Jakarta, CNN Indonesia --
Kalau ada yang bilang jadi pelatih lebih tegang dibanding main, itu benar sekali. Saya merasakan betul itu, termasuk saat melihat perjuangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo 2020 kemarin.
Menjadi pelatih itu tegangnya bukan main, duduk enggak bisa tenang, hahaha. Dulu saat saya masih bermain, mau seketat apapun pertandingan saya masih bisa santai. Sementara yang deg-degan pelatih, orang tua, dan istri. Sekarang jadi pelatih, saya merasakan ketegangan.
Satu lagi perasaan beda yang saya rasakan pada 2 Agustus 2021. Setelah Greysia/Apriyani menang, ada rasa lega luar biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atmosfer Olimpiade sebenarnya tidak asing, karena Olimpiade kemarin sudah yang keempat buat saya. Dua Olimpiade pertama, pada 2000 dan 2004 saya menjadi pemain. Sementara pada 2016 dan 2021 saya ada di posisi pelatih.
Pengalaman teknik dan non-teknik ketika saya menjadi pemain menjadi salah satu faktor persiapan yang mendukung saya sebagai pelatih di Olimpiade. Ada pula mirip-mirip antara ketika saya masih bermain dan melatih.
Pada Olimpiade pertama saya, 2000 di Sydney, ada rasa menggebu-gebu sehingga tidak bisa mengontrol ekspektasi sehingga saya gagal menjadi juara padahal tiga empat bulan sebelumnya saya dan Flandy [Limpele] tidak terkalahkan di berbagai kejuaraan. Sampai empat tahun kemudian, berbekal pengalaman saya merasa lebih dewasa dan mampu mengontrol diri sehingga bisa menyumbang medali untuk Merah Putih.
Begitu pula di 2016, saya merasa Greysia juga masih belum mampu mengendalikan emosi. Tetapi kemarin beda. Greys sudah lebih santai, bahkan lebih rileks dibanding saya. Dia bilang hanya mau menikmati pertandingan dan ternyata itu berbuah emas.
Perjalanan membawa pulang emas Olimpiade 2020 ini memang bukan perkara gampang. Setelah melatih tim ganda Singapura sejak 2007 sampai akhir 2012, saya kemudian melatih ganda putri Indonesia pada 2014.
 Eng Hian diapit Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari usai menjadi juara Asian Games 2014. (ANTARA FOTO/SAPTONO/Spt/14) |
Prestasi yang kalah mentereng ketimbang beberapa sektor lain membuat sektor ganda putri kerap dipandang sebelah mata, bahkan sampai sebelum Olimpiade 2020.
Ada kepuasan bisa membawa pulang medali Olimpiade 2020, tetapi saya pantang menyombongkan diri karena masih haus prestasi. Untuk meraih capaian-capaian lain lagi di masa depan saya masih butuh banyak kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak.
Selama ada di dunia badminton, salah satu yang saya pelajari adalah supporting team itu enggak boleh lepas. Tanpa bantuan dari banyak pihak, saya bukan apa-apa.
Hubungan Baik Dua Keluarga
Melatih Indonesia adalah tantangan bagi saya. Pemain-pemain Indonesia punya potensi, tapi kok enggak bisa jadi juara? Saya penasaran, saya ingin membuktikan pemain-pemain Indonesia ini bisa.
Sementara ketika melatih Singapura saya pernah membawa pemain mereka jadi juara dunia junior dan turnamen level 500 yang pada saat itu ganda putri Indonesia belum pernah jadi kampiun di level tersebut.
Pada awal melatih tim ganda putri Indonesia, saya menilai mind set pemain menjadi salah satu ganjalan yang mencolok. Mereka punya tujuan menjadi juara, tetapi melihat sosok pemain China seperti batu karang yang tak bisa tembus. Jadi tiap mau ketemu pasangan China itu ada rasa minder. Ini salah satu hal yang saya coba ubah sejak melatih dan perlahan bisa mengubah cara pikir pemain, termasuk dengan hasil kemenangan lawan pemain China.
