Kegagalan memimpin pertandingan final SEA Games 2007 adalah momen yang paling menyakitkan dalam karier saya sebagai wasit.
Awalnya saya sudah ditunjuk memimpin partai final SEA Games 2007 antara Myanmar lawan tuan rumah Thailand. Kebetulan waktu itu Referee Assesor Wasit dari Thailand dan Brunei. Lalu asisten wasit I dari Laos, asisten wasit II dari Brunei Darussalam, dan wasit keempat dari Kamboja.
Saya sangat senang ditunjuk jadi wasit final SEA Games. Dua hari sebelum pertandingan saya diwanti-wanti tidak boleh main sepak bola karena takut cedera. Sebab wasit-wasit yang bertugas di SEA Games suka main bola bareng setiap pagi untuk jaga kondisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi tahu-tahu pada malam hari H-1 jelang pertandingan, semua asisten wasit yang akan bertugas bersama saya di final itu hilang.
Mereka hilang bukan diculik, tapi dibawa oleh Komite Wasit dari Thailand itu untuk bertemu dengan Sekjen Federasi Sepak Bola Thailand (FAT).
Untungnya saya dekat dengan asisten wasit II dari Brunei itu. Jadi pas dia pulang dari pertemuan itu dia cerita sama saya 'Jimmy tadi kami dibawa ke restoran Taj Mahal. Sekjen FAT bilang dia tidak mau kamu pimpin final karena dia masih ingat waktu kamu pimpin final leg kedua AFF 2007 antara Thailand vs Singapura.'
Ternyata dia dendam sama saya, karena dia takut Thailand kalah lagi. Sebab Thailand sangat berambisi untuk sapu bersih final putra dan putri cabor sepak bola. Jadi yang keberatan itu Sekjen FAT.
Rupanya asisten-asisten saya dibawa ke restoran Taj Mahal itu untuk diatur supaya memenangkan Thailand. Sebab saat itu Myanmar yang menjadi lawan Thailand di final sedang dalam performa yang sangat bagus.
Benar saja pagi hari pada hari-H pertandingan Komite Wasit Thailand itu mendatangi saya dan bilang: "Jimmy saya minta maaf kamu hari ini tidak jadi memimpin final. Kamu akan memimpin final perebutan 3-4."
Wah saya sakit hati. Posisi saya di final SEA Games telah diganti oleh wasit dari Malaysia. Wasit Malaysia itu ternyata langganan memimpin pertandingan Kings Cup di Thailand. Padahal wasit Malaysia itu sudah memimpin pertandingan semifinal SEA Games dan tidak boleh memimpin lagi di final.
Saya marah dan sehabis sarapan pagi saya langsung minta pulang ke Indonesia. Saya bilang ke Komite Wasit Thailand itu kalau maskapai Garuda menelpon saya dan meminta saya pulang sekarang. Padahal aslinya tiket kepulangan saya sudah diundur satu hari kemudian karena saya harusnya bertugas di final, tapi saya bilang ini Garuda terus menelepon dan meminta saya pulang.
Akhirnya saya bertemu pengurus kontingen Indonesia bagian transportasi. Dia bilang, "Kamu tunggu saja sampai pukul 23:45 kalau ada penumpang yang cancel kamu bisa pulang sekarang."
Nasib baik pun datang, ternyata ada lima bangku kosong di pesawat. Saya bisa pulang bareng kontingen badminton Indonesia bersama Taufik Hidayat dan kawan-kawan.
Namun masalah belum berakhir. Ternyata Referee Assessor dari Thailand itu tahu saya bohong dan lapor ke AFC dan AFF. Akhirnya saya dihukum enam bulan tidak memimpin pertandingan AFF dan AFC.
Meski tidak ada hukuman lisan atau tertulis, tapi saya tahu saya dihukum karena tidak ada tugas dari AFC dan AFF selama enam bulan. Saya pun hanya bertugas di Liga Indonesia saja selama enam bulan itu.
![]() |
Saya itu sudah makan asam garam di dunia wasit. Dari pengalaman menyakitkan, menyenangkan, hingga lucu pernah saya alami selama menjadi wasit.
Saya mulai ikut kursus wasit C3 pada 1995. Jadi wasit itu ada tingkatannya ibarat SD, SMP, SMA. Kalau di wasit mulai C3 (Askot/Askab), C2 (Asprov), dan C1 (PSSI Pusat).
Jadi yang punya wasit itu sebenarnya klub. Karena dulu klub internal itu aktif menggelar kompetisi dan setiap tim wajib mengirimkan satu atau dua pemain untuk dididik menjadi wasit.
Tujuannya untuk memimpin pertandingan di kompetisi internal dan agar wasit klub tersebut bisa mensosialisasikan aturan permainan kepada rekan setim, manajer, dan pelatih. Sehingga harapannya tidak ada ribut-ribut soal aturan permainan.
Awalnya saya juga tidak mau jadi wasit. Saya maunya jadi pelatih. Tapi kata teman saya jadi pelatih itu sulit kalau bukan pemain sepak bola top. Dari situ saya mulai iseng-iseng jadi wasit.
