Perbedaan itu turut dirasakan oleh Raja Sapta Oktohari, Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) yang di 2016 menjabat sebagai Chef de Mission (CdM) kontingen Indonesia.
"Dibandingkan antara Olimpiade Tokyo dengan Rio de Janeiro terlalu jauh. Mungkin dari segi penyelenggaraan pertandingan tidak pengaruh, karena yang menjalankan international federation yang sudah biasa gelar pertandingan makanya semua lancar," kata Okto.
"Tapi dari segi supporting jauh berbeda, standarnya beda, ekspektasinya juga berbeda. Di Tokyo, kita tidak bisa seleluasa di Rio karena banyak keterbatasan ruang gerak dan fasilitas yang disediakan," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Okto tak memungkiri jika pandemi mungkin menjadi penyebab munculnya perbedaan mencolok di dua edisi Olimpiade tersebut. Terlebih gelaran Olimpiade Tokyo sempat ditunda selama setahun dari seharusnya 2020 ke 2021.
Pandemi disebut Okto memungkinkan adanya perubahan anggaran untuk penyelenggaraan. Meski begitu, Okto mengatakan seluruh peserta sudah memahami betul kondisi yang terjadi.
![]() |
"Jadi kita juga butuh Olimpiade karena tahun ini tidak ada event olahraga. Jadi penyelenggaraan Olimpiade ini betul-betul jadi benchmark. Kalau Olimpiade bisa jalan, kegiatan olahraga lain juga bisa."
"Walaupun kalau digelar di Jepang ekspektasi kita tinggi, tapi kan masyarakat Jepangnya sendiri juga terpecah. Ada yang mendukung Olimpiade ada juga yang tidak," jelasnya.
Biasanya, lanjut Okto, euforia Olimpiade selalu terlihat dari penonton yang hadir dan memberikan semangat buat para atlet. Termasuk ketika Tim CdM Kontingen di 2016 mampu memobilisasi masyarakat dan tim pendukung yang ada untuk menjadi penonton guna menyemangati atlet.
Tim CdM di Rio 2016 juga menyiapkan Rumah Indonesia yang berfungsi menyiapkan segala kebutuhan atlet selama bertanding. Tapi di Tokyo 2020, Tim CdM tidak bisa membawa banyak tim pendukung meski tetap memastikan keterbatasan tidak membuat kebutuhan atlet jadi berkurang dan pelayanan tidak maksimal.
"Sekarang ini gelaran Olimpiade yang prihatin. Tidak ada yang bisa nonton, kita tidak bisa mobilisasi orang untuk jadi penonton juga. Bahkan orang lokal di sini juga tidak bisa. Menariknya, walaupun tidak ada penonton souvenir habis juga, artinya minatnya masih besar," kata Okto.
(ttf/ttf/rhr)