Lebih dari itu sebagai pelatih saya mengedepankan komunikasi dengan pemain. Kalau hanya sekadar memberi program latihan, semua orang saya rasa juga dapat melakukan hal itu. Pelatih itu harus paham kebutuhan pemain, dan tiap pemain itu adalah pribadi yang unik, jadi jangan dipukul rata.
Saya coba membuat pemain nyaman dan percaya kepada saya sebelum masuk ke area teknis, program latihan, atau prestasi. Soal cara saya membuat nyaman mungkin bisa panjang sekali dan tidak cukup ditulis di Testimoni CNNIndonesia.com ini, hahaha.
Menjalani peran sebagai pelatih menyita waktu saya lebih banyak ketimbang bersama anak dan istri. Saya lebih sering bersama pemain, menemani mereka berlatih, ngobrol, dan segala macam. Untuk menjalani itu, keluarga saya yang di rumah harus paham dan mengenal keluarga saya di Cipayung. Sekarang keluarga saya bisa mingle dengan pemain dan sebaliknya.
Faktor support system ini sangat penting. Saya melatih perempuan, sebagai pria ada hal-hal yang tidak bisa saya sentuh lebih jauh. Di sini saya butuh bantuan istri saya. Istri saya bisa menjadi tampungan curhat pemain, dan kemudian istri saya bisa bilang ke saya mengenai situasi pemain.
Saya tetap menggunakan jasa psikolog, tetapi keberadaan istri dekat dengan pemain ini tak jarang bisa membuat para pemain mengeluarkan unek-unek yang lebih jujur. Bersyukur juga istri saya mau terlibat dalam hal ini.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya...
Saya lahir di keluarga yang memang mencintai badminton dan sudah mengenal olahraga ini sejak enam tahun. Saya kemudian dimasukkan ke klub lokal oleh orang tua di usia delapan, di situ saya sudah latihan intensif. Tiga tahun kemudian saya masuk PB Djarum. Waktu itu ada orang dari Djarum yang memantau dan saya pun mendapat kesempatan masuk dan berlatih di sektor tunggal putra.
Mengenal badminton dari kecil tak lantas membuat saya benar-benar fokus dan tergila-gila pada latihan. Ada masa saya tak menikmati latihan, bosan istilahnya. Ketika lulus SMP saya memutuskan hengkang dari PB Djarum di Kudus untuk kembali ke Solo dan fokus sekolah.
Saya sempat tiga-empat bulan di kampung halaman. Sampai kemudian pelatih saya di Solo menyarankan saya agar bermain ganda dan ke PB Djarum di Jakarta yang khusus melatih ganda putra. Kebetulan pelatih PB Djarum yang di Jakarta itu orang Solo, namanya Chafidz Yusuf, yang sekarang bekerja sama dengan saya di tim pelatih ganda putri Pelatnas PBSI.
Sosok itu memang tidak asing, karena saya kenal keluarganya sejak kecil. Pak Chafidz juga meyakinkan bahwa saya punya potensi dan bakat yang sayang jika tidak dipoles dan dikembangkan.
Selain saran dari pak Chafidz, orang tua pun memberi masukan dan dorongan saya agar kembali berlatih.
"Coba dulu lah setahun," begitu kata orang tua waktu itu yang membuat saya menekuni badminton di Jakarta sekaligus melanjutkan sekolah.
Saya bisa menyabet prestasi cukup baik di sektor ganda putra. Ketika masih membela PB Djarum, sekitar 1994 saya bersama Hermono Yuwono mulai bisa menjadi juara sirkuit nasional yang merupakan kalender PBSI untuk seleksi masuk pelatnas. Pintu pelatnas kemudian terbuka untuk saya dan Hermono pada 1995.