Ketika ikut kursus wasit C2 pada 1996, saya semakin tertarik menjadi wasit. Senior saya bilang jadi wasit itu enak karena keliling dunia tanpa mengeluarkan uang, bahkan kita malah dibayar. Selain itu kita lari-lari, sehat, tapi dikasih uang.
Makanya saya serius jalankan profesi wasit. Apalagi kerjaan lain saya di kantor pengacara juga sudah selesai semenjak krisis moneter 1997/1998. Saya kemudian ikut kursus wasit C1 pada 1997 dan menjadi wasit FIFA mulai 2002 hingga 2011.
Kata orang saya galak dan pernah dijuluki Collina Indonesia. Tapi bagi saya itu hanya mengada-ada saja. Bagi saya wasit yang paling tegas dan jujur di Indonesia yaitu Purwanto. Tapi kalau soal kepemimpinan saya suka wasit Bambang Pamilih. Dia mantan wasit FIFA juga. Setiap dia memimpin pertandingan tidak pernah ada ribut-ribut.
Kalau saya prinsip menjadi wasit hanya menjalankan Law of the Game saja. Karena sudah ada aturan jelasnya jadi buat apa kita main-main. Setiap bertugas saya selalu berserah kepada Tuhan karena Dia yang menentukan hasil.
Nah kalau ada pemain yang protes, saya biasanya maki-maki balik. Apalagi kalau pemain asing. Saya paling benci pemain asing yang suka protes.
Semua pemain asing yang pertama masuk Indonesia pasti mikir-mikir kalau ketemu saya. Dulu penyerang Sriwijaya FC Keith Kayamba Gumbs pernah protes kepada saya. Saya maki-maki balik pakai Bahasa Indonesia. Dia kan enggak ngerti tuh, nah pemain lain Sriwijaya FC kayak Charis Yulianto dan Isnan Ali itu hanya ketawa-ketawa saja mendengarnya.
Striker Arema Emile Mbamba pernah mau protes, kemudian teman-teman senegaranya menahannya dan memberikan isyarat ke Mbamba kalau wasit itu gila. Jadi pemain asing di Liga Indonesia paling alergi sama saya. Namun ada juga pemain asing yang sudah akrab dengan saya, pada saat pertandingan berlangsung, sengaja menghampiri saya dan berbisik untuk dihukum kartu kuning, karena dia tidak mau ikut main away ke daerah tertentu.
Saya juga pernah ribut dengan PSSI karena honor wasit saya yang tidak dicairkan enam bulan. Jadi waktu itu saya memimpin pertandingan Macau vs Chinese Taipei di Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia pada 2003. Enam bulan setelah saya bertugas honor saya dari FIFA belum diberikan oleh PSSI sebesar 2.600 dolar. Padahal FIFA sudah transfer ke PSSI seminggu setelah pertandingan.
Akhirnya masalah itu naik di Koran Bola judulnya 'Uang Tugas Jimmy CS Nyangkut di Mana?'. Wah akibat berita itu saya langsung dipanggil PSSI.
Saya dimarahi oleh Sekjen PSSI Nugraha Besoes. Tapi, saya balik protes saya bilang: "Baju saya ini sudah kering pak, saya sudah tugas dari enam bulan yang lalu, tapi sampai sekarang honor saya belum cair juga".
Rupanya uang saya itu dipakai PSSI untuk bayar tunggakan gaji pemain PKT yang lapor ke FIFA karena gajinya belum dibayar klub. Kurang lebih hampir Rp100 juta uang saya dipakai PSSI untuk menalangi gaji pemain itu. Akhirnya, Sekjen cerita kronologinya dan saya diminta datang lagi untuk mengambil hak saya seminggu kemudian.
Jadi wasit itu memang jangan takut dan harus pintar. Apalagi zaman saya itu tidak hanya pakai uang suap, tapi juga pakai ancaman untuk minta tim tuan rumah menang.
Mereka suka menempatkan orang yang badannya besar macam Ade Rai di ruang wasit. Alasannya untuk mengamankan kami, padahal mereka mau menakut-nakuti dan mengancam kami. Saya pernah saat buang air kecil ditendang dari belakang. Mereka berkata, "Awas ya kalau tim saya sampai kalah, saya hajar kamu".
Saya bilang iya-iya saja ke mereka. Padahal mereka tidak tahu kami juga menipu mereka. Kalau tim tuan rumah kalah saya beralibi saja saya bilang: "Saya sudah banyak bantu, tapi tim kalian saja tidak bisa memanfaatkannya". Jadi pintar-pintar kita saja mencari alasan.
Banyak tim yang ingin dipimpin oleh saya ketika mereka away, mereka minta saya yang memimpin karena mereka pasti tidak akan dirugikan di pertandingan tandang. Mereka biasa menyebut saya 'Jimmy Wasit Fair Play'.
Bersambung ke halaman berikutnya...