Jakarta, CNN Indonesia --
Indonesia mengirim tiga wasit badminton dalam Olimpiade Tokyo 2020, termasuk Wahyana yang memimpin partai final tunggal putri.
Selain Wahyana, ada juga Komaruliah dan Muhammad Hatta yang juga jadi wakil Indonesia di Tokyo 2020. Hanya saja, Komaruliah dan Muhammad Hatta tidak memimpin pertandingan perebutan medali emas seperti yang dilakukan Wahyana ketika wakil China, Chen Yu Fei bertemu Tai Tzu Ying asal Taiwan, Minggu (2/8).
Menurut Kepala Bidang Turnamen dan Perwasitan PBSI, Mimi Irawan, Wahyana dan Komaruliah adalah wasit PBSI yang memiliki BWF Umpire Certificated.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Wahyana itu BWF Umpire Certificated. Dia juga asesor wasit internasional yang ditunjuk BAC [Federasi Badminton Asia]. Dia juga wasit PBSI sekaligus Kasubid Perwasitan yang dasarnya seorang guru, kepala sekolah SMP di Sleman, Yogyakarta," kata Mimi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/8).
Seperti Wahyana, Komaruliah merupakan seorang guru bahasa Inggris di Surabaya. Komaruliah juga memimpin beberapa pertandingan badminton di Olimpiade Tokyo. Bahkan menurut Mimi, Komaruliah dua kali terlihat tampil di TV court atau lapangan yang menggelar pertandingan untuk siaran langsung televisi.
"Karena wasit perempuan di Olimpiade itu sedikit, paling hanya enam orang. Ada dari Malaysia, Filipina, Indonesia, China dan dua lagi saya lupa dari mana," imbuhnya mengenai Komaruliah.
Sementara Muhammad Hatta saat ini masih memegang BAC Certificated sehingga di Olimpiade Tokyo 2020 ia baru bisa menjadi hakim garis.
"Apapun itu kami bangga lah di Olimpiade Tokyo ada tiga orang Indonesia yang bertugas di pertandingan. Wasit-wasit kita ini banyak yang bagus, tapi kalah dalam bahasa Inggris. Kalau mereka mau improve kita sangat punya peluang wasit kita bisa kemana-mana pimpin pertandingan," ungkap Mimi.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya...
Saat ini, disebutkan Mimi, Indonesia memiliki total 134 wasit berlisensi. Tapi hanya dua orang, Wahyana dan Komaruliah yang memiliki lisensi BWF Certificated.
Selebihnya, BWF Accredited 2 orang, BAC Certificated 3 orang, BAC Accredited 5 orang, National A Certificated 52 orang dan National B Certificated 70 orang.
"Akreditasi dimulai dari Nasional B, dia boleh pimpin turnamen sekelas kejuaraan daerah, Sirkuit Nasional. Lalu dia harus ujian lagi untuk dapat akreditasi A Nasional. Syaratnya harus bisa bahasa Inggris, attitude-nya harus bagus. Kalau ada potensi, kami akan usulkan ke BAC Accredited untuk bisa diberi kesempatan tampil di Kejuaraan Asia Tenggara."
"Kalau kredit poinnya sudah memenuhi syarat boleh naik ke BAC Certificated. Setelah itu kalau bahasa inggrisnya dinilai baik, pengalaman internasional dan attitude teruji naik lagi ke BWF Accredited. Terakhir kalau jam terbang sudah cukup baru bisa ke BWF Certificated," jelas Mimi.
Menjadi wasit kelas internasional, khususnya pemegang BWF Certificated juga dinilai Mimi cukup menggiurkan. Satu pertandingan, sesuai standar honor BWF, wasit bisa diganjar bayaran US$70 atau sekitar Rp 1 juta.
Honor tersebut belum termasuk pesawat, hotel, seragam dan makan selama turnamen. Bahkan, di masa pandemi Covid-19, selama karantina wasit juga tetap mendapatkan bayaran per hari.
"Betapa enaknya coba. Wasit nasional sekarang melempem, harus dikasih motivasi. Setiap tahun ada penambahan dan juga ada pengurangan karena retired usia. Kesulitan 2 tahun ini karena pandemi tidak ada event nasional dan international juga kurang jadi tidak ada penambahan."
"Sangat disayangkan memang karena pandemi ini jam terbang juga jadi tidak ada. Padahal setiap ada penambahan wasit harus lapor ke BWF, supaya ada penilaian semacam rapor, supaya nanti BWF bisa undang kalau sudah memenuhi syarat," ujarnya,
Di Paralimpiade 2020 Tokyo mendatang, Indonesia juga bakal mengirimkan dua wasit yakni Abdul Latif dari Bandung dan Tommy Oscarino dari Jawa Timur.
[Gambas:Video CNN]