Duet Eng Hian/Hermono Yuwono pun kemudian menjadi salah satu pasangan muda di tengah persaingan ketat di PBSI. Ketika itu masih ada senior dengan nama besar seperti Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky dan Antonius Ariantho/Deny Kantono. Sementara di level yang seangkatan dengan saya ada Tony Gunawan, Sigit Budiarto, Candra Wijaya, dan Halim Heryanto.
Sejarah bagus ganda putra Indonesia yang ditorehkan para senior tidak membuat saya terbebani. Justru saya termotivasi ingin lekas unjuk gigi. Saya tak sabar untuk segera membuktikan kalau saya mampu mengalahkan para senior.
Sementara persaingan dengan rekan seangkatan pun berlangsung dengan sehat sehingga membuat kami saling berlomba. Bahkan masing-masing ingin menambah porsi latihan tanpa ingin diketahui satu sama lain. Saya rasa persaingan ketat di level internal ini menjadi salah satu kunci sukses ganda putra Indonesia dalam kancah internasional.
 Eng Hian ketika memberi arahan kepada Greysia Polii/Apriyani Rahayu di Olimpiade 2020. (REUTERS/HAMAD I MOHAMMED) |
Bersama Hermono saya bisa menempati peringkat tujuh dunia pada 1997 atau 1998. Namun saya merasa karier saya stagnan. Saya pun berkomunikasi dengan dia untuk berpisah demi masa depan yang lebih baik. Saya pun curhat dengan pelatih, pak Christian [Hadinata] mengenai masalah yang saya hadapi.
Seiring dengan itu, saya juga berkawan baik dengan Flandy di luar lapangan dan mengetahui dia sedang jomblo tidak punya pasangan di sektor ganda campuran. Saya pun menilai Flandy bisa menjadi partner saya.
Keinginan saya bertandem dengan Flandy saya komunikasikan dengan pelatih, pak Christian dan pengurus. Pak Christian pun menyambut baik ide saya bersanding dengan Flandy yang saya anggap memiliki skill bagus untuk menemani saya yang memiliki tipe sebagai playmaker. Seandainya waktu itu pak Christian enggak merestui, saya tentu tidak akan memaksa juga.
Karier saya kemudian berkembang dan meraih berbagai gelar di kejuaraan-kejuaraan bergengsi. Jelas Olimpiade menjadi capaian terbesar kami. Jika memang ada penyesalan terbesar karena kami gagal merebut emas Olimpiade 2004, padahal saya dan Flandy cukup yakin bisa ke partai final.
Di semifinal kami sudah sempat memimpin 8-0, namun saat itu tiba-tiba bahu Flandy mengalami cedera. Kami bermain tidak maksimal lagi setelah Flandy cedera, tetapi kami berusaha untuk tetap main. Karena kalau kami mundur [kalah WO], maka tidak akan ada kesempatan bermain di partai perebutan perunggu. Yah, itulah jalan Tuhan.
[Gambas:Photo CNN]
Hal lain yang tidak terlupakan ketika menjadi pemain adalah ketika saya membela Inggris di All England 2002. Saya dan Flandy menyulap hall di Inggris itu seperti di Istora Senayan karena kami membuat suporter tuan rumah meramaikan venue tersebut, hal yang jarang terjadi karena Inggris sudah cukup lama tak punya andalan di ajang badminton yang bisa menembus final All England.
Mengenai kepindahan kami ke Inggris, memang tak dipungkiri ada faktor pemicu pada 2001 yang membuat saya dan Flandy kecewa. Ketika kami masih bisa memberi prestasi, kami merasa ada kebijakan yang membuat kami merasa dirugikan dan disingkirkan. Imbasnya prestasi kami menurun.
Puncaknya pada saat Kejuaraan Dunia 2001 di Sevilla. Saya mau berhenti waktu itu dan kemudian saya bertemu dan mengobrol dengan Rexy Mainaky yang ketika itu menjadi pelatih di Inggris dan lantas menawarkan saya bekerja sama dengannya. Gayung bersambut, saya dan Flandy menerima pinangan main membela negara lain dan PBSI juga tak keberatan dengan langkah yang kami ambil.
