Hubungan Jakmania dan Viking awalnya sangat baik. Viking itu dulunya ada Viking Jabodetabek dan Viking Bandung. Hubungan kami cukup dekat.
Apalagi dulu kami sering membuat merchandise Jakmania di Bandung. Sampai-sampai anggota Jakmania menginap di rumah anak-anak Viking di Bandung dan sering berkumpul di Jakarta.
Waktu Liga Indonesia VI tahun 2000, Viking juga berkoordinasi dengan kami untuk datang ke Lebak Bulus, Jakarta. Kami terima dan sambut mereka dengan baik. Tapi dulu anggota Jakmania itu masih sedikit, sementara fan Persib itu banyak.
Organisasi mereka juga banyak ada Viking, ada Jurig, dan macam-macam. Saking harmonisnya waktu mereka pulang anak-anak Jakmania juga menyanyikan lagu Halo-halo Bandung.
Lalu pada Liga Indonesia VII tahun 2001 giliran kami ingin main ke Bandung. Tapi pas sampai di sana anak Viking yang menjaga kami cuma sedikit. Kemudian tiba-tiba kami mendapat serangan dari suporter Persib yang lain. Mulai dari situlah akhirnya timbul rasa dendam. Kami juga tidak tahu alasan kami diserang di Bandung.
Saya dengar salah satu alasannya karena suporter Persib pernah diserang waktu mereka tandang ke Persija Timur. Mereka tampaknya tidak tahu kalau Persija dan Persija Timur itu berbeda.
Saat kami diserang saya langsung kumpulkan delapan bus Jakmania yang sudah hadir di Bandung dan satu lagi kami tunggu kehadirannya karena masih dalam perjalanan.
Saat itu kami berangkat ke Bandung dengan 10 bus Mayasari Bakti. Namun, yang bisa sampai Bandung hanya sembilan bus. Satu bus lagi mengalami pecah ban.
Ketika itu kami datang ke Bandung dengan total 1.000 anggota lebih Jakmania. Akhirnya kami tidak bisa mendukung Persija dan harus kembali ke Jakarta. Lalu ada beberapa kejadian lagi yang membuat permusuhan Jakmania dan Viking.
Saya juga kurang setuju dengan upaya perdamaian yang hanya dilakukan dalam satu momen khusus, seperti dengan menggelar konferensi pers atau sebagainya yang sifatnya hanya seremonial.
Saya menilai perdamaian ini tidak bisa hanya dilakukan lewat media atau melalui pihak-pihak ketiga yang bisa dipolitisir.
Permusuhan itu butuh waktu untuk bisa menjadi permusuhan seperti sekarang. Apalagi perdamaian, juga butuh waktu. Jadi jangan terlalu didesak untuk damai.
Kita bicara puluhan bahkan ratusan ribu orang yang karakternya berbeda-beda, jadi tidak bisa semudah seperti mengembalikan telapak tangan.
Kampanye perdamaian boleh, tapi tidak boleh dipaksakan. Kalau saya maunya natural saja. Kita terus gencarkan kampanye perdamaian.
Saya sampaikan kepada anak-anak [anggota Jakmania] yang tidak mau damai ya sudah tidak usah dipaksa. Tapi yang mau damai silakan lanjutkan kampanye perdamaian ini. Tapi, jangan saling ganggu dan jangan saling serang satu sama lain. Lama-kelamaan saya yakin kedua suporter ini akan damai.
Saya itu mengibaratkan permusuhan ini seperti koreng. Koreng itu kalau masih basah kan masih sakit terus. Nah kita tunggu koreng itu sampai kering.
Bagaimana koreng dalam permusuhan itu bisa kering? Caranya, kita jangan saling bertemu dulu. Jangan saling menghujat dalam lagu, spanduk, kaos, atau di media sosial sampai rasa benci dan dendam itu hilang. Nah, ketika dendam dan kebencian itu hilang, maka generasi berikutnya tidak akan merasakan permusuhan lagi.
Tapi ketika nyanyian kebencian itu dimunculkan lagi dan generasi muda mendengar pasti akan menjadi warisan permusuhan terus menerus.
Padahal dulunya permusuhan ini hanya 1.000 orang yang ribut, kenapa sekarang jadi meluas seperti ini? Saya pikir untuk menghentikan permusuhan ini harus seperti itu. Apalagi orang-orang yang mengawali permusuhan itu kan sekarang sudah pada tua-tua.
Apakah kalian mau mati meninggalkan dendam? Apakah kalian mau mati mewariskan permusuhan? Apakah mau di akhirat kalian ditanya malaikat soal itu? Saat saya bicara seperti itu kepada teman-teman barulah mereka takut dan nurut. Tapi permasalahan itukan sudah mendarah daging, ya caranya pelan-pelan.
