Jakarta, CNN Indonesia --
European Super League dalam kondisi sekarat. Namun UEFA juga harus banyak belajar meski mereka jadi pemenang di kisruh ini.
Drama rencana menggelar kompetisi sempalan European Super League kini hampir bisa dipastikan gagal terlaksana. Hal ini seiring gugurnya sembilan klub berlabel elite Eropa yang semula menjadi inisiator.
Klub kaya raya milik Sheikh Mansour, Manchester City jadi yang pertama undur diri dari daftar ini pada Selasa (20/4) waktu setempat. Penolakan dari banyak pihak seperti suporter, pemain, pelatih Pep Guardiola hingga UEFA dan FIFA membuat Man City menarik rem darurat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Man City agaknya sadar tidak bisa melangkah lebih jauh karena akan ada banyak pihak yang dirugikan. Masa depan klub dalam ancaman untuk tetap berpartisipasi di Liga Inggris dan Liga Champions. Apalagi kini Kevin De Bruyne dkk sudah sampai di semifinal Liga Champions.
Pun demikian dengan para pemain. Seluruh pemain dari 12 klub inisiator diancam oleh Presiden UEFA, Aleksander Ceferin tidak bisa bermain di Piala Eropa dan Piala Dunia.
 Manchester City memastikan menarik diri lantaran ancaman dicoret dari Liga Champions musim ini. (Pool via REUTERS/INA FASSBENDER) |
Ancaman ini jelas mengganggu dan tidak main-main untuk pemain yang tidak ingin kehilangan kesempatan bermain di ajang besar. Mengangkat trofi Piala Eropa dan Piala Dunia merupakan impian terbesar semua pemain yang sudah ada dalam benak mereka, bahkan sejak masih kanak-kanak.
Jejak Man City lantas diikuti oleh lima tim Inggris lainnya yakni Arsenal, Liverpool, Manchester United, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Kelima klub ini plus Man City yang disebut Big Six Liga Inggris mencoba mawas diri karena ide menggelar European Super League disebut hanya semata mementingkan uang tanpa memperdulikan aspek-aspek lain dari sepak bola.
Setelah Big Six Liga Inggris, Inter Milan AC Milan, dan Atletico Madrid juga mengucapkan sayonara kepada European Super League pada Rabu (21/4) sore WIB. Alhasil, sudah sembilan klub pendiri European Super League yang menarik diri.
Dengan begitu, tinggal tersisa tiga tim lain yakni Juventus, Real Madrid, dan Barcelona yang belum mengeluarkan keputusan resmi untuk mundur dari ajang ini. Meskipun, kabar yang mencuat Barcelona juga akan secepatnya mengikuti langkah delapan klub lain yang sudah lebih dulu mundur.
Gelombang protes besar-besaran dan kritik yang datang dari berbagai pihak membuat gaduh European Super League bertahan tak sampai tiga hari sejak resmi diumumkan pada 18 April lalu. Padahal, saat pertama kali diumumkan, klub-klub penggagas berencana melebarkan kompetisi dengan diikuti 20 tim.
Pesertanya berasal dari 12 klub plus tiga klub lain yang juga berstatus pendiri. Sementara lima peserta tambahan merupakan peserta undangan yang dapat berubah setiap musimnya.
 Mimpi menggelar European Super League kandas. (AP/Joan Monfort) |
Banyak rumor pun bermunculan terkait keluarnya gerbong besar penggagas European Super League. Ada yang mengatakan sebagai bentuk respek klub akan dukungan suporter, ada pula yang menyebut karena gelombang protes yang begitu masif, hingga klaim klub-klub memilih mundur karena dijanjikan dana besar oleh UEFA.
Klaim terakhir dimunculkan oleh media terkemuka yang berbasis di Barcelona, El Mundo Deportivo. Dalam artikelnya, El Mundo menyatakan UEFA mengiming-imingi Big Six Liga Inggris dengan dana besar agar keluar dari proyek ambisius European Super League.
Perlakuan UEFA itu dikatakan tidak sampai ke klub-klub Spanyol yang selama ini dipandang sebagai musuh utama UEFA. Meskipun, El Mundo juga tidak bisa menginformasikan secara detail berapa ongkos yang dikeluarkan UEFA untuk membujuk klub-klub tersebut untuk keluar dari proyek European Super League yang menggiurkan.
Dari aspek finansial, kantong 12 klub itu memang akan semakin tebal andai European Super League bisa berjalan sesuai rencana pada 2023/2024. Hitungan gampangnya klub yang jadi juara European Super League bisa mendapatkan hampir 400 juta euro (Rp6,9 triliun).