Dengan kostum berbendera Inggris, saya kemudian beberapa kali bertemu pasangan-pasangan Indonesia. Tak jarang kami menang. Wajar jika kemudian ada orang-orang Indonesia yang memberi cap buruk kepada kami lantaran membela negara lain dan mengalahkan andalan-andalan Cipayung. Jujur, rasanya benar-benar membuat kami jengah dengan segala label dan cap buruk yang disuarakan orang-orang.
Tetapi itulah yang memang harus saya lakukan. Sebagai pemain, seorang profesional, saya harus memberi yang terbaik. Kalau saya kalah kan saya tidak dapat prestasi dan tak diapresiasi.
 Usai turnamen di Jepang pada 2003, Eng Hian (kanan) kembali membela Indonesia bersama Flandy Limpele. (Photo by TOSHIFUMI KITAMURA / AFP) |
Performa saya dan Flandy yang masih gres saat membela Inggris membuat PBSI, yang waktu itu diketuai pak Chairul Tanjung, mencoba menawarkan saya kembali ke Cipayung. Ketika kami juara di Jepang, ada pengurus PBSI yang menunggu kami di hotel.
"Lo enggak mau balik ke Indonesia, mau jadi kompeni? Lo dicari pak Chairul tuh," ujar salah satu pengurus PBSI tersebut setengah berseloroh ketika mengajak saya kembali.
Pada akhirnya saya dan Flandy balik membela Indonesia setelah proses tawar menawar yang begitu alot. Kira-kira ada empat kali dalam durasi empat bulan kami bolak-balik bertemu dengan pak Chairul Tanjung membicarakan negosiasi kembali menjadi wakil Indonesia. Bukan soal uang yang kami bicarakan. Saya dan Flandy hanya tidak mau kembali berurusan dengan hal-hal yang dua tahun sebelumnya memicu kami pindah ke Inggris.
Saya dan Flandy lantas membuktikan kami bisa bertahan di level atas persaingan ganda putra dunia, termasuk dengan meraih perunggu Olimpiade 2004. Namun kemudian pada 2005 saya mendapat panggilan tiba-tiba. Saya disuruh memilih antara mundur dari pelatnas atau didegradasi. Sementara Flandy waktu itu masih mendapat kesempatan main di ganda campuran.
Saya kaget, bingung, campur aduk. Saya kemudian berkonsultasi dengan PB Djarum dan kemudian memilih bermain secara profesional, tidak di bawah Pelatnas, dan berpasangan dengan Rian Sukmawan. Sampai 2007 saya gantung raket.
Bukan faktor usia atau fisik yang membuat saya mengakhiri karier di lapangan. Ketika itu saya masih 30 tahun, masih kepingin main. Tetapi ada faktor lain berupa aturan larangan sponsor pribadi bagi pemain profesional yang membuat saya setop bermain.
Saya hanya diperbolehkan mendapat gaji bulanan dari Djarum yang menurut saya sulit bagi seorang yang sudah berkeluarga dan punya anak. Kebetulan ada tawaran melatih ke Singapura, saya pun berangkat ke negara tetangga.
Sempat menjadi pemain di Inggris dan melatih Singapura tidak melunturkan nasionalisme saya. Jujur ketika menjadi juara bersama Inggris atau mengantar pemain Singapura ke podium teratas, tidak ada rasa apa-apa. Saya hanya merasakan kebanggaan dan kesuksesan sebatas keprofesionalan pekerjaan saja.
Ketika membela Indonesia dan menjadi juara, melihat Merah Putih berkibar, mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang, itu adalah perasaan yang begitu luar biasa. Ketika bendera naik, lagu diputar, di situ muncul rasa kebanggaan luar biasa sebagai warga negara Indonesia. Kemampuan saya memberi sesuatu untuk negara adalah sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dan tidak bisa dibayar dengan apapun.
Dan itulah yang saya kembali rasakan kemarin ketika Greysia/Apriyani juara Olimpiade 2020.
[Gambas:Video CNN]