Sekarang saya juga punya tanggung jawab upaya ke arah perdamaian karena permusuhan ini kan dimulai dari zaman saya. Tapi semua keputusan ada di Ketua Umum Jakmania sekarang, saya sebagai penasihat saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi yang jelas hubungan pribadi saya dengan beberapa pentolan Viking itu sangat baik. Apalagi Kang Heru Djoko, dia itu orang yang baik sekali. Saya pergi ke Bandung juga aman. Kalau dulu kan enggak aman, karena saya sudah dianggap seperti public enemy.
Tapi sejak saya kampanyekan damai Alhamdulillah hubungan saya dengan Bobotoh bagus. Saya sering silahturahmi ke Kang Yana Umar dan juga ke pentolan Bomber Kang Asep Abdul dan lainnya. Alhamdulillah mereka welcome banget. Itu yang buat saya salut dengan orang-orang Bandung itu.
Karena saya pribadi mungkin bisa menerima mereka di Jakarta, tapi saya tidak tahu bagaimana sikap rekan-rekan saya di Jakmania. Apakah bisa menerima mereka di Jakarta, itu yang belum bisa saya pegang.
Saya dulu itu mendirikan Jakmania bersama rekan-rekan pendiri lainnya itu dari nol. Dulu awalnya kami itu suka nonton Persija di Lebak Bulus. Saya saat itu masih kuliah dan ada beberapa teman juga yang masih sekolah. Dulu harga tiket nonton pertandingan itu Rp10 ribu. Lama-kelamaan berasa juga ini jadi suporter.
Sementara waktu kami dukung Pelita Jaya kami hanya menunjukkan kartu anggota suporter [The Commandos] saja bisa gratis. Terus kami berpikir jangan-jangan kalau kita masukanggota fan klubnya Persija bisa gratis juga.
Terus kami bertanya ke manajer Persija Diza Rasyid Ali dan bertanya ke public relation (PR) Persija namanya Eddy Supadmo. Ternyata, fan Persija saat itu tidak ada. Dulu pernah ada suporter Persija tapi sudah bubar.
Jadi kami disarankan untuk membuat fan klub Persija yang baru. Terus kami datang ke Stadion Menteng [markas Persija]. Awalnya kami bingung karena kami tidak tahu cara membangun organisasi suporter.
Pertemuan pertama dan kedua dengan perwakilan Persija tidak ada hasil. Akhirnya pas pertemuan ketiga, ada rekan saya bernama Heri mengajak Gugun Gondrong [Muhammad Gunawan Hendromartono] supaya dia bisa membantu mencari jalan keluar di pertemuan ketiga.
Kemudian kami bersama Gugun Gondrong bertemu perwakilan Persija di Graha Wisata Kuningan, Jakarta. Di situ langsung mengarah ke penunjukan Ketua Umum Jakmania. Dulu di antara kami belum saling kenal, jadi kami semua sepakat menunjuk Gugun Gondrong yang sudah terkenal untuk jadi Ketua Umum Jakmania.
Awalnya Gugun kesal dan bilang 'kan saya ke sini diundang kok tiba-tiba disuruh jadi ketua'. Tapi, karena semua yang hadir [sekitar 30 orang] sudah setuju akhirnya Gugun terpilih jadi Ketua Umum Jakmania dan saya ditunjuk oleh Gugun untuk jadi Ketua 1 Jakmania.
Awalnya kami juga belum punya nama suporter. Nama Jakmania itu kami dapat waktu kami sering datang ke Stadion Menteng. Di sana ada sebuah banner berwarna merah-putih yang tulisannya 'Welcome The Jak'. Saya bertanya ke Edhy Supadmo, tulisan itu maksudnya apa? Dia menjawab itu adalah julukan Persija.
Nah tulisan itu menginspirasi kami untuk membuat nama suporter Persija menjadi The Jakmania dengan sedikit mengadopsi nama fan grup band The Beatles yaitu Beatles Mania. Maka pada 19 Desember 1997 kami putuskan nama fan klub Persija adalah The Jakmania.
Sekarang anggota Jakmania sudah 80 ribu lebih yang terdaftar. Bagai saya rasanya sekarang seperti petani yang sedang panen. Dulu kami menanam, sekarang melihat panen kami berhasil. Membangun Jakmania dari kecil itu kuncinya ada di pembentukan Koordinator Wilayah (Korwil).
Ketika Gugun Gondrong mulai tidak aktif, saya meminta anggota Jakmania membentuk Korwil. Jadi Korwil pertama Jakmania yang dibentuk itu adalah Kemayoran, Korwil kedua Kalimalang, dan ketiga Tanah Abang.
Dan kalau bicara kenangan tidak terlupakan selama jadi Jakmania salah satunya adalah waktu away ke Makassar pada 2001. Kami Jakmania naik kapal laut selama dua hari dari Tanjung Priok ke Makassar.
Kami tidur di tenda yang terbuat dari spanduk di lapangan Karebosi. Kami berangkat sekitar 128 orang. Itu berkesan banget buat saya, apalagi ujung-ujungnya Persija juara.
Bersambung ke halaman berikutnya...