Jumlah pemasukan ini nyaris tiga kali lipat nilainya daripada setiap klub yang harus berjuang di Liga Champions. Setiap klub harus melalui fase grup, fase 16 besar, 8 besar, empat besar, hingga final hanya untuk mendapatkan uang hadiah 120 juta euro.
Belum lagi, seluruh peserta European Super League dilaporkan bakal mendapat 3,5 miliar euro (Rp61 triliun) sebagai permulaan dari raksasa perbankan asal AS, JP Morgan Chase & Co. Itu ditambah pemasukan tambahan 1,95 miliar euro (Rp34 triliun) dengan rincian 488 juta euro pada termin pertama dan 585 juta euro pada termin kedua.
Kemudian sebanyak 30 persen pembayaran lainnya akan dibagikan berdasarkan koefisien klub yang dicapai selama 10 tahun terakhir. Sisanya, 292 juta euro akan dibagikan sebagai hadiah tambahan.
Bahkan, diperkirakan hak siar yang dihasilkan European Super League bisa mencapai 10 miliar euro (Rp174 triliun), dibandingkan dengan empat juta euro yang didapat UEFA pada tahun 2020.
 UEFA juga harus berbenah meski mereka berhasil menahan European Super League. (AFP PHOTO / ARIS MESSINIS) |
Angka-angka fantastis ini yang membuat UEFA kalang kabut. Apalagi, klub-klub tersebut memiliki nama besar di Eropa dan dunia. Nama-nama tim tersebut tentu berpengaruh signifikan untuk UEFA ketika hendak melakukan negosiasi dengan sponsor atau berbicara soal hak siar televisi.
Tanpa 12 klub tersebut maka sponsor dan pendapatan dari hak siar UEFA niscaya akan berkurang signifikan. Hal itu tentu akan berdampak pada pembagian kue iklan atau hak siar yang lebih kecil buat tim-tim peserta.
Munculnya niatan membentuk European Super League juga sudah selayaknya membuat UEFA berbenah. Utamanya tentu bagaimana menjadi pihak yang lebih adil dan bijak, bukan hanya soal hak yang mesti didapatkan oleh klub tetapi juga memanusiakan para pesepak bola yang jadi tokoh utama di lapangan hijau.
Gelandang Real Madrid dan timnas Jerman, Toni Kroos pernah mengecam habis UEFA dan FIFA. Kroos mengatakan para pemain diperlakukan layaknya boneka oleh dua organisasi sepak bola terkemuka itu.
Banyaknya turnamen dinilai Kroos melelahkan buat pemain. Pada 2018, UEFA menggagas turnamen UEFA Nations League yang menambah padat kalender pertandingan untuk pemain yang memperkuat klub dan timnas.
"Pada akhirnya, ketika kompetisi baru ditetapkan, kami cuma boneka FIFA dan UEFA. Mereka cuma mengeruk uang sebanyak mungkin dan menguras fisik pemain," kata Toni Kroos dalam podcast Einfach mal Luppen, yang digagasnya bersama sang adik Felix Kroos.
Belum lagi, kasus korupsi yang terjadi di tubuh UEFA. Persoalan itu sudah pernah menimpa Gianni Infantino yang pernah menjabat sebagai Direktur Urusan Hukum UEFA, hingga mantan Presiden mereka, Michel Platini.
Skandal korupsi FIFA dan UEFA pernah mencuat setelah dibongkar oleh Panama Papers. Dalam hal ini, Infantino diduga terlibat korupsi dalam penjualan hak siar Liga Champions, Liga Europa, dan Piala Super Eropa ke Amerika Selatan kepada perusahaan Cross Trading. Cross Trading menjual hak siar itu ke pihak lain dengan biaya tiga sampai empat kali lipat.
Kemudian Platini ditangkap terkait dugaan korupsi terpilihnya Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia 2022 yang terus dikaitkan sejak 2015. Mantan pemain Juventus itu dituduh menerima uang US$2 juta dari mantan Presiden FIFA Sepp Blatter untuk mendukung Qatar menjadi tuan rumah.
Keberhasilan UEFA menahan European Super League memang jadi kemenangan mereka. Namun UEFA, dan juga FIFA, harus ingat bahwa ada gelombang besar yang siap mengancam mereka, terutama lewat protes keras dan boikot, andai mereka tak melakukan pembenahan berkaca pada percobaan pemberontakan kali ini.
[Gambas:Video CNN]