih gelar di level klub sampai rutin memperkuat tim nasional.
Meskipun di awal saya mengira coach RD sosok yang keras karena berlatar belakang militer, tetapi ternyata saya salah. Coach RD seorang pelatih yang terbuka, tegas, bijak, dan menyampaikan sesuatu dengan lugas. Saya belajar banyak dari beliau, coach RD sudah seperti seorang kakak buat saya.
Saya menjadi pesepakbola yang lebih dewasa saat berada di lapangan berkat gemblengan dia. Di Sriwijaya FC bisa dibilang jadi masa-masa terbaik dalam karier karena dalam waktu tiga tahun meraih empat piala.
Dua Piala Copa Indonesia dan satu gelar juara Liga Indonesia saya raih selama berada di sana. Coach RD mengubah semuanya dalam diri saya. Bahkan, dari aspek berat badan saya lebih disiplin karena sempat kelebihan berat badan dan tidak ideal untuk main bola saat itu.
Keberadaan coach RD di Sriwijaya FC begitu penting. Apalagi, tim ini juga didukung materi pemain dan manajemen yang bagus, sangat mendukung upaya tim untuk menjadi terbaik di semua kompetisi yang diikuti.
Pemain-pemain Sriwijaya FC waktu itu juga kebanyakan pemain-pemain baru. Mulai dari Christian Worobay, Benben Berlian, Ngon A Djam, Kayamba Gumbs, Zah Rahan, sampai Hendro Kartiko.
Rasa kekeluargaan di tim begitu terasa. Tidak ada jarak antara pemain, terutama pemain asing dengan pemain pemain lokal. Saat itu semua elemen tim di balik sukses Sriwijaya FC terasa begitu